1.
Pengertian
Nusyuz
Kata nusyuz berasal dari Bahasa Arab nasyaza yang
berarti tempat yang tinggi dari bumi atau berarti tempat yang tinggi dari
lembah ke bumi dan merupakan masdar dari nasyaza, yansyuzu, nusyuzan
yang berarti melihat dengan jelas dari tempat bagian bumi yang tinggi.[1]
Dalam Fath ar-Rahman, kata nasyaza disebutkan
dalam al-Quran sebanyak lima kali pada tiga tempat, yakni an-syuzu dalam
surat al-Mujadalah ayat 11 sebanyak dua kali dengan arti berdiri, kemudian satu
kali dalam surat al-Baqarah ayat 259 nusyuzuha dengan arti menyusun
kembali, dan dua kali dalam suarat al-Nisa’ yakni nusyuzuhunna pada ayat
34 dan dan nusyuzan pada ayat 128 yang kedua-duanya berarti nusyuz.[2]
Nusyuz merupakan
istilah al-Quran, para ahli menafsirkan pengertian globalnya sebagai
pembangkangan suami atau isteri atau salah satu pihak telah meninggalkan
kewajibannya. Salah satu bentuk nusyuz isteri adalah meninggalkan rumah tanpa
izin suami, melanggar perintahnya atau membencinya dan bersikap sombong
terhadapnya, sedangkan nusyuz suami yaitu ia bersikap kasar terhadap isteri,
tidak menggauli atau tidak memberikan nafkah kepada isteri.
Farid Wajdy
mengartikan nusyuz sebagai berikut:
Artinya: “Nusyuz laki-laki yaitu
timbulnya gejolak durhaka mendurhakai dan nusyuz perempuan terhadap suaminya
adalah ia durhaka atasnya dan mencari-cari kemarahannya”.
Menurut Zainuddin
bin Abdul Aziz, nusyuz itu adalah:
Artinya: “Pengertian nusyuz
adalah penolakan si isteri terhadap suami bila diajak untuk bersenang-senang
sekalipun bersenang-senang dalam bentuk bersentuhan atau pada salah satu
anggota tubuh si isteri yang dikehendaki oleh suaminya”.
Ibn Hazm tidak
mengemukakan definisi nusyuz secara jelas, hanya dapat dipahami dari
ungkapannya sebagai berikut ini:
Artinya: “Dan hendaklah berlaku
adil di antara para isteri karena itu adalah fardu, halal bagi suami memisahkan
diri darinya sehingga isteri tersebut mentaatinya dan suami boleh memukulnya”.
Dari beberapa
kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan suatu
tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak
berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami telah
melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isterinya, maka suami wajib menempuh
jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isterinya kepada kedudukannya semula
dengan tindakan yang bersifat mendidik.
Dengan ini juga
dapat diambil kesimpulan bahwa seorang isteri yang berbuat nusyuz, maka
tindakan suami adalah menasihatinya, memisahkannya dari tempat tidur dan dapat
memukulnya. Kebolehan memisahkan diri dari tempat tidur dan memukulnya ketika
mana ia berbuat nusyuz telah diatur dalam al-Quran melalui surat al-Nisa’ pada ayat 34 yaitu:
.... والتى تخافون نشوزهن
فعظوهن واهجروهن فى المضاجع واضربوهن....
Artinya: “....Wanita-wanita yang
kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka dari
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka....”.
Adapun bentuk-bentuk tindakan isteri yang dapat
dikategorikan nusyuz antara lain ialah isteri membangkang terhadap suami, tidak
mematuhi ajakan atau perintahnya, menolak berhubungan suami isteri tanpa ada
alasan yang jelas dan sah atau isteri keluar meninggalkan rumah tanpa
persetujuan atau seizin suami.[6]
Dalam kontek sekarang ini, izin suami harus dipahami
secara profesional, ini karena izin secara langsung untuk setiap tindakan
isteri tentu suami tidak selalu dapat melaksanakannya. Misalnya karena suami
selalu tidak dapat berada di rumah setiap masa. Untuk itu perlu dilihat macam-macam
tindakannya sepanjang perbuatan itu positif dan tidak mengundang kemungkinan
timbulnya fitnah, maka dengan izin suami memperbolehkannya, dapat diketahui
oleh si isteri tersebut. Meskipun demikian al-Quran telah memberi peringatan
bahwa wanita-wanita yang shaleh ialah wanita yang taat kepada Allah dan
Rasul-Nya serta memelihara diri di belakang suaminya.
[1]Ibn Manzur Jamaluddin Muhammad, Lisan Al-Arab, Juz VII, Dar
Al-Misyiyah, t.t., hlm. 284.
[2]Al-Husni al-Muqaddis, Fath ar-Rahman, Indonesia :
Maktabah Dahlan, t.t., hlm. 435.
[3]Muhammad Farid Wajdy, Dairatul Ma’arif Fi’il Quran, Kairo,
1964, hlm. 236.
[4]Zainuddin bin Abdul Aziz Al Malibari Al Fannani, Fathul Mu’in,
Juz II, Bandung :
Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 1462.
[5]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar al-Kutub
al-Ilmiah, t.t., hlm. 175.
[6]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz VII, Kairo: Maktabah Al-Adab,
1966, hlm. 175.
0 Comments
Post a Comment