Kendala-Kendala Pembinaan Kader Dakwah
A.
Kendala-Kendala
Pembinaan Kader Dakwah
Pembicaraan tentang pembinaan
kader dakwah berkaitan erat dengan hubungan manusia dengan manusia, dan
hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Namun demikian pembahasan masalah
tersebut dilakukan dalam tiga tahap. Adapun untuk masing-masing tahap materi
penyampaian yang dibahas antara lain:
a.
Pendekatan
emosional, yaitu pendekatan untuk menggugah emosi santri dalam memahami dan
meyakini dakwah. Pendekatan ini akan memberi motivasi agar da’i ikhlash
mengamalkan ajaran Islam khususnya yang berkaitan dengan peribadatan.
Emosi adalah gejala
kejiwaan yang ada dalam diri seseorang. Emosi berhubungan dengan masalah
perasaan. Seseorang yang mempunyai perasaan pasti dapat merasakan sesuatu, baik
perasaan jasmaniah maupun perasaan rohaniah. Perasaan rohaniah di dalamnya ada
perasaan intelektual, perasaan estetis, perasaan sosial, dan perasaan harga diri.
Dalam hal ini Chadijah
Hasan mengemukakan bahwa “merasa adalah aktualisasi kerja dari hati sebagai
materi dalam struktur tubuh manusia, dan merasa sebagai aktifitas kejiwaan ini
adalah suatu pernyataan jiwa yang bersifat subjektif.”[1] Oleh
karena itu, Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono menjelaskan bahwa “fungsi jiwa
untuk dapat mempertimbangkan dan mengukur sesuatu menurut rasa senang dan tidak
senang, mempunyai sifat-sifat senang dan sedih, kuat dan lemah, lama dan
sebentar, relatif dan tidak berdiri sendiri sebagai pernyataan jiwa”.[2]
Emosi atau perasaan
adalah sesuatu yang peka. Emosi akan memberi tanggapan (respon) bila ada
rangsangan (stimulus) dari luar diri seseorang. Baik rangsangan verbal
maupun rangsangan non verbal, mempengaruhi kadar emosi seseorang. Rangsangan
verbal ini misalnya ceramah, cerita, sindiran, pujian, ejekan, berita, dialog,
anjuran, perintah dan sebagainya. Sedangkan rangsangan non verbal dalam bentuk
prilaku berupa sikap dan perbuatan.
b.
Pendekatan
rasional, yaitu usaha memberikan peranan rasio (akal) dalam memahami dan
menerima kebenaran ajaran Islam.
Manusia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Allah SWT. Manusia adalah makhluk yang sempurna
diciptakan. Manusia berbeda dengan makhluk lain yang diciptakan oleh Tuhan.
Perbedaannya terletak pada akal. Manusia mempunyai akal, sedangkan makhluk lain
seperti binatang dan sejenisnya tidak mempunyai akal. Jadi, hanya manusialah
yang dapat berfikir, sedangkan makhluk lain tidak mampu berfikir.[3]
Dengan kemampuan akalnya
manusia dapat membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang
buruk, mana kebenaran dan mana kedustaan dari sesuatu ajaran atau perbuatan.
Dengan akal pula manusia dapat membuktikan dan membenarkan adanya Tuhan Yang
Maha Kuasa, Maha Pencipta atas segala sesuatu di dunia ini. Walaupun disadari
keterbatasan akal untuk memikirkan dan memecahkan sesuatu persoalan, tetapi
diyakini pula dengan akal dapat dicapai ketinggian ilmu pengetahuan dan
penghasilan teknologi moderen. Oleh karena itulah manusia dikatakan sebagai homo
sapien, semacam makhluk yang mempunyai kecenderungan berfikir.
Di pesantren santri dididik
dengan berbagai ilmu pengetahuan. Perkembangan berfikir santri dibimbing ke
arah yang lebih baik, sesuai dengan tingkat usia anak. Perkembangan berfikir
anak mulai dari yang abstrak sampai yang kongkrit. Maka pembuktian sesuatu
kebenaran, dalil, prinsip, atau hukum menghendaki dari hal-hal yang sangat
sederhana menuju ke kompleks. Pembuktian tentang sesuatu yang berhubungan
dengan masalah keagamaan harus sesuai dengan tingkat berfikir anak. Kesalahan
pembuktian akan berakibat fatal bagi perkembangan jiwa anak. Usaha yang
terpenting bagi guru adalah bagaimana memberikan peranan kepada akal (rasio)
dalam memahami dan menerima kebenaran ajaran agama, termasuk mencoba memahami
hikmah dan fungsi ajaran agama.[4]
Karena keampuhan akal
(rasio) itulah akhirnya dijadikan pendekatan yang disebut pendekatan rasional
guna kepentingan pendidikan dan pengajaran di pesantren. Untuk mendukung
pemakaian pendekatan ini, maka metode mengajar yang perlu dipertimbangkan
antara lain adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, latihan, kerja
kelompok dan pemberian tugas.
c.
Pendekatan
fungsional, yaitu usaha untuk menyajikan ajaran Islam dengan menekankan pada
segi kemanfaatannya bagi siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan yang
dipelajari oleh santri di pesantren bukanlah hanya sekedar mengisi otak, tetapi
diharapkan berguna bagi kehidupan anak, baik sebagai individu maupun sebagai
makhluk sosial. Anak dapat memanfaatkan ilmunya untuk kehidupan sehari-hari
sesuai dengan tingkat perkembangannya. Bahkan yang lebih penting adalah ilmu
pengetahuan dapat membentuk kepribadian santri. Santri dapat merasakan manfaat
dari ilmu yang didapatnya di pesantren. Santri mendayagunakan nilai guna dari
suatu ilmu untuk kepentingan hidupnya. Dengan begitu, maka nilai ilmu sudah
fungsional dalam diri anak.[5]
Pengetahuan agama yang
diberikan di pesantren bukan hanya untuk memberantas kebodohan dan pengisian
kekosongan intelektual, tetapi untuk diimplementasikan ke dalam kehidupan
sehari-hari. Hal yang demikian itulah yang pada akhirnya hendak dicapai oleh
tujuan pendidikan agama di sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan. Karena
itu, kurikulum pun disusun sesuai dengan kebutuhan siswa dan masyarakat.
Pendekatan fungsional
yang diterapkan di pesantren diharapkan dapat menjembatani harapan tersebut.
Untuk memperlicin jalan ke arah itu, tentu saja diperlukan penggunaan metode
mengajar. Dalam hal ini ada beberapa metode mengajar yang perlu
dipertimbangkan, antara lain adalah metode latihan, pemberian tugas, ceramah,
Tanya jawab, dan demonstrasi.
d.
Pendekatan
keteladanan, yaitu menyuguhkan keteladan, baik yang langsung melalui penciptaan
kondisi pergaulan yang akrab antara personal pesantren, prilaku pendidik, dan tenaga
kependidikan lain yang mencerminkan akhlak terpuji, maupun yang tidak langsung
melakukan suguhan ilustrasi berupa kisah-kisah keteladanan.
Pembinaan dengan
menggunakan pendekatan keteladanan berarti mendidik dengan memberi contoh, baik
berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Banyak ahli
pendidikan yang berpendapat bahwa mendidik dengan menggunakan pendekatan
keteladanan merupakan metode yang paling berhasil guna. Hal itu karena orang
dalam belajar, pada umumnya lebih mudah menangkap yang kongkrit ketimbang yang
abstrak. Dalam hal ini Abdullah Ulwan menggambarkan bahwa ”pendidikan barang
kali akan mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Namun, anak akan
merasa kesulitan dalam memahami pesan itu apabila ia melihat pendidiknya tidak
memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya”.[6] Dalam Al-Qur’an
terdapat banyak ayat yang menunjukkan kepentingan keteladanan dalam pendidikan.
Sebagaimana termaktub
dalam surat
al-Ahzab ayat 21 sebagai berikut:
لقد
كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
(الأحزاب: ٢١)
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah. (Q. S. al-Ahzab: 21)[7]
Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan pembinaan kader dakwah kiyai boleh memilih salah satu metode atau
menggabungkan beberapa metode mengajar yang ada. Yang perlu diperhatikan
adalah, bahwa metode yang dipilih tersebut sesuai dengan tujuan, materi, sarana
yang ada, serta waktu yang tersedia.
Namun demikian, walaupun
proses pembinaan kader dakwah telah dilakukan dengan berbagai cara, namun
kadang kala masih tetap juga mengalami kendala yang berat, sehingga proses
pembinaan terkadang tersandung oleh kendala tersebut.
Bentuk kendala yang dihadapi pesantren bermacam-macam, sehingga dalam mengatasi
kendala tersebut, diperlukan berbagai macam solusinya.
Di antara bentuk kendala yang dihadapi pesantren dalam
membina kader dakwah adalah banyaknya santri yang kurang berminat belajar ilmu
dakwah. Hal ini terbukti dengan pernyataan Karel Steen Brink bahwa kurangnya
minat belajar siswa akan mempengaruhi proses belajar mengajar di pesantren.[8]
Apabila dilihat kenyataan yang ada di lapangan, maka dapat
diketahui bahwa penyebab adanya kendala dalam melakukan pembinaan kader dakwah
di pesantren karena masih kurangnya minat belajar santri. Namun demikian, pihak pesantren juga mencari
solusi agar kendala-kendala yang mereka hadapi tersebut dapat terpecahkan
dengan cara memberikan berbagai arahan dan bimbingan.
[1]Chadijah Hasan, Dimensi-Dimensi
Psikologi Pendidikan, Cet. I, (Surabaya: Al-Ikhlash, 1994), hal. 39
[2]Abu Ahmadi dan Widodo
Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hal. 63
[3]Hasan Langgulung, Manusia
dan Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 35
[4]Syaiful Bahri Djamarah
dan Aswan Zein, Strategi Belajar Mengajar, Cet. II, (Jakarta : Rineka Cipta, 2002), hal. 76-77
[6]Abdullah Ulwan, Tarbiyah
al-Aulad fi al-Islam, (Berikut: Dar al-Salam, 1978), hal. 663
[7]Departemen Agama RI, Al-Qur'an
dan Terjemahnya, hal. 670
[8]Karel Steen Brink, Pesantren
Madrasah…, hal. 101