Cara Mengatasi Pelanggaran Peraturan Oleh Santri di Dayah


A. Cara Mengatasi Pelanggaran Peraturan Oleh Santri di Dayah

Setiap peraturan atau ketertiban yang telah ditetapkan akan mempunyai hukuman bagi pelanggarnya. Dalam menghadapi santri yang melanggar peraturan dayah atau mengatasi berbagai pelanggaran kedisiplinan dayah, diperlukan sikap tengku untuk terbinanya ketertiban tersebut.Wahjoetomo menyebutkan bahwa tiga sifat kyai yang penting dalam mengatasi santri yang melanggar peraturan yaitu:
1.    Sikap objektif terhadap pelanggaran yang menimbulkan respek anak didik pada pendidik dan peraturan ketertibannya.
2.    Sikap tenang, bijaksana terhadap pelanggaran mengurangi terjadinya kekacauan.
3.    Bila hukuman diberikan, sikap tenang dan emosi pendidik diperlukan.[1]

Adapun cara yang dilakukan untuk mengatasi berbagai pelanggaran peraturan kedisiplinan dayah oleh para pemimpin maupun tengku-tengku dayah adalah sebagai berikut:
1.     Secara Edukatif
Dalam menanggulangi berbagai permasalahan yang terjadi di lingkungan dayah, para tengku dapat menempuh melalui sisi pendidikan. Dalam hal ini pendidikan berfungsi untuk memperbaiki akhlak anak didik yang sering melakukan kesalahan. Kita ketahui bahwa anak didik berbeda dalam berbagai segi baik segi kecerdasan, pembawaan, ketergantungan maupun sifatnya.
Pendidikan dengan cara memberi teladan yang baik, anak akan mendapatkan sifat-sifat utama, akhlak yang sempurna, meningkat pada keutamaan dan kehormatan. Dengan pendidikan teladan ini anak yang melakukan kesalahan akan kembali kepada kebenaran dan tidak akan mengulangi kesalahan lagi.
Selanjutnya Zamakhsyari Dhofier mengemukakan bahwa ada tiga cara mengatasi pelanggaran peraturan yang dilakukan oleh kaum santri di lingkungan dayah, yaitu: a. Melalui nasehat, b. Melalui keteladanan, dan c. Melalui hukuman.[2]
Untuk lebih jelas cara mengatasi pelanggaran terhadap ketertiban dayah penulis akan menguraikan satu persatu sebagai berikut:
a.      Melalui nasehat
Di dalam jiwa manusia terdapat pembawaan untuk terpengaruh oleh kata-kata yang didengar. Pembawaan itu biasanya tidak tetap dan oleh karena itu kata-kata harus selalu diulang-ulang. Nasehat yang berpengaruh membuka jalan kedalam jiwa secara langsung melalui perasaan, ia menggerakkan dan menggoncangkan isinya selama waktu tertentu. Dalam hal ini Departemen Agama menyebutkan bahwa:
Rasulullah saw telah mencurahkan perhatian yang besar terhadap masalah nasehat dan mengarahkan para pendidik dan da’i agar menyampaikan pengajaran, menyerukan kepada setiap muslim dalam kehidupannya agar menjadi penyebar risalah Allah dalam setiap situasi dan kondisi. Sehingga diharapkan nasehat dan petunjuknya akan berpengaruh dan meninggalkan bekas pada orang-orang yang mempunyai akal atau menggunakan pendengarannya, sedang ia menyaksikan. Juga diharapkan mereka menjadi malaikat penolong dengan jalan nasehat dan dakwah bagi orang-orang yang tenggelam dalam Lumpur dosa jahiliyah, terperosok ke dalam jurang maksiat dan hilang dalam kegelapan kesesatan.[3]

Metode nasehat dalam pendidikan merupakan metode yang dapat membentuk keimanan, mempersiapkan moral, spiritual dan sosial anak. Sebab dengan nasehat dapat membuka mata anak-anak pada hakikat sesuatu dan mendorongnya menuju situasi luhur dan menghiasinya dengan akhlak yang mulia serta membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Al-Qur’an penuh dengan ayat-ayat yang menjadikan metode nasehat (memberikan pengajaran) sebagai dasar dakwah, jalan menuju perbaikan individu dan memberi petunjuk kepada berbagai kelompok. Dengan demikian para pendidik hendaknya memahami dan menggunakan metode-metode al-Qur’an dalam upaya memberi nasehat, peringatan dan bimbingan agar anak didik yang melakukan pelanggaran tersentuh hatinya dengan nasehat-nasehat yang diberikan sehingga perbuatan melanggar yang dilakukannya dapat berkurang atau hilang sama sekali. Sebagaimana Allah berfirman:
Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaayyyyyyyyyyyyyyaaaaaaaaaaaaaaaaaatttttttttttt
Nasehat memiliki peran yang sangat besar dalam memberikan pengaruh dalam mendorong anak didik untuk melakukan hal-hal yang utama dan akhlak yang mulia, dalam membina dan menghaluskan jiwanya. Telah dimaklumi bahwa dalam bidang pendidikan pemberian nasehat adalah langkah pertama yang dilakukan oleh seorang pendidik jika menemukan pelanggaran dilakukan oleh anak didiknya.
b.     Melalui keteladanan
Allah Swt telah berfirman dalam al-Qur’an:
Aaaaaaaaaaaaaaaayyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyyaaaaaattttttttt
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-orang yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah (Al-Ahzab: 21).
Keteladanan dapat diambil dari seluruh nabi, rasul, ulama, tokoh-tokoh dan orang-orang yang mempunyai sifat yang utama, karena mereka merupakan petunjuk dan model yang tepat bagi pelaksanaan kebaikan, keutamaan dan pendidikan yang terarah. Karena itu setiap anak yang menjalani proses pendidikan memerlukan keteladanan yang baik dan panutan yang shaleh. Keteladanan dapat diperoleh dari kedua orang tuanya, dari guru-gurunya atau dari orang yang mendidiknya. Anak-anak dan bahkan manusia itu pada umumnya memiliki kebutuhan psikologis untuk menyerupai dan mencontoh individu-individu yang dicintai dan dihargainya. Kebutuhan ini muncul pertama kalinya melalui peniruan anak kepada kedua orang tuanya atau kepada orang yang sebentuk dan sepadan dengan mereka. Maksudnya pada masa kanak-kanak kita belajar bahwa sesungguhnya orang lain itu mesti mirip dan berperilaku sama dengan orang yang kita anggap memiliki kedudukan penting, misalnya ayah dan ibu, guru, kyai, tengku atau orang-orang lain yang memiliki pengaruh terhadap lingkungannya.
Seorang pendidik, kyai atau tengku di dayah merupakan panutan, makanya mereka harus menelaah perilakunya sebelum memberikan nasehat kepada anak/santrinya apakah nasehat itu sesuai dengan perbuatannya atau tidak.
Para ahli pendidikan sangat menekankan agar para pendidik (guru/kyai/tengku) menjadi contoh yang diteladani dan teladan yang baik bagi anak-anak atau santri-santrinya. Hal ini karena pendidikan mementingkan pemberian contoh keteladanan terutama keteladanan yang sesuai dengan al-Qur’an dan hadits, karena cara tersebut sangat berpengaruh dalam menjelaskan makna, memudahkannya dan memberikan kesan yang sangat mendalam bagi yang menauladaninya.
Anak-anak/ santri akan memperoleh banyak manfaat dari aneka metode pendidikan melalui pemberian keteladanan, sebab biasanya pemahaman mereka bergantung pada hal-hal yang konkret. Anak-anak belum mampu memahami konsep yang universal dan abstrak kecuali dengan menggunakan contoh-contoh yang konkret, terutama bagi anak didik yang berusia dini.  
c.      Melalui hukuman
Hukuman merupakan bentuk pendidikan, kontrol sosial dan pembinaan perilaku yang paling menonjol yang dipergunakan oleh para pendidik dewasa ini. Sehubungan dengan penggunaan hukuman, para pakar pendidik berpesan agar tidak mengandalkan cara ini saja kecuali cara-cara yang lainnya tidak membuahkan hasil. Ucapan terima kasih, pujian, memandang baik, memberikan hadiah yang sederhana dapat mendorong santri/ anak didik untuk lebih berhasil. Jika hanya teknik hukuman yang diberikan maka akan menimbulkan kemalasan, kelemahan dan menurunkan semangat. Disamping itu juga perlu memperhatikan perbedaan individual, dimana antara anak ada yang merasa takut hanya dengan isyarat dan ada pula yang menghentikan perbuatannya yang buruk setelah dibentak dengan tegas.
Diantara langkah-langkah penerapan hukuman menurut pendidikan adalah sebagai berikut:
Pertama, kita berpura-pura tidak tahu terhadap kesalahan anak disertai dengan isyarat dan sindiran tanpa menunjukkan dan menerangkan kesalahannya. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan agar anak/santri berinstropeksi diri atas perilakunya dan memperbaiki kesalahannya. Pendidik tidak perlu menunjukkan kesalahan yang telah dilakukannya dengan keras karena boleh jadi hal itu akan membuatnya mengulangi kesalahannya sebagai protes atau pembangkangan.
Kedua, menegur anak secara halus. Setelah melakukan sindiran pada langkah pertama, langkah selanjutnya adalah menegur dan menjelaskan kesalahannya dengan halus. Teguran dan penjelasan tidak perlu berlebih-lebihan agar tidak menjatuhkan wibawa pendidik dalam pandangan anak. Sebagai bahan pertimbangan jangan terlampau banyak dan sering mencela sebab anak akan menjadi terbiasa mendengar celaan dan melakukan kesalahannya sehingga perkataan tidak lagi berpengaruh bagi hatinya.
Ketiga, tegur dan celalah anak dengan keras. Jika anak mengulangi kesalahannya walaupun dia telah diingatkan dan dicela secara halus, maka langkah selanjutnya ialah anak dicela didepan teman-temannya, namun celaan dan teguran itu jangan terlampau melampau batas sehingga menjadi makian, cercaan atau penghinaan atas dirinya. Teguran yang dilakukan dihadapan orang lain bertujuan untuk memanfaatkan kekhawatiran anak atas kedudukannya dihadapan teman-temannya supaya dia menghentikan kesalahannya dan memperbaiki perilakunya yang melanggar. Cara itu juga dimaksudkan sebagai nasihat dan peringatan bagi yang lain supaya mereka tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang sama. Sebaiknya celaan yang keras kepada anak jangan diulang-ulang agar nilai hukuman tidak hilang.
Keempat, sebagai langkah terakhir adalah pukulan. Cara ini merupakan tindakan terakhir dari serangkaian langkah hukuman yang bervariasi sebelumnya. Para pendidik umumnya menyetujui cara ini setelah pembinaan lainnya digunakan dengan beberapa pertimbangan yang berat agar hukuman itu tidak terlepas dari kerangka pendidikan. Pukulan dilakukan karena anak melakukan kesalahan yang benar-benar nyata, bukan atas kesalahan yang dikira-kira. Pukulan tidak boleh dilakukan dengan keras dan menimbulkan luka sebab hal ini melenceng dari tujuan untuk memberbaiki kesalahan.
2.     Pengawasan
Para tengku di lingkungan dayah juga menerapkan metode pengawasan terhadap santri-santri yang sering melakukan pelanggaran peraturan. Hal ini dimaksudkan agar santri patuh dan taat kepada peraturan yang telah ditetapkan dayah serta menghindari diri dari berbagai pelanggaran.
Abdullah Nashih Ulwan mengemukakan bahwa “pengawasan dapat membuat anak menjadi baik, jiwanya akan luhur, budi pekertinya akan mulia dan akan menjadi anggota masyarakat yang berguna dan tanpa pengawasan anak akan terjerambab pada kebiasaan yang hina dan dalam masyarakat ia akan menjadi sampah”.[4]
Oleh karena demikian pengawasan yang dilakukan oleh para pemimpin dan tengku terhadap santri yang sedang menuntut ilmu di dayah merupakan cara tradisional (adat) yang dilakukan untuk membina dan mengarahkan mereka sehingga menjadi orang-orang yan berguna dan berakhlak mulia.
Jika pengawasan terhadap mereka tidak dilakukan, niscaya mereka akan membuat berbagai pelanggaran peraturan di dayah. Mereka tidak segan-segan melakukan apa saja selama pengawasan tidak ada. Misalnya mencuri, berpacaran, menghisap ganja dan berbagai pelanggaran lainnya. Namun jika keberadaan santri terus diawasi, mereka tidak akan berani melakukannya karena takut diketahui oleh tengku atau gurunya.
Dengan demikian pengawasan merupakan salah satu metode/cara yang dapat digunakan untuk mengatasi berbagai bentuk pelanggaran kedisiplinan dayah yang dilakukan oleh santri. Dengan pengawasan, baik yang dilakukan oleh orang tua, guru (tengku), maupun masyarakat membuat anak didik lebih hati-hati dalam melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri maupun institusi.



[1]Wahjoetomo, Perguruan Tinggi …, hal. 15
[2]Zamakhsyari Dhofier, Tradisi …, hal. 297

[3]Departemen Agama, Pola Pengembangan Pondok Pesantren, (Jakarta: Dirjend Bimbaga Islam, 2003), hal. 3
[4]Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak …, hal.379

0 Comments