Tindakan Suami Terhadap Isteri Nusyuz


1.     Tindakan Suami Terhadap Isteri Nusyuz

Kewajiban utama seorang isteri adalah patuh dan taat terhadap suaminya, karena suami adalah pemimoin terhadap isterinya, sebagaimana firman Allah SWT:
االرجال قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض.... (النساء: ٣٤)
Artinya: Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah SWT. telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain.... (al-Nisa’: 34)
                        Dalam suatu hadits Rasulullah SAW. diterangkan:
حدثنا أبو بكر بن أبى شيبة، ثنا عفان، ثنا حماد بن سلمة, عن على إبن زيد بن حدعان, عن سعيد بن المسيب, عن عائشة أن رسول الله صلعم قال: لو أمرت أحدا أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها. (رواه إبن ماجه)[1]
Atinya: Telah berkata Abu Bakar bin Abi Shaibah, dan Affan dan Hamad bin Salamah, daripada Ali Ibn Zaid bin Had’ani, daripada Said bin Musayyab, dari Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: Kalau sekiranya aku memerintahkan seseorang supaya bersujud kepada seseorang tentu aku peintahkan seorang wanita sujud kepada suaminya. (H.R: Ibn Majah)
                        Dari ayat dan hadist di atas jelaslah, bahwa wanita (isteri) diperintahkan untuk patuh kepada suaminya. Jika kemudian isteri itu nusyuz maka al-Quran memeberi petunjuk pada suami dalam menghadapinya, sebagaimana firman Allah SWT:
والتى تخافون نشوزهن فعظوهن وهجروهن فى المضاجع واضربوهن.
Artinya: Wanita-wanita yang khawatir nusyuznya, maka nasihatilah mereka, dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.
                        Mujahid menafsirkan ayat tersebut, bahwa apabila seseorang isteri nusyuz dari tempat tidur suaminya dikatakan kepadanya: Bertaqwalah kamu kepada Allah SWT. dan kembalilah kamu ketempat tidurmu, maka jika dia telah mentaatimu, maka tidak ada jalan lain baginya.[2]
                        Penafsiran mujahid merupakan tindakan nasihat terhadap isteri yang nusyuz, sebagaimana yang telah disebutkan oleh al-Quran, bila isteri telah mentaati suaminya itu sudah cukup. Sebaliknya bila isteri tidak mentaati, maka suami berkewajiban mengambil tindakan selanjutnya, seperti yang diperintahkan oleh Allah berdasarkan ayat di atas, yakni memisahkan isterinya dari tempat tidurnya. Apabila tindakan suami tersebut tidak merubah perilaku isteri, maka suami harus melakukan cara yang terakhir yaitu memukulnya.
                        Dalam pelaksanaan pukulan itu hendaknya tidak pada suatu tempat dan dihindari memukul wajah, sebab wajah merupakan pusat kecantikan seseorang wanita itu. Jangan memukul dengan cemeti atau tongkat, tapi harus diperhatikan dengan cara kelembutan dalam usaha menyedarkan isteri.[3] 
                        Hakikat memukul isteri tidak boleh menyebabkan terjadinya kekerasan atau perkelahian antara pasangannya, karena tindakan itu sama sekali tidak Islami. Dalam suatu hadits diterangkan, bahwa Rasulullah SAW. memukul hamba Allah dengan kekerasan:
عن إياس بن عبدالله بن أبى ذباب قال: قال رسول الله صلعم لا تضربوا إماءالله فجاء عمر الى رسول الله صلعم فقال ذئرن النساء على أزواجهن فرخص فى ضربهن فاطاف بال رسول الله صلعم نساء كثير يشكون أزواجهن فقال النبى صلعم لقد طاف بال محمد نساء كثير يشكون أزواجهن ليس أولئك بخياركم. (رواه أبو داود) [4]
Artinya: Dari Iyas bin Abdillah bin Abi Zubab r.a. dia berkata: Rasulullah SAW. bersabda: Janganlah kalian memukul hamba-hamba wanita Allah. Maka Umar datang mengadap Rasulullah SAW. dan berkata: Bagaimana para isteri yang berani terhadap suami mereka. Maka beliau memberi hukum keringanan untuk memukul mereka. Kemudian berdatanganlah kaum wanita di malam hari kepada keluarga Rasulullah SAW. mengadukan perihal suami mereka, lalu Nabi SAW. bersabda: Sungguh telah berdatangan banyak wanita kepada keluarga Muhammad mengadukan hal suami mereka. Para suami yang memukul siteri-isteri mereka itu, bukanlah sebaik-baik suami di antara kalian. (H.R: Abu Daud)
                        Menurut Ibn Hazm, jika didapati seorang isteri yang nusyuz, maka tindakan suami terhadapnya ialah memisahkan dirinya dari tempat tidur sehingga isteri tersebut taat, kemudian memukulnya dengan pukulan mendidik yang tidak membuat cedera dan tidak menimbulkan bekas. Untuk lebih jelas hal ini dinyatakan sebagai berikut:
فان عصته حل له هجرتها حتى تطيعه وضربها بمالم يؤلم ولا يخرج ولا يكسر، ولا يعفن فان ضربها بغير ذنب اقيدت منه. [5]
Artinya: Maka jika dia (isteri) bermaksiat kepada suami, dihalalkan baginya untuk memisahkan diri darinya sehingga ia mentaatinya dan memukulnya selama tidak menyakiti, tidak melukai, tidak memecahkan dan tidak membuat menjadi koyak, maka jika memukulnya tanpa ada salah maka dia terikat karenanya.
                        Pendapat ini didasarkan kepada suarat an-Nisa’ ayat 34, sebab terdapat hukum kebolehan melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh Allah SWT., karena adanya suatu sebab, yaitu kebolehan memisahkan diri dari isteri dan kebolehan memukulnya, oleh karena khawatir akan nusyuznya.[6]
                        Dari pernyataan Ibn Hazm tersebut dapat dipahami bahwa tindakan yang harus dilakukan oleh suami sebagai tindakan terhadap isteri yang nusyuz yaitu memisahkan dirinya dari tempat tidur sampai isterinya taat kepadanya. Selama berpisah diharapkan isteri tersebut akan berubah pikirannya dan kembali taat kepada suaminya, dan suami akan reda emosinya. Namun bila tindakan ini tidak merubah perilaku isterinya, maka suami boleh melakukan tindakan selanjutnya dengan memukul isterinya yang nusyuz itu selama tidak membuat cedera atau meninggalkan bekas luka. Jika si isteri telah sadar dan mula taat kembali kepadanya, maka suami dilarang mencari-cari kesalahannyya lagi. Sehubungan dengan keterangan di atas, sabda Rasulullah SAW:
عن حكيم بن معاوية القشيرى عن ابيه قال: قلت يا رسول الله ما حق زوجة احدنا عليه؟ قال تطعمها اذا طعمت وتكسوها اذا اكتسيت او اكتسبت ولا تضرب الوجه ولا تقبح ولا تظهرالا فى البيت. (رواه أبو داود)[7]
Artinya: Dari Hakim bin Mu’awiyah al-Qasyiri dari ayahnya dia berkata: Pernah aku bertanya ya Rasulullah, apakah kewajiban suami terhadap isterinya? Beliau menjawab: Hendaklah kamu memberi ia makan dan memberinya pakaian apabila kamu berpakaian. Dan jaganlah kamu memukul wajahnya, jangan mencelanya dan jangan memisahkan dirinya kecuali di dalam rumah. (H.R: Abu Daud)
                        Dalam hadits yang lain baginda Rasulullah SAW. menjelaskan sebagai berikut:
عن سليمان ابن عمر إبن الاحوص حدثنى أبى أنه شهد حجة الودع مع رسول الله صلعم فحمد الله واثنى عليه وذكروا وعظ ثم قال: استوصوا بالنساء خير فانهن عندكم عوان ليس تملكون منهن شياغير ذلك الا ان يأتين بفاحشة مبينة فان فعلن فاهجروهن فى المضاجع واضربوهن ضربا غير مبرج فان اطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا ان لكم من نسائكم حقا ولنسائكم عليكم حقا فاما حقكم على نسائكم فلا يوطئن فرشكم من تكرهون ولا يأذن فى بيتكم لمن تكرهون الا وحقهن عليكم ان تحسنوا اليهن فى كسوتهن وطعامهن. (رواه إبن ماجة) [8]
Artinya: Dari Sulaiman bin Amar bin al-Ahwas, bahwa ayahku telah mengkhabarkan kepadaku, bahwasanya ia menghadiri Haji Wada’ bersama Rasulullah SAW. maka Rasul memuji dan menyanjung Allah SWT., berzikir dan memberi wasiat. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda: Berwasiatlah kamu sekalian kepada wanita dengan baik, karena mereka adalah sebagai penolong untuk kamu. Dan kalian tidak memiliki apa-apa selain yang demikian itu. Kecuali kalau mereka melakukan kejahatan secara terang-terangan. Bila mereka melakukannya, maka pisahkan diri mereka  dalam urusan tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Kemudian jika mereka mentaatinya, maka janganlah kamu mencari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya kamu sekalian mempunyai hak terhadap isteri kamu, dan isteri kamu mempunyai hak terhadap kamu, ada pun hak kamu terhadap isteri kamu adalah tidak memasukkan orang yang kamu benci ke dalam rumahmu. Ingatlah dan kewajiban kamu terhadap mereka adalah membaguskan mereka dalam hal pakaian dan makanan mereka. (H.R: Ibn Majah)
                        Dari beberapa kutipan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nusyuz itu merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami dengan tidak berdasarkan syara’ sehingga meninggalkan hak dan kewajiban. Apabila suami telah melihat adanya gejala-gejala nusyuz pada isteri, misalnya isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami, isteri enggan melaksanakan kewajiban selaku isteri, isteri membangkang menolak berhubungan suami isteri tanpa alasannya, maka Allah SWT. memberi jalan kepada suami agar menghadapi hal demikian dengan menempuh jalan kebijaksanaan untuk mengembalikan isteri kepada kedudukannya semula dengan tindakan yang bersifat mendidik. Janganlah suami menjadikan nusyuz isteri sebagai alasan untuk menghukum isteri seenaknya saja. Untuk itu sebelum mengambil sesuatu tindakan, perlu diteliti secara cermat, karena bisa jadi penyebab utama isteri nusyuz adalah sebagai akibat dari tingkah laku dan watak suami yang tidak berkenan di hati isteri atau tindakan suami yang mengabaikan kewajibannya. 



[1]Al-Hafiz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Sunan Ibn Majah, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 595.

[2]Abi Ja’far Muhammad bin Jarir at-Tabari, Op. cit., hlm. 65.
[3]Alauddin Abi Bakar bin Mas’ud, Badai’u as-Sana’i, Juz II, Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm. 114.

[4]Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, Semarang: Toha Putra, hlm. 492.

[5]Ibn Hazm, Loc. Cit.
[6]Ibid., hlm. 176.

[7]Imam Daud Sulaiman, Op. cit., hlm. 606.
[8]Al-Hafiz Abi Abdullah Muhammad bin Yazid al-Qadhwiyani, Op. cit., hlm. 594.

0 Comments