1.
Dalil-Dalil
yang Digunakan Ibn Hazm
Dalam menguatkan pendapatnya sebagaimana yang telah diuraikan
di atas, Ibn Hazm tentu mempunyai alasan-alasan ataupun dalil-dalil serta dasar
pemikiran yang menurutnya sesuai untuk dijadikan suatu dalil. DaliI yang
dipergunakan adalah berdasarkan surat
al-Nisa' ayat 34:
الرجال
قوامون على النساء بما فضل الله بعضهم على بعض و بما انفقوا من أموالهم فالصالحات
قانتات حافظات للغيب بما حفظ الله والتى تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع
واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)
Artinya: “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita, Oleh karena Allah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu wanita yang
solihah ialah yang taat kepada Allah SWT. lagi memelihara diri ketika suaminya
tiada, oleh karena Allah SWT. telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar”.
Menurut Ibnu Hazm, ayat tersebut merupakan penjelasan
dari Allah SWT. tentang apa yang harus dilakukan suami terhadap isteri yang
nusyuz, kecuali diberi nasihat, memisahkan diri dari tempat tidur dan
memukulnya. Tidak ada dinyatakan oleh Allah SWT. untuk menggugurkan nafkah dan
pakaiannya. Kemudian andaikan seseorang melakukan pengguguran nafkah sebagai
hukuman yang diberikan kepada isteri yang nusyuz, maka itu adalah suatu cara
yang tidak diizinkan oleh Allah SWT. dan itu suatu kebathilan.[1]
Selanjutnya Ibnu Hazm menjelaskan, bahwa
memang benar nusyuz adalah perbuatan zalim, tetapi tidak seluruh perbuatan zalim
terhalangi untuk memperoleh nafkah, kecuali adanya nash yang menyatakan isteri
nusyuz gugur haknya untuk menerima nafkah. Dalam hal ini Ibnu Hazm memahami
ayat di atas berdasarkan makna zahir nash semata-mata. Dalam ayat hanya
dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz. Sedangkan masalah
nafkahnya tidak dinyatakan gugur oleh ayat tersebut. Oleh karena itu Ibnu Hazm berpendapat,
bahwa isteri yang nusyuz tetap berhak mendapatkan nafkah.
Pendapat ini diperkuatkan lagi berdasarkan hadits Nabi
SAW. ketika berkhutbah di Arafah.
عن
جابر بن عبدالله أن رسول الله صلعم قال فى خطبته فى عرفة: فاتقوا الله فى النساء
فإنكم أخذا تموهن بأمان الله واستحللتم فروجهن بكلمة الله ولكم عليهن أن لايوطئن
فرشكم أحدا تكرهونه فإن فعلن ذلك فاضربوهن ضربا غير مبرح ولهن عليكم رزقهن وكسوتهن
بالمعروف. (رواه مسلم)
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah bahwasanya
Rasulullah SAW. berkata pada khutbah di Arafah pada hari Arafah: Bertaqwalah
kamu kepada Allah dalam urusan wanita, maka sesungguhnya kamu telah mengambil
mereka dengan amanah Allah dan telah menghalalkan kamu akan faraj mereka dengan
kalimah Allah Ta'ala dan bagi kamu kewajiban mereka bahwasanya mereka tidak
membiarkan masuk seseorang yang kamu membencinya ke dalam tempat tidurmu,
kemudian jika mereka melakukan yang demikian maka pukullah mereka dengan pukulan
yang tidak melukai, dan bagi mereka kewajiban kamu untuk memberi rezeki dan
pakaian kepada mereka dengan cara yang ma'ruf. (H.R:
Muslim)[2]
Imam Syafi’i mengatakan, bahwa hadits tersebut
menunjukkan wanita berhak mendapatkan nafkah dari suaminya semenjak adanya aqad
nikah.[3]
Sesungguhnya orang yang mengatakan
nafkah itu ada karena adanya kerelaan diajak bina (berkumpul), adalah pendapat
yang tidak didasarkan kepada al-Quran dan as-Sunnah dan tidak ada perkataan
sahabat, tidak qiyas serta bukan pendapat yang memiliki suatu sebab atau
alasan. Sesungguhnya tidak diragukan seandainya Allah SWT. menginginkan
pengecualian atas anak yang masih kecil dan wanita yang nusyuz dengan keadaan
demikian, maka Allah SWT. akan mendatangkan penjelasan terhadap hal tersebut
sebagai pembuat syari'at tidaklah mungkin Allah SWT. lupa.
Rasulullah SAW. sebagai pembawa syari'at yang
menyampaikan hadits tersebut tidak berbicara dengan hawa nafsunya melainkan
dengan wahyu yang telah diwahyukan kepadanya, sebagaimana firman Allah dalam surat an-Najm ayat 3-4:
وما
ينطق عن الهوى ان هو إلا وحى يوحى....
Artinya: “Dan
tidaklah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya,
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)...”.
Dari kesimpulan yang dapat diambil dari hadits Nabi SAW.
ketika berkhutbah di Arafah yang telah disebutkan di atas, menunjukkan bahwa
pendapat Ibn Hazm adalah sesuatu yang bersifat umum, mencakup keseluruhan
wanita yang wajib dinafkahi tidak terkecuali yang nusyuz.
Selanjutnya dapat dipahami perkatan Umar Ra. sebagai
berikut:
أخبرنى
نافع عن إبن عمر قال: كتب عمر إبن الخطاب الى امرأ الأجناد ان انظروا من طالت
غيبته أن يبعثوا نفقة أو يرجعوا أو يفارقرا فان فارق فان عليه نفقة مافارق من يوم
غاب.
Artinya: “Telah dikhabarkan kepadaku oleh Nafi'
dari Ibn Umar berkata : Umar bin Khattab telah menetapkan kepada panglima
perang, bahwasanya engkau telah melihat orang yang lama kepergiannya, hendaklah
ia mengirimi mereka (isteri) nafkah, atau kembalilah kepada mereka, atau
ceraikanlah mereka. Kemudian jika ia menceraikan maka kewajibannya memberi
nafkah, tidaklah ia bercerai dari hari yang dia pergi”.[4]
Dari
ungkapan di atas Ibn Hazm menyatakan, bahwa Umar tidak mengkhususkan wanita
yang nusyuz dari yang lainnya.[5]
Keumuman perkataan Umar yang menetapkan
kepada tentera yang lama meninggalkan isteri-isteri mereka untuk mengirimkan
nafkah kepada isteri-isteri mereka dan tidak mengecualikan isteri yang nusyuz.
Umar memberikan ketetapan yang sedemikian selaras dengan apa yang dipegangi
para sahabat lainnya.
Selanjutnya orang yang menghalangi nafkah isteri nusyuz
berarti ia telah menzalimi orang yang nusyuz tersebut dan ini adalah bathil. Menurut
Sufyan as-Tsaury dan sahabat lainnya:
ومن
طريق سعبة سألت الحكم عن عتيبة عن إمرأة خرجت من بيت زوجها غاضبة هل لها نفقة؟
قال: نعم, وقال أبو سليمان وأصحابه وسفيان الثوري النفقة واجبة للصغيرة من حين
العقد عليها.
Artinya: “Dari Thariq Syu'bah aku bertanya kepada
Hakam bin 'Utaibah tentang seorang perempuan yang keluar dari rumah suaminya
dalam keadaan marah, apakah ada baginya nafkah? Dia berkata: Ya ada. Dan
berkata Abu Sulaiman dan sahabat-sahabatnya serta Sufyan as-Tsaury: Nafkah
wajib bagi anak kecil semenjak aqad kepadanya”.[6]
Pernyataan Sufyan as-Tsaury berserta sahabat-sahabatnya
yang lain dipahami oleh Ibn Hazm bahwa nafkah isteri telah wajib sejak menikah
meskipun isterinya itu masih dalam buaian.
Berdasarkan dalil al-Quran dan as-Sunnah
yang telah dikemukakan di atas, Ibn Hazm memahaminya sebagai dalil yang tidak
menerangkan kekhususan wanita yang nusyuz untuk tidak menerima nafkah, sebab
Ibn Hazm memahami dalil-dalil tersebut secara zahir nash.
0 Comments
Post a Comment