A.
Sebab-sebab
Terjadinya Perbedaan Pendapat Antara Imam Safi’i Dan Ibn Hazm
Nafkah (biaya hidup) merupakan hak isteri
dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian dan kediaman, serta beberapa kebutuhan
pokok lainnya dan bahkan pengobatan sekalipun siisteri termasuk seorang wanita
yang kaya. Nafkah dalam bentuk ini diwajibkan hukum berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah.
Namun demikian, bila kedua ulama fiqh telah
berbeda pendapat, maka hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya perbedaan
dalam menafsirkan dalil. Imam Syafi'i
menentukan dalil surat
an-Nisa’ ayat 34, sedangkan Ibn Hazm juga menetapkan surat tersebut sebagai dalil dalam menentukan
nafkah. Namun di antara keduanya silang pendapat dalam mengambil pemahaman dari
ayat tersebut, sehingga terjadi pula perbedaan pemahaman terhadap penentuan
dalil mengenai kadar nafkah isteri nusyuz.
Mengenai hal
tersebut, beberapa ulama telah memberikan perincian tentang masalah terpenting
yang harus diberikan sebagai nafkah pada masa ketika menuliskannya. Hal ini
dapat disesuaikan dengan kebutuhan masa kini agar selaras dengan keadaan negeri
dan standar kehidupan mereka. Nafkah merupakan tanggung jawab seorang ayah
terhadap putera-puterinya sampai mereka menikah, dan putera sampai berusia
puber. Begitu pula setiap muslim menafkahi orang tuanya serta kakek neneknya
kalau dia mampu melakukan hal itu. Seandainya memungkinkan dan seseorang
memiliki harta, maka dia sepatutnya memperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan
tiap kaum kerabatnya yang muslim. Menurut Mazhab Hanafi, setiap keluarga sampai
pada derajat atau tingkat tertentu berhak untuk dinafkahi, seandainya dia masih
kanak-kanak dan miskin, lemah dan buta serta melarat, atau kalau dia seorang
perempuan yang sudah berkeluarga yang masih anak-anak atau sudah dewasa.[1]
Namun demikian,
Qadhi Abu Yusuf, salah seorang ulama Syafi’iyah menyampaikan kalau siisteri bersikap
nusyuz dan suaminya menerima sikap isterinya, maka suami wajib menafkahinya. Dan
tidak wajib memberikan nafkah bila suami tidak rela terhadap sikap isterinya
tersebut. Namun Imam Nawawi sendiri bersama muridnya, Imam Muhammad mengikuti pendapat
tersebut.[2]
Oleh karena itu,
agama mewajibkan suami menafkahi isterinya, karena dengan adanya ikatan
perkawinan yang sah itu, maka seorang isteri hanya terikat kepada suaminya dan
menjadi tanggungannya, karena itu ia berhak menikmati secara terus menerus.
Isteri wajib taat kepada suaminya, tinggal di rumahnya, mengatur rumah
tangganya, memelihara dan mendidik anak-anaknya. Sebaliknya, suami berkewajiban
memenuhi kebutuhannya dan memberikan belanja kepadanya selama ikatan suami
isteri masih berjalan dan siisteri tidak durhaka atau karena hal-hal lain yang
menghalangi penerimaan belanja. Hal ini berdasarkan kaidah umum, yaitu: “setiap
orang yang menahan hak orang lain atau kemanfaatannya bertanggung jawab
membelanjainya.”[3]
Berdasarkan keterangan tersebut,
maka dapat diketahui bahwa masalah kewajiban seorang suami memberikan nafkah
kepada isteri memang sangat tegas pembebanannya, sebab hal itu perlu ditegaskan
karena isteri mempunyai kewajiban yang mutlak dalam mengabdikan diri kepada
suaminya.
Namun demikian, isteri juga
mempunyai persyaratan tertentu agar dapat menerima belanja dari suaminya,
diantaranya adalah:
1.
Ikatan
perkawinannya sah.
2.
Menyerahkan
diri kepada suaminya.
3.
Suaminya
dapat menikmati dirinya.
4.
Menyetujui
apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki oleh suami, kecuali keadaan
yang membahayakan dirinya.
5.
Keduanya
dapat saling menikmati.[4]
Jika salah satu
dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka ia tidak wajib diberi belanja,
karena jika ikatan perkawinannya tidak sah, bahkan batal, maka wajiblah suami
isteri diceraikan guna mencegah timbulnya bencana yang tidak dikehendaki.
Namun demikian,
nafkah yang wajib diberikan suami kepada isterinya berupa nafkah lahir dan
nafkah bathin. Nafkah tersebut wajib dilaksanakan dan akan menjadi utang kalau
tidak dilaksanakan dengan sengaja.[5]
Kalau suaminya tidak memberikan nafkah tersebut, maka ia berstatus sebagai
seorang yang mempunyai utang kepada isterinya. Setiap utang mesti dibayar, baik
utang itu kepada isteri, suami, anak-anak maupun kepada pihak lain. Utang
tersebut baru menjadi bebas, kalau dibebaskan oleh orang yang bersangkutan.[6]
[1] Abdurrahman Al-Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Terj. KH. Ali
Yafie, Jil. III, Bandung :
al-Ma’arif, 1990, hlm. 88.
[3] M. Thalib, 40 Tanggung Jawab Suami terhadap Isteri, Bandung : Irsyad Baitus
Salam, 1995, hlm. 21.
[5] Utang nafkah bathin sebaiknya dibayar dengan jalan melakukan
perbaikan diri dan perbaikan sikap kepada isteri, sehingga isteri siap
memaafkan suaminya dan siap memberikan pelayanan kepada suaminya dengan penuh
keikhlasan dan kesungguhan. Sedangkan nafkah lahir adalah berupa pemberian
biaya dan keperluan hidup yang wajar dalam bentuk pangan, sandang, papan dan
kesehatan. Lihat. Miftah Faridl, 150 Masalah Nikah dan Keluarga, Jakarta : Gema Insani
Press, 1999, hlm. 82.
[6] Ibid., hlm. 83.
0 Comments
Post a Comment