1.
Dalil-Dalil
yang Digunakan Imam Syafi’i
Kewajiban
memberi nafkah oleh suami terhadap isteri dapat dibatalkan akibat adanya
pembangkangan oleh pihak isteri. Sebab menurut ketentuan hukum syara’ sesuatu
yang telah dikekang wajib ditanggung nafkahnya. Tapi apabila telah membangkang,
maka dapat diartikan dengan tidak mau nafkahnya ditanggung lagi, sehingga
kewajiban menanggung nafkah menjadi batal.
Menurut Imam Syifi’I faktor
yang dapat mengugurkan nafkah seorang isteri adalah nusyuz, sebab hal itu
merupakan suatu tindakan isteri yang dapat diartikan menentang kehendak suami
dengan tidak ada alasan yang dapat diterima menurut hukum syara’, dan tindakan
itu dipandang durhaka. Hal-hal yang berkenaan dengan nusyuz sebagai berikut:
1.
Suami telah menyediakan rumah kediaman yang sesuai
dengan keadaan suami, isteri tidak mau pindah kerumah itu, atau isteri
meninggalkan rumah tangga tanpa seizin suami.
2.
Apabila kedua suami isteri tinggal dirumah
kepunyaan isteri dengan izin isteri, kemudian pada suatu waktu isteri mengusir
(melarang) suami masuk rumah, dan bukan karena minta pindah rumah yang
disediakan suami.
3.
Umpama isteri ditempat perusahaannya dan suami
minta menetap dirumah yang disediakannya, isteri keberatan dengan tidak ada
alasan yang pantas.
4.
Apabila isteri musafir dengan tidak beserta suami
atau muhrimnya walaupun perjalanannya itu wajib seperti haji, karena perjalanan
perempuan yang tidak beserta suami atau muhrimnya terhitung maksiat.[1]
Namun
demikian, apabila isteri kelihatan cenderung kepada nusyuz, suami juga
dibebankan untuk menasehati isterinya dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi, jika
sesudah dinasehati, masih juga nampak durhakanya, maka suami wajib memisahkan
tempat tidur dengan isterinya. Kalau juga isteri masih meneruskan durhakanya,
maka suami boleh memukul isteri, tetapi jangan sampai luka. Hal ini sesuai
dengan firman Allah sebagai berikut:
والتي
تخافون نشوزهن فعظوهن واهجروهن في المضاجع واضربوهن فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن
سبيلا إن الله كان عليا كبيرا (النساء: ٣٤)
Artinya:
Apabila kamu takut isteri-isteri kamu berbuat durhaka, berikanlah dia nasehat,
dan pisahkanlah tempat tidur dari mereka dan pukullah mereka (Q. S. an-Nisa’:
34).[2]
Keterangan ayat di atas
menunjukkan bahwa seorang suami dibebankan untuk memberikan nasehat kepada
isterinya yang berbuat durhaka dengan mengggunakan berbagai cara seperti
memisahkan tempat tidur, bahkan diharuskan memukul isteri yang durhaka dengan
tidak melukai tubuhnya. Hal ini perlu dilakukan guna mencegah para isteri
berbuat durhaka kepada suaminya.
Pada dasarnya, jika
diteliti lebih jauh nusyuz dapat dikatagorikan ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1.
Baru kelihatan tanda-tanda akan durhaka, waktu itu
suami berhak memberi nasehat.
2.
Sesudah nyatanya durhaka, waktu itu suami berhak
pisah tempat tidur dengan isteri.
3.
Sesudah dua pelajaran tersebut, kalau isteri masih
terus durhaka, suami berhak memukulnya.[3]
Akibat durhaka,
menghilangkan hak isteri khususnya dalam menerima belanja dan pakaian, dan
pembahagian waktu. Berarti tiga perkara yang telah disebutkan di atas dengan
adanya durhaka menjadikan tidak wajib atas suami dan siisteri tidak
diperbolehkan menuntutnya. Dalam hal ini Allah SWT berfirman sebagai berikut:
ولهن مثل الذى عليهن بالمعروف ... (البقرة : ٢٢٨)
Artinya: Hak isteri yang patut
diterimanya dari suaminya, seimbang dengan kewajibannya terhadap suaminya
dengan baik...(Q.S. Al-Baqarah: 22)
Dari dasar ayat di atas,
dikemukakan bahwa seorang isteri diwajibkan untuk berbakti kepada suaminya
dengan cara benar. Jika hal itu dilakukan dengan baik, maka seorang isteri
diperkenankan untuk menuntut hak nafkahnya apabila suami tidak memberikan.
Namun sebaliknya, jika isteri tidak berbakti kepada suami, maka akan
menggugurkan nafkahnya dari suami.
Di sisi lain bentuk tindakan isteri yang dapat
dikatagorikan nusyuz antara lain isteri membangkang pada suami, menolak
berhubungan suami isteri tanpa alasan yang jelas dan sah, atau siisteri keluar
meninggalkan rumah tanpa seizin suami atau diduganya tidak disetujuinya
suaminya.[4]
Namun demikian, dalam konteks sekarang ini izin
suami perlu dipahami secara proposional, karena izin suami secara langsung
untuk setiap tindakan isteri, tentu
tidak selalu dapat dilaksanakan oleh suami, sebab suami tidak selalu
berada di rumah akibat tugas yang harus dikerjakannya.[5]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa
seorang suami harus memakluminya kalau isteri yang keluar tanpa seizinnya dapat
dianggap sebagai hal biasa, karena tidak mungkin seorang isteri meminta izin
secara langsung kepada suami, sedangkan suami sering tidak berada di rumah.
Namun setelah penulis meneliti lebih
lanjut, ternyata Imam Syafi’i tidak pernah mengungkapkan secara khusus dalil untuk
menentukan kadar nafkah isteri nusyuz. Malahan menurut Imam Syafi’i, isteri
nusyuz sama sekali tidak berhak mendapatkan nafkah apabila si suami telah
memberikan nasihat kepada isteri. Hal ini juga senada dengan para fuqaha yang
mengikuti pendapat iman Syafi’i, sehingga penulis menjadi terkendala dalam
menentukan dalil yang digunakan oleh Imam Syafi’i.
[2] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 327.
[3] Yusuf Qardhawi, Fiqh Kontemporer, Jil. II, Jakarta : Gema Insani Press, 1999, hlm. 465.
[4] Imam Syafi’i , ar-Risalah., Beirut Libanon: Wasyirkah
al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 114
[5] Ahmad Rofiq, Hukum Islam Indonesia, Cet. II, Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1997, hlm. 191.
0 Comments
Post a Comment