A. Bentuk-bentuk Pelanggaran Peraturan Oleh Santri di Dayah
Ketertiban
merupakan suatu keadaan yang berada dalam keteraturan atau keadaan yang
teratur. Dalam berbagai lapangan kehidupan, ketertiban merupakan hal yang
penting, karena dengan tata tertib maka lembaga atau organisasi dapat
menentukan ketepatan, keamanan serta kondisi disiplin yang diinginkan.
Dari berbagai
pelanggaran yang terjadi terhadap peraturan dayah baik yang disadari maupun
yang tidak disadari, namun semuanya merupakan fenomena yang harus dihadapi oleh
pimpinan dan tenaga pengajar di lembaga dayah. Hal ini bertujuan agar proses
belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik did ayah serta dapat menjaga
harkat dan martabat lepasan (output) lembaga dayah itu sendiri.
Kebiasaan-kebiasaan
santri yang merupakan pelanggaran terhadap peraturan kedisiplinan di dayah
diantaranya sebagai berikut:
1. Berpakaian
Sebagaimana
telah diuraikan di atas, bahwa peraturan berpakaian secara muslim/muslimah di
lingkungan dayah adalah kewajiban bagi setiap santriwan dan santriwati. Jika
dalam berpakaian ada diantara mereka yang melanggar tata cara berpakaian maka
mereka telah melakukan suatu pelanggaran terhadap tata tertib dayah yang telah
diatur dan disepakati secara turun temurun dan bahkan pelanggaran terhadap
peraturan agama. Allah Swt telah berfirman:
Ayat tentang cara
berpakaianjfdffffffffffffffffffffffffffffow
Kebiasaan
santri menggunakan celana pendek, tidak menggunakan peci bagi laki-laki
merupakan suatu bentuk pelanggaran peraturan dayah dalam berpakaian. Demikian
juga bagi santri perempuan tidak menggunakan jilbab, memakai celana jeans
(lea), memakai kaus oblong dan memakai pakaian ketat juga merupakan pelanggaran
peraturan kedisiplinan berpakaian bagi wanita.
Abdullah
Nashih Ulwan dalam bukunya “Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam”
menyebutkan bahwa:
Haram bagi mahram laki-laki,
terutama jika ia berada dalam masa peralihan untuk melihat salah satu bagian
tubuh dari seorang mahram wanitanya yang menggunakan pakaian pendek hinnga
tampak kedua pahanya atau menggunakan pakaian tipis sehingga tampak aurat yang
haram untuk dilihat. Demikian juga haram bagi anak gadis atau dari salah
seorang mahram laki-lakinya sekalipun putranya, saudara laki-lakinya atau
ayahnya dan meski merasa aman dari fitnah.[1]
Selanjutnya,
baik di lingkungan dayah maupun di luar lingkungan dayah cara berpakaian
seperti tersebut di atas merupakan suatu kelaziman yang dilakukan baik bagi
santri ataupun masyarakat biasa. Dalam Islam memakai pakaian yang bukan
pakaiannya merupakan zalim terhadap aturan agama.
2. Berpacaran
Berbicara atau
duduk berduaan dengan lawan jenis di tempat-tempat tertentu dalam lingkungan
dayah merupakan suatu bentuk kesalahan yang dilakukan oleh santri dan termasuk
pada pelanggaran terhadap peraturan kedisiplinan dayah. Berpacaran merupakan
suatu perbuatan syaitan yang sangat dibenci oleh Allah, jika mereka berduaan
sudah pasti ada pihak ketiga yang menggoda mereka untuk melakukan perbuatan
yang dilarang dalam agama Islam.
Dalam hal
berpacaran, Abdullah Nashih Ulwan menyebutkan bahwa “percampuran antara anak
laki-laki dengan wanita pada masa tamyiz dan peralihan mempunyai pengaruh besar
terhadap keutamaan akhlak, ilmu, ekonomi, tubuh dan syaraf”.[2]
Oleh karena
demikian berpacaran di kalangan santri adalah suatu perbuatan yang melanggar
peraturan kedisiplinan dayah. Karena perbuatan tersebut dapat mencemari nama
baik dayah dan juga melanggar hukum-hukum al-Qur’an,
3. Meninggalkan
shalat
Meninggalkan
shalat baik berjamaah maupun shalat sendiri merupakan suatu bentuk pelanggaran
peraturan yang dilakukan oleh para santri di lembaga dayah. Karena shalat
merupakan suatu kewajiban atas setiap muslim, maka barang siapa yang
meninggalkan shalat adalah suatu perbuatan dosa dan melanggar ketentuan Tuhan.
Oleh karena demikian setiap orang yang menuntut ilmu di sebuah lembaga dayah melaksanakan
shalat merupakan sebuah kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dan jika
meninggalkan shalat sudah merupakan perbuatan yang melanggar terhadap peraturan
dayah, terutama peraturan agama yang mewajibkan shalat.
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayat
tentang shalat
Kyai Syamsuri,
pimpinan pesantren Tebuireng dalam khutbah jum’at tanggal 28 April 1978
menyebutkan bahwa “engkau para santri janganlah mengerjakan shalat karena
diwajibkan, tetapi hendaknya karena engkau mencintai Allah”.[3]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa mengerjakan shalat haruslah dilakukan
semata-mata karena bukti cinta kita kepada Alah, bukan hanya didasari oleh
kewajiban semata, apalagi meninggalkan shalat merupakan perbuatan yang
melanggar bagi seorang santri di lingkungan dayah terutama jika meninggalkan
kewajiban shalat berjamaah.
4. Tidak
ikut pengajian
Tugas utama
seorang santri pada lembaga dayah adalah belajar, yaitu mempelajari al-Qur’an
dan kitab-kitab lain yang diajarkan didayah. Kewajiban ini harus dilaksanakan
oleh para santri dengan penuh kesadaran dan keikhlasan tanpa adanya unsur
paksaan dari pihak manapun juga. Oleh karena itu seorang santri pergi dan
menetap di suatu pesantren dengan tujuan untuk mempelajari berbagai disiplin
ilmu agama yang diajarkan oleh ustaznya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
oleh Zamakhsyari Dhofier:
1. Santri ingin
mempelajari kitab-kitab yang membahas Islam secara lebih mendalam di bawah
bimbingan kyai yang memimpin pesantren tersebut.
2. Memperoleh pengalaman
kehidupan pesantren, baik didalam bidang pengajaran, keorganisasian maupun
hubungan dengan pesantren-pesantren lain yang terkenal.
3. Memusatkan studinya di
pesantren tanpa disibukkan oleh kewajiban-kewajiban sehari-hari di rumah
tangganya.[4]
Karena kita
ketahui bahwa santri merupakan orang-orang yang menyerahkan dirinya pada
ustaz/tengku untuk dididik menjadi muslim yang baik. Ia harus menjalani segala
peraturan did ayah dengan penuh kerelaan dan kesadaran (ikhlas). Sehingga ia
dapat memperoleh berkah atau keberhasilan dalam menuntut ilmu.
Oleh karena
itu apabila seorang santri yang sengaja meninggalkan pengajian atau tidak ikut
pengajian, apalagi dilakukan berulang kali maka ia telah melakukan pelanggaran
terhadap peraturan kedisiplinan dayah. Maka dalam hal ini santri harus diberi
suatu hukuman atau peringatan agar tidak mengulang lagi perbuatannya. Karena
tujuan utama santri adalah untuk memperoleh ilmu agama melalui pengajian di
dayah-dayah.
5. Mengganggu
teman belajar
Pada dasarnya
manusia itu berbeda-beda sifat, tingkah laku maupun pemikirannya. Dalam suatu
lembaga pendidikan khususnya dayah yang melibatkan banyak orang tentunya timbul
bermacam-macam tingkah laku dan sifat, ada yang pendiam, keras, rajin, suka
mengganggu, dll.
Abdullah
Nashih Ulwan menyebutkan bahwa anak-anak dilihat dari segi kecerdasannya
berbeda-beda, baik lenturan maupun pemberian tanggapan. Juga berbeda dalam segi
pembawaan, ada yang pembawaannya kalem, ada yang keras bahkan ada yang
emosional.[5]
Dari pendapat
tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sifat yang dimiliki anak-anak berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Dalam sebuah lembaga pendidikan seperti dayah
yang melibatkan banyak orang tentunya juga menghadapi berbagai tingkah laku
para santri. Oleh karena itu sifat mengganggu yang ada pada diri anak-anak
perlu dihilangkan agar suasana belajar menjadi tenang dan lancar.
Perbedaan
individu pada diri santri menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan di
lingkungan dayah terutama pada saat berlangsungnya pengajian, dimana para
santri yang mempunyai sifat keras akan mengganggu teman-temannya, berbicara dan
suka tertawa, hal ini menyebabkan suasana belajar menajdi tidak tenang dan
terganggu.
6. Berbohong
dan dusta
Gejala
berbohong merupakan gejala terburuk dalam pandangan Islam. Oleh karena itu
berbohong cukup untuk dikatakan sebagai sifat yang buruk, apabila Islam telah
mengatakan bahwa orang yang melakukannya akan mendapatkan murka dan siksa dari
Allah.
Berbohong juga
merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketertiban dayah, karena dengan
berbohong santri akan melakukan dosa baik terhadap pendidik maupun kepada
dirinya sendiri. Abdullah Nashih Ulwan menyebutkan bahwa “kebohongan dapat
dikatakan sebagai perbuatan yang buruk karena Nabi saw memandangnya sebagai
pengkhianatan yang besar.[6]
Berbohong atau
berdusta sangat berbahaya bagi semua kalangan, terutama anak-anak. Sayang,
perbuatan ini sangat sulit dihindari oleh seseorang jika sering dan biasa
melakukannya, meski hanya pada sebagian perkara. Apabila akhlak buruk ini tidak
diatasi pada masa kanak-kanak, maka tatkala dewasa nanti akan sangat sulit
untuk ditinggalkan.
7. Mencuri
Gejala suka
mencuri, tidak kurang bahayanya dari gejala suka berbohong. Gejala ini tersebar
luas di dalam masyarakat, bahkan dapat juga terjadi di dalam lingkungan
pendidikan. Apalagi yang sifatnya hidup bersama dalam satu asrama sebagaimana
layaknya para santri dilingkungan dayah.
Sudah menjadi
kenyataan jika anak sejak masa perkembangannya tidak dididik untuk mengingat
takut kepada Allah dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya, maka tidak
diragukan lagi bahwa secara bertahap anak akan melakukan penipuan, pencurian
dan pengkhianatan.
Mencuri juga
merupakan suatu gejala pelanggaran terhadap peraturan kedisiplinan dayah, baik
yang menyebabkan kerugian dipihak lain ataupun tidak. Bahkan dalam Islam
mencuri merupakan suatu perbuatan yang sangat dilarang, karena akibat dari
perbuatan itu menyebabkan penderitaan dipihak lain. Mencuri bukan hanya
disebabkan oleh kekurangan uang, akan tetapi juga dipengaruhi oleh factor lain
seperti tabiat (kebiasaan), untuk berfoya-foya, dan juga kebiasaan berjudi,
sebagaimana yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat:
1. Keadaan ekonomi yang
sangat paran, anak-anak terpaksa melakukan kejahatan pencurian karena untuk
menyambung hidupnya.
2. Keinginan untuk berfoya-foya,
kebiasaan hidup mewah dan berfoya-foya dengan teman sebayanya didalam pesta
pora sering mengakibatkan anak-anak melakukan pencurian.
3. Kebiasaaan bermain
judi, dalam kenyataan memang banyak sekali anak-anak yang terjerumus kedalam
perjudian sebagai pengaruh langsung dari kehidupan masyarakat sekitarnya yang
pada akhirnya anak akan dituntut untuk selalu mempunyai uang walaupun itu dari
hasil perbuatan mencuri.[7]
dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa mencuri baik di lingkungan dayah maupun di
dalam masyarakat merupakan suatu bentuk pelanggaran peraturan kedisiplinan yang
harus dimusnahkan oleh berbagai pihak baik oleh pemerintah, ulama maupun
tokoh-tokoh masyarakat. Karena kita ketahui bahwa dengan mencuri dapat
merugikan orang lain dan bagi yang melakukannya berarti telah memakan benda
yang bukan miliknya.
[1]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Mendidik …, hal. 374
[2]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Mendidik …, hal. 378
[3]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi …, hal. 119
[4]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi …, hal. 52
[5]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Mendidik …, hal. 1146
[6]Abdullah Nashih Ulwan, …, hal. 180
[7]Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta: Gunung Agung,
1989), hal. 76
0 Comments
Post a Comment