Kekerasan dalam Mendidik Anak di Desa


1.     Kekerasan dalam Mendidik Anak di Desa Pante Baro


a)     Pemukulan
Seringkali orang tua baru bertindak ketika kesalahan telah dilakukan oleh anak. Bukan mencegah, mengarahkan, dan membimbing sebelum kesalahan terjadi. Seharusnya orang tua mempertimbangkan tingkat perkembangan kejiwaan anak, sebelum membuat aturan. Jangan menyamakan anak dengan orang dewasa. Orang tua hendaknya menyadari bahwa dunia anak jauh berbeda dengan orang dewasa. Jadi, ketika menetapkan apakah perilaku anak dinilai salah atau benar, patuh atau melanggar, jangan pernah menggunakan tolok ukur orang dewasa. Harus diakui, orang tua yang habis kesabarannya sering membentak dengan kata-kata yang keras bila anak-anak menumpahkan susu di lantai, terlambat mandi, mengotori dinding dengan kaki, atau membanting pintu. Sikap orang tua tersebut seperti polisi menghadapi penjahat. Sebaliknya, orang tua sering lupa untuk memberikan perhatian positif ketika anak mandi tepat waktu, menghabiskan susu dan makanannya, serta memberesi mainannya. Padahal seharusnya, antara perhatian positif dengan perhatian negatif harus seimbang.
Mendidik anak sudah tidak diperlukan kekerasan, tetapi ada pendekatan yang berbekal kasih sayang. Mendidik tidak lagi memukul, tetapi menyentuh. Sentuhan yang berkesan adalah sentuhan hati. Dengan memukul yang tersakiti adalah 2 bagian yaitu fisik dan hati. Tetapi sentuhan hati dengan kasih saying akan dapat memperbaiki keduanya (fisik dan hati).
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Raimun Abdullah masyarakat Desa Pante Baro Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, bahwa menurut dia masyarakat Desa Pante Baro sering memukul anaknya apabila melakukan kesalahan, dan pukulan yang diberikan orang tua bukan semata-mata untuk menzalimi anak melainkan untuk mendidik mereka agar mereka tidak melakukan kesalahan yang sama dikemudian hari[1].
Dalam kesempatan yang lain, penulis mewawancarai Ibu Hj. Nuraini, dan menurut pengakuannya, ia memberikan pukulan kepada anak agar anak tidak melakukan kesalahan yang sama dikemudian hari, dan bukan untuk menyakiti anak[2].
b)     Ancaman
Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan. Tidak membiarkan satu jendela pun yang tidak dimasuki  untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan dan nasihat seta tarhib dan targhib,  tetapi di samping itu  juga  menempuh cara menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatannya, dari ancaman sampai pada  pelaksanaan ancaman itu. Dengan demikian, keberadaan hukuman dan ganjaran diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia dalam kegiatan dakwah. Hukuman dan ganjaran ini diberlakukan kepada sasaran pembinaan yang lebih bersifat khusus. Hukuman untuk orang yang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan  pahala untuk orang yang patuh  dan menunjukkan perbuatan  baik. 
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Usman AR masyarakat Desa Pante Baro Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, menurutnya dalam mendidik anak, beliau sering mengancam anak dengan hukuman apabila melakukan kesalahan, hal beliau lakukan agar anak takut melakukan kesalahan dan bukan mengancam untuk menzalimi anaknya[3].
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Nafi Nurdin masyarakat Desa Pante Baro Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, dan menurut penuturannya bahwa ianya pernah memberikan ancaman kepada anak, tapi ancaman tersebut untuk mengingatkan anak untuk tidak melakukan kesalahan dan bukan untuk membuat anak terdhalimi[4].
c)     Cercaan
Berhasil mendidik anak, tentu sangat diharapkan oleh orangtua, pengajar, ataupun setiap individu yang berkompeten dalam masalah pendidikan anak. Berbagai kiat ditempuh. Di antaranya dengan memberikan penghargaan dalam keberhasilan dan hukuman dalam kesalahan yang dilakukannya. Namun, sejauh mana langkah ini akan menunjang keberhasilan, kita perlu mendapat bimbingan dari orang-orang yang berilmu. Cercaan justru akan membuat anak semakin jauh dan menyimpang. Bahkan bisa jadi nantinya membuat si anak semakin senang berbuat dosa. Anak juga akan ‘belajar’ mencaci-maki, lalu dipraktikkan di hadapan teman sekolahnya atau saudaranya di rumah. Kitalah yang akan bertanggung jawab bila terjadi demikian.
Berdasarkan wawancara penulis dengan Bapak Muzakkir Sekretaris Desa Pante Baro Kecamatan Juli Kabupaten Bireuen, dan menurut pengakuannya bahwa sebagian kecil masyarakat Desa Pante Baro Kecamatan Juli Kabupaten masih menggunakan cercaan dalam mendidik anak, dan ini dilakukan oleh orang tua yang tidak memiliki pendidikan. Dan bagi orang tua yang memiliki pendidikan, cercaan tidak mereka gunakan dalam pendidikan anak dirumah tangganya[5].
Menurut pengakuan Bapak Hanafiah masyarakat Desa Pante Baro, bahwa ianya pernah memberikan cercaan kepada anaknaya, hal ini ia lakukan agar si anak tidak melakukan kesalah dalam kehidupannya[6].


[1] Hasil Wawancara dengan Bapak Raimun Abdullah Masyarakat Desa Pante Baro, Tanggal 21 Juli 2011.

[2] Hasil Wawancara dengan Ibu Hj. Nuraini  Masyarakat Desa Pante Baro, Tanggal 22 Juli 2011.


[3] Hasil Wawancara dengan Bapak Usman AR Masyarakat Desa Pante Baro, Tanggal 21 Juli 2011.

[4] Hasil Wawancara dengan Bapak Nafi Nurdin Masyarakat Desa Pante Baro, Tanggal 21 Juli 2011.

[5] Hasil Wawancara dengan Bapak Muzakkir Sekretaris Desa Pante Baro Tanggal 25 Juli 2011.

[6] Hasil Wawancara dengan Bapak Hanafiah Masyarakat Desa Pante Baro Tanggal 25 Juli 2011.


0 Comments