Kadar Nafkah Yang Wajib Diberikan


1.     Kadar Nafkah Yang Wajib Diberikan

            Pengaturan mengenai kadar nafkah yang harus dipenuhi oleh seorang suami atau ayah, baik dalam al-Quran maupun dalam hadits, tidak pernah disebutkan secara tegas mengenai kadar atau jumlah nafkah yang wajib diberikan. Al-Quran dan hadits hanya memberikan gambaran umum seperti firman Allah SWT:
لينفق ذو سعة من سعته ومن قدر عليه رزقه فلينفق مما آتاه الله لا يكلف الله نفسا إلا ماآتاها سيجعل الله بعد عسر يسرا. (الطلاق: ٧)
Artinya:“Hendaklah orang yang mampu memberikan nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberikan nafkah dari harta yang diberikan Allah SWT. kepadanya. Allah SWT. tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah SWT. berikan kepadanya. Allah SWT. kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Q.S: al-Thalaq: 7)

            Abu as-Su’ud memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut bahwa setiap orang, baik ia orang yang mampu atau ia orang yang tidak mampu, supaya menafkahkan apa yang telah diusahakannya, besar atau kecil, karena Allah SWT. tidak memberatkan seseorang kecuali dengan apa yang diusahakannya, dan pada ayat tersebut terdapat kebaikan untuk mengangkat orang yang sulit dan meringankannya untuk memberikan apa yang telah diupayakannya.[1]
            Kesimpulan dari penafsiran ayat di atas dapatlah dipahami bahwa Allah SWT. tetap memberlakukan kewajiban nafkah kepada setiap orang tetapi berdasarkan kesanggupannya. Hal ini menunjukkan adanya kemudahan yang diberikan oleh Allah SWT. dengan mempertimbangkan kondisi seseorang itu tanpa memberatkannya dengan bebanan yang tidak sanggup dipikul olehnya.
            Apabila suami tinggal bersama isterinya dan memberikan nafkah dengan mencukupi akan segala kebutuhannya seperti makanan, pakaian, dan tempat tinggal maka si isteri tidak berhak menuntut ditentukan jumlah nafkahnya. Namun sebaliknya jika si suami itu seorang yang kikir serta tidak memenuhi kebutuhan hidupnya atau meninggalkannya tanpa pemberian nafkah, maka si isteri boleh mengajukan jumlah nafkah untuk dirinya. Hakim pula berkewajiban untuk memutuskan kadar nafkah dan suami pula wajib memenuhinya bila mana dakwaan isterinya itu benar. Isteri dibenarkan mengambil kekayaan suaminya untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara yang baik, sekalipun suaminya tidak mengetahui karena dianggap tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang suami merangkap pemimpin rumah tangga sebagaimana diterangkan dalam hadits Nabi SAW:
عن عإشة أن هند بنت عتبة قالت يارسول الله أن أبا سفيان رجل شحيح وليس يعطينى مايكفينى وولدى إلا ماأخذت منه وهو لا يعلم فقال خذى ما يكفيك وولدك بالمعروف. (رواه البخارى)[2]
Artinya: “Dari Aisyah, ia berkata: Sesungguhnya Hindun putri Utbah pernah berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang laki-laki yang sangat kikir. Dia memberi selalu tidak mencukupi kebutuhanku dan anakku, kecuali kalau aku mengambil miliknya tanpa sepengetahuannya. Baginda bersabda: Ambillah sesuatu yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf”. (HR: al-Bukhari)
            Para ulama mazhab sepakat bahwa nafkah untuk isteri itu wajib, yang meliputi tiga hal yaitu pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami isteri orang berada maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu maka nafkah disesuaikan dengan keadaan tersebut.
            Imam Syafi’i berpendapat, bahwa nafkah diukur berdasar kaya dan miskinnya suami tanpa melihat keadaan isteri, yang demikian itu bila dikaitkan dengan persoalan sandang, pangan, sedangkan dalam hal papan disesuaikan dengan apa yang patut baginya menurut kebiasaan yang berlaku dan tidak pada kondisi suami.[3]  
Menurut imam Syafi’i, yang kaya wajib memberikan nafkah untuk seorang isteri dua cupak beras tiap-tiap hari, suami yang miskin secupak beras dan suami yang menengah secupak setengah. Ukuran satu cupak beras kira-kira sekati atau enam ons. Dan menurut mazhab yang lain nafkah itu tidak ditentukan kadarnya melainkan sekadar mencukupi untuk isteri.
Ibn Hazm berpendapat, bahwa kemampuan seseorang menyebabkan relatifnya jumlah nafkah yang harus diterima isteri, dia tidak membuat suatu ketetapan jumlah ataupun ukuran yang harus diberikan. Semuanya diserahkan kepada kemampuan yang ada pada suami. Hal tersebut sepertimana diungkapkannya:
وينفق الرجل على امرأته من حين يعقد نكاحها دعى الى البناء او لم يدع، فالموسر خبز الحوارى واللحم وفاكهة الوقت على حسب مقداره والمتوسط على قدر طاقته والمقل أيضا حسب طاقته.[4]
Artinya: “Dan seorang laki-laki menafkahi isterinya dari semenjak ia menikahinya, baik ia mengajak kepada bina (berkumpul) atau tidak, maka bagi orang yang mampu memberikan roti yang baik, daging dan buah-buahan yang sedang musim dengan memadai ukurannya dan orang yang sedang kemampuannya memberikan sesuai dengan kemampuannya”.

            Berikutnya Ibn Hazm menyatakan:
ويكسو الرجل امرأته على قدر ماله فالموسر يؤمر بأن يكسوها الخز وماأشبهه والمتوسط جيد الكتان والقطن والمقل على قدره.[5]
Artinya: “Dan seorang laki-laki memberi pakaian isterinya sesuai dengan kemampuan hartanya, maka orang yang mampu diperintahkan memberi pakaian isterinya berupa kain sutera dan sejenisnya. Orang yang sederhana dengan kain katun atau linen yang baik, orang yang kurang mampu sesuai dengan kesanggupannya”.

            Tidak ada batasan jumlah nafkah yang harus diberikan seorang suami kepada isterinya menurut Ibn Hazm, di samping berbedanya kondisi seorang suami dan dikarenakan berbedanya kebiasaan suatu daerah. Apa yang harus diberikan dan berapa ukurannya disesuaikan menurut kebutuhan suami isteri. Pamahaman ini diambil dari apa yang diungkapkan  Ibn Hazm sebagai berikut:
فإن كان فى بلد لايأكلون فيه إلا التمر أو التين أو بعض الثمار, أو اللبن, أو السمك, قضى لهابها يفقانه أهل بلدها كما ذكرنا وأكثر النفقة عندنا رطلان بالبغدادى.[6]
Artinya: “Maka andaikan dalam negeri tersebut orang-orang tidak memakan kecuali tamar atau buah tin atau sebagian buah-buahan, susu, ikan, ditetapkan baginya apa yang dimakan oleh penduduk  negerinya sebagaimana yang kami sebutkan dan sebanyak-banyak nafkah bagi kami di Baghdad adalah dua Rattal (8 ons)”.



[1]Abi as-Su’ud Muhammad al-Amadi, Tafsir Abi as-Su’ud, Juz. V, Riyadh: Maktabah ar-Riyad al-Hadis, t.t., hlm. 347.
[2]Abi Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Juz. VII, Semarang: Asy Syifa’, 1993, hlm. 263.

[3]Muhammad Jawab Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 1996, hlm.402.

[4]Ibn Hazm, Al-Muhalla, Juz IX, Beirut Libanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiah, t.t. hlm. 249.

[5]Ibid., hlm. 249.
[6]Ibid., hlm. 251.


0 Comments