Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Ibn Hazm


1.     Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Ibn Hazm

Perkawinan merupakan salah satu sebab yang menyebabkan adanya pemberian nafkah. Para ulama telah sepakat, bahwa nafkah merupakan hak mutlak isteri, yang menjadi kewajiban suami. Hal ini berdasarkan firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 233:
وعلى المولودله رزقهن وكسوتهن بالمعروف.
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian para Ibu dengan cara yang ma'ruf”.
Di samping itu juga dari hadits Nabi SAW:
ولهن عليكم أوقهن وكسوتهن بالمعروف. (رواه مسلم)
Artinya: “Dan kewajiban kamu bagi mereka memberi rezeki mereka dan pakaian mereka dengan cara yang ma'ruf”. ( HR ; Muslim )[1]
Berbeda halnya tentang kajian terhadap nafkah isteri yang nusyuz, yang menimbulkan permasalahan, apakah nafkah itu tetap diberikan atau tidak, dikarenakan  penegasan al-Quran maupun as-Sunnah tidak ditemukan secara langsung. Sementara itu dalam al-Quran surat al-Nisa' ayat 34, hanya dijelaskan tindakan suami terhadap isteri yang nusyuz.
Dalam masalah pemberian nafkah kepada isteri yang nusyuz ini, Ibn Hazm berpendapat tidak ada yang menghalangi isteri untuk menerima nafkah. Pendapat ini ditegaskan dalam kitabnya al-Muhalla sebagai berikut:
وينفق الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع – ولو أنها في المهد – ناشزا كانت أو غير ناشز, غنية أو فقيرة, ذات أب كانت أو يتيمة, بكرا أو ثيبا, حرة كانت أو أمة – على قدر ماله.[2]
Artinya: "Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia menikahinya, dia mengajak kepada bina (berkumpul) atau tidak meskipun ia masih dalam buaian, baik ia nusyuz atau tidak nusyuz, baik ia kaya atau miskin, baik ia mempunyai ayah atau yatim, baik ia gadis atau janda, baik ia merdeka atau hamba, sesuai dengan kemampuan hartanya". [3]
Dari ungkapan di atas secara tegas dinyatakan, bahwa tidak ada penghalang bagi isteri untuk menerima nafkah, meski ia nusyuz sekalipun. Tidak ada perbedaan antara isteri yang nusyuz dengan yang tidak nusyuz, antara yang merdeka dengan hamba. Dengan kata lain siapa dan bagaimana keadaan isteri adalah mutlaq menerima nafkah tanpa terkecuali, mereka berhak untuk diberi nafkah. Akibat adanya aqad yang mengikat mereka sekaligus menjadi sebab wajib diberi nafkah.
Menurut Abu Sulaiman beserta sahabat sahabatnya dan Syufyan as-Tsaury, bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada isteri yang masih kecil semenjak aqad nikah. Kemudian Ibn Hazm berkata lagi bahwa sama sekali tidak ada keterangan dari sahabat tentang isteri yang nusyuz kemudian gugur haknya menerima nafkah.[4]
Menurut pendapat ulama Mazhab, bahwa isteri yang nusyuz tidak berhak atas nafkah. Karena isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan syara'. Bahkan Imam Syafi'i mengatakan sekadar kesetiaan digauli dan berkhalwat sama sekali belum dipandang cukup, kalau isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya, dengan memperlihatkan kesiapan yang penuh untuk mengikuti suaminya. Sebaliknya menurut Imam Hanafi, manakala isteri mengurung dirinya dalam rumah suaminya dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka ia masih dipandang patuh (muthi'ah) sekalipun ia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara' yang benar. Penolakan yang seperti ini sekalipun haram dan tidak menggugurkan haknya atas nafkah. Menurut Imam Hanafi yang menjadi sebab keharusan memberikan nafkah kepadanya adalah keberadaan wanita tersebut di rumah suaminya. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada hubungannya dengan kewajiban nafkah. Dengan pendapat ini Hanafi berbeda dengan seluruh mazhab lainnya.  
Memang tidak ada dalil dalam al-Qur'an yang menunjukkan, bahwa wanita durhaka terhadap suaminya, kemudian gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Hanya Allah SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita agar mematuhi suaminya. Sebagaimana Nabi Muhammad SAW. begitu bersungguh-sungguh menekankan hal ini dengan hadits:
لوجاز السجود لغير الله لأمرت الزوجة أن تسجد لزوجها.
Artinya: “Andaikan sujud kepada selain Allah itu boleh, pastilah aku suruh isteri sujud kepada suaminya”. (HR . Ibn Majah)[5].
Bahkan suami dilarang mencari-cari alasan buat menganiayai isterinya apabila ia kembali taat, sebagaimana firman Allah SWT:
فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا....
Artinya: “Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya...”.
Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya. Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat dengan suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak penuh untuk menikmati dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk memberi nafkah kepada isteri selama perkawinan itu berlangsung dan si isteri tidak nusyuz dan tahu akan harga dirinya.
Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya' Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggung perangai isterinya, sebab setiap perempuan, sebagai isteri ada kelemahannya, bahkan suamipun mempunyai kelemahan dan akibat kesabaran seorang isteri pulalah yang akan mengekalkan rumah tangganya.
Namun demikian, suami boleh menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah, kalau dia durhaka terhadapnya sampai ia kembali taat. Apabila isteri meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suami boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah, tetapi haruslah disertai cara yang telah ditentukan oleh Allah SWT., yaitu suami harus menasihatinya, mengingatkannya akan kehilangan hak nafkah atasnya, mengingatkan akan siksaan Allah SWT. terhadapnya, apabila cara ini tidak berhasil maka suami boleh memisahkan tempat tidur, dan cara yang terakhir suami boleh memukulinya dengan syarat tidak membahayakan bagi isteri.
Ulama fiqh menjelaskan jangan sampai melukai, dan jauhilah memukul muka karena mukalah kumpulan segala kecantikan pada wanita. Hal ini dilarang sebagaimana hadits Rasulullah SAW:
أن رجلا سأل النبى صلى الله عليه وسلم: ماحق إمرأة على الزوج؟ قال أن يطعمها إذا أطعم وأن يكسوها إذا اكتسى ولا يضرب الوجه ولا يقبح, ولا يهجر إلا فى البيت. (رواه إبن ماجه)[6]  
Artinya: “Bahwasanya seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW: Apakah hak-hak wanita (isteri) atas Iaki-laki (suami)? Beliau menjawab, yaitu memberi makan kepada isteri bila suami makan, ia memberi pakaian kepadanya bila suami berpakaian, tidak memukul wajahnya, tidak menjelekkannya, yakni memukul wajahnya sehingga menjadi cacat dan tidak boleh memutus hubungan kecuali dalam urusan tempat tidur”. (H.R: Ibn Majah).

Jadi para fuqaha' sepakat, bahwa hukuman tidak memberi nafkah terhadap isteri tidak akan berhasil dan diridhai Allah SWT., jika tidak disertai dengan hukuman yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. dalam al-Quran yang menjadi pedoman bagi suami ketika isterinya durhaka terhadapnya.


[1]An-Nawawi, Sahih Muslim bi Syarah An-Nawawi, Juz VIII, Maktabah al-Mishriyah, hlm. 183.
[2]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Beirut, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t., hlm. 249.
[3]Ibn Hazm, al-Muhalla, Beirut, Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.t., hlm.249.

[4]Sai’id ThalibAl-Hamdani, Risalatun Nikah, Cet. III, Jakarta: Pustaka Amani, 1989, hlm. 126.
[5]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah (alih bahasa Anshori Umar Sitanggal), Semarang: Asy-Syifa’, 1986, hal. 465.
[6]Ibn Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz I, Semarang: Toha Putra, hlm. 594.

0 Comments