Batasan-batasan yang Dikatakan Nusyuz


1.     Batasan-batasan yang Dikatakan Nusyuz

            Dalam al-Quran surat al-Nisa’ ayat 34 disebutkan ada dua jenis wanita yaitu wanita yang solehah dan wanita yang nusyuz. Wanita yang solehah ialah yang taat kepada Allah SWT. dan menjaga kehormatan diri disaat suaminya tidak ada di rumah. Isteri yang menjaga kehormatan diri disaat suaminya tidak di rumah adalah menjaga segala sesuatu yang mesti dipelihara, baik berkenaan dengan kehormatan diri maupun harta benda. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi SAW. sebagai berikut:

 عن سعيد المقبرى عن أبى هريرة قال قيل لرسول الله صلعم أي النساء خير؟ قال التى تسره اذا نظر وتطيعه اذا أمر ولا تخالفه في نفسها ومالها بمايكره. (رواه النسائى)[1]
Artinya: “Dari Sa’id al-Muqbiry dari Abu Hurairah r.a. berkata: ketika Rasulullah SAW. ditanya, wanita bagaimana yang baik? Jawab beliau: wanita yang menyenangkan suaminya, bila dilihat, dan mentaatinya bila disuruh, serta yang tidak mengerjakan sesuatu yang dibenci suaminya, baik yang menyenangkan dirinya maupun hartanya”. (H.R: An-Nasa’i)

            Wanita yang nusyuz adalah wanita yang keluar dari ketaatan terhadap suaminya, seharusnya tidak dilakukan oleh wanita yang solehah terhadap suaminya. Menurut Imam Syafi’i, secara garis besar memberikan kriteria isteri yang nusyuz kepada dua yaitu: isteri nusyuz bil qauli dan isteri nusyuz bil fi’li.[2]
            Pengertian isteri nusyuz bil qauli adalah isteri yang nusyuz dengan perkataannya, kebiasaan suami memanggilnya, ia datang dan menjawab dengan baik, bila suami suami berbicara dengannya dijawab dengan perkataan atau kalimat yang baik dan bagus, bila isteri nusyuz adalah melakukan sikap yang berbeda dari sikap-sikap di atas. Jadi isteri yang nusyuz bil qauli ialah apabila suami memanggilnya dia tidak menjawab panggilan dengan jawaban yang baik, dan bila suaminya berbicara dia menjawab dengan perkataan yang kasar.[3] Tetapi berbeda halnya jika berprilaku kasar yang sudah menjadi watak si isteri, maka sesungguhnya itu tidak dikatakan nusyuz.[4]
            Isteri nusyuz bil fi’li adalah isteri yang nusyuz dengan perbuatannya, biasanya ketika suami mengajak ke tempat tidur (firasy) maka disambutnya dengan muka yang manis atau biasanya bila suaminya masuk ke rumahnya dia berdiri untuk menyambutnya. Bila isteri nusyuz melakukan hal-hal yang berbeda dari perlakuan-perlakuan seperti di atas,bila suaminya mengajak kepada firasy (tempat tidur) maka dia memandang dengan muka masam dan dengan rasa benci, dan jika suaminya masuk dia tidak berdiri untuk menyambutnya dan melayaninya.[5]
            Perlakuan-perlakuan isteri yang dikatakan sebagai nusyuz antara lain adalah:
1.      Apabila seorang isteri keluar dari rumah tanpa izin dari suami, baik sepengetahuan suami ataupun tanpa sepengetahuannya dan kepergiannya itu tidak ada keuzuran seperti menjenguk orang yang sakit atau meninggal sebagaimana kebiasaannya yang berlaku atau kepergiannya karena menuntut ilmu atau meminta fatwa yang suaminya tidak mengajarkannya atau untuk menjenguk orang tuanya sebelum ada larangan dari suaminya atau keluar untuk mencari nafkah yang suaminya sulit untuk mendapatkannya.[6]
2.      Isteri tidak membukakan pintu untuk membolehkan suaminya masuk atau sebaliknya yaitu isteri tidak mengizinkan suaminya keluar dari rumahnya pada yang bukan haknya atau gilirannya.[7]
3.      Isteri tidak membiarkan suaminya untuk menguasainya meskipun bukan untuk jimak dengan tidak ada keuzuran padanya.
Perbuatan-perbuatan isteri sebagaimana yang diuraikan di atas dapat dikatakan nusyuz. Oleh karena isteri telah menghilangkan hak suami atas dirinya, sehingga suami tidak memiliki kehalalan terhadap isterinya, atau dengan kata lain tidak ada tamkin atas suaminya.
Menurut Ibn Hazm, seorang isteri boleh dikatakan nusyuz apabila isteri tersebut menolak atau tidak mentaati suaminya bila ia diajak untuk jimak. Karena pengertian mentaati suami adalah bila ia mengajak kepada jimak saja.[8] Hal tersebut di pahami oleh Ibn Hazm berdasarkan firman Allah SWT.
فإن اطعنكم فلاتبغوا عليهن سبيلا. (سورة النساء: ٣٤)
Artinya: Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. (an-Nisa’: 34)
                        Adanya kata mentaati itu  karena ada nusyuz yang dinyatakan pada ayat lain:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang kamu khawatir berbuat nusyuz, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.
                        Dengan demikian jelaslah, bahwa pengertian taat dalam ayat tersebut termask memenuhi hajat suami bila mengajak kepada jimak. Dalam penjelasan selanjutnya Ibn Hazm mengemukakan suatu riwayat sebagaimana berikut:
ومن طريق شعبة سألت الحكم بن عطيبة عن إمرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة؟ قال: نعم.[9]
Artinya: Dari Thariq Syu’bah aku bertanya kepada Hakam bin Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah, dalam keadaan marah, adakah baginya nafkah? Dia berkata: Ya, ada.
                        Kondisi isteri yang keluar dari rumah suaminya dalam keadaan marah, menurut pendapat Ibn Hazm  sebagai isteri yang nusyuz terhadap suaminya. Jika dilihat dari pernyataan sebelumnya, bahwa seorang isteri dikatakan telah nusyuz bila tidak memenuhi ajakan atau tidak mentaati suaminya untuk jimak, maka boleh jadi keluarnya isteri dari rumah suaminya dalam keadaaan marah tersebut adalah suatu sikap penolakkan atau tidak patuh terhadap ajakan suami kepada jimak.
                        Selanjutnya Ibn Hazmberpendapat, bahwa jika seorang isteri tidak mahu membantu suami, yaitu tidak memasak, tidak menyapu rumah dan lain-lainnya maka hal tersebut tidaklah dikatakan nusyuz, karena hal itu tidaklah harus dilakukan oleh isteri akan tetapi jika dilakukan lebih baik baginya. Demikian halnya seorang isteri tidak boleh berpuasa sunat bila suaminya ada, kecuali dengan izinnya, tidak memasukkan orang yang dibenci suaminya ke dalam rumah, tidak menghalangi suami atas dirinya  kapan diinginkannya dan menjaga harta suaminya. Kesemuannya ini tidak menjadi sesuatu yang haram  ditaati oleh isteri terhadap suami.
                        Dengan demikian dapat dipahami, bahwa dalam al-Quran dan as-Sunnah tidak dijelaskan secara rinci terhadap isteri nusyuz. Namun Ibn Hazm telah menemukan batas tersendiri berdasarkan pemahaman ayat dan hadits secara zahir, yaitu isteri nusyuz adalah isteri yang menolak diajak oleh suami untuk jimak, tetapi jika isteri melakukan perbuatan lain selain penolakan jimak, isteri tersebut tidak dikatakan nusyuz.


[1]Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuti, Sunan an-Nasa’i,Juz V, Beirut, Libanon: Dar al-Ma’rifah, 1991, hlm. 377. 

[2]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz V, Mesir: Dar as-Sya’bi, t.t., hlm. 176.

[3] Muhammad Najib al-Muti’i, Kitab al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Juz XV, Arab Saudi: Maktabah al-Irshad, t.t., hlm. 233.

[4]Ibrahim al-Bajuriy ‘Ala ibn Qasim al-Qazily, Juz II, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 111.

[5]Muhammad Najib Al-Muti’i, Op. cit., hlm. 124.

[6]Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi wa’ Amirah, juz IV, Semarang: Toha Putra, t.t, hlm. 78.

[7]Ibid., Juz III, hlm. 300.

[8]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 228.
[9]Ibn Hazm, Op. cit., hlm. 250.

0 Comments