Konsekwensi Fungsi Advokat


A.  Konsekwensi Fungsi Advokat

Advokat merupakan sebuah lembaga bantuan hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan kepada klien dalam proses persidangan. Namun demikian, eksistensi advokat satu sama lainnya sangat berbeda. Artinya, telah terjadi perbedaan antara advokat umum dengan keberadaan advokat syari’ah. Hal ini terjadi disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam memahami advokat syari’ah itu sendiri. Padahal, realitasnya tidak terjadi perbedaan antara kedua advokat tersebut, baik dilihat dari fungsi maupun lapangan kerjanya. Karena kedua-duanya bertujuan untuk memberikan keadilan kepada terdakwa di pengadilan. Hal ini juga bukan berarti pengadilan tidak pernah memberikan keadilan, namun sebagai pengontrol keadilan yang diputuskan oleh hakim di pengadilan.
Menurut penuturan Ibu Durriati, bahwa keberadaan avokat di pengadilan tidak lain bertujuan untuk memberikan rasa berkeadilan kepada terdakwa walaupun pengadilan itu sendiri merupakan lembaga yang memberikan keadilan, tetapi dengan adanya advokat (pengacara) seorang hakim akan lebih berhati-hati dalam memberikan putusan, karena hakim merasa bahwa putusannya ada yang mengontrol. Dan dipihak terdakwa akan lebih percaya dalam menghadapi kasus yang disidangkan. Begitulah pengaruh pengacara dalam sebuah peradilan.[1]
Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan tanpa adanya advokat akan  terasa hampa, bahkan kepercayaan masyarakat akan berkurang dengan sendirinya. Apalagi keberadaan advokat termasuk hal yang paling penting  dalam memberikan bantuan kepada terdakwa yang berperkara di peradilan guna tercapainya keadilan yang hakiki, baik di peradilan umum maupun di peradilan agama. Oleh karena itu, bagi seorang terdakwa kehadiran pengacara (advokat) sebagai pembela terhadap yang didakwakan kepadanya merupakan suatu kehormatan bagi dirinya, sehingga dalam mengikuti persidangan terdakwa tidak akan merasakan ragu terhadap ketidakadilan hukum yang diputuskan oleh hakim. Namun demikian, seorang pengacara tidak boleh bekerja karena adanya dukungan materi dari kliennya, melainkan dia harus bekerja ikhlas tanpa mengharapkan imbalan.
Menurut keterangan disampaikan bapak Yahya Alinza menyatakan, bahwa seorang pengacara tidak diperbolehkan bekerja karena berdasarkan keuntungan materi yang diberikan kliennya, tetapi dia harus bekerja atas dasar keikhlasan, jika seorang pengacara membantu kliennya karena dukungan materi, maka sudah barang tentu hukum tidak mungkin dapat ditegakkan, bahkan kalau hal demikian terjadi, maka kecurangan yang mendominasi lembaga peradilan.[2]
Dari keterangan di atas dapat diketahui, bahwa seorang pengacara dilarang membela kliennya atas dasar pemberian uang, karena hal tersebut akan merusak kode etik dan citra advokat itu sendiri. Proses  yang dilaksanakan pun tidak sesuai dengan hukum. Di sisi lain, dapat dipahami pula, bahwa seorang advokat dalam membela kliennya harus mengedepankan rasa ikhlas. Karena itu, dalam pengangkatan pengacara ditetapkan adanya kode etik kepengacaraan. Hal tersebut ditetapkan guna menghindari kecurangan yang dilakukan oleh oknum pengacara. Salah satu contoh  kecurangan yang dapat dilakukan pengacara adalah tidak memberikan bantuan hukum kepada kliennya. Artinya, seorang pengacara baru bersedia membela seorang terdakwa apabila si terdakwa dapat menyediakan materi (uang) sesuai dengan permintaan pengacara.
Sebenarnya, pekerjaan yang dikualifikasikan sebagai advokat memiliki  ketentuan baku yang harus ditempuh oleh seorang yang berprofesi sebagai advokat dalam menjalani pekerjaannya. Standar  kualifikasi advokat disusun secara sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Biasanya standar tersebut telah dipelajari pada saat seorang pengacara menjalani proses pelatihan untuk menjadi advokat. Dalam hal ini bapak Samsul Bahri, SH. menyatakan bahwa dalam hal-hal tertentu, kualifikasi advokat juga ditetapkan oleh organisasi advokat. Sebab organisasi advokat berhak menetapkan prosedur baku dan harus ditempuh oleh anggota advokasi, dan apabila tidak diindahkan, maka hal tersebut dianggap sebagai pelanggaran.[3]
Advokat sebagai salah satu unsur penegak hukum memiliki makna tersendiri dalam masyarakat. Putusan hakim yang dijatuhkan kepada orang yang tidak didampingi atau diwakili oleh seorang pengacara akan sangat berbeda aplikasi hukumnya dengan jika dijatuhkan kepada pihak-pihak yang didampingi atau diwakili oleh seorang advokat. Oleh karena itu, peran dan fungsi advokat merupakan profesi bebas, mandiri dan bertanggung jawab dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara merupakan hal yang penting di samping lembaga peradilan. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Ibu Rosmaninda, bahwa kegiatan advokasi merupakan kegiatan atau upaya yang dilakukan oleh seorang advokat atau penasehat hukum untuk melaksanakan azas kebenaran, persamaan hak di hadapan hukum, azas fairness (azas kejujuran), azas kepastian berdasarkan hukum guna memperjuangkan hak-hak dan kewajiban pihak yang didampingi (kliennya), dalam rangka mewujudkan kesetaraan hak-hak dan kewajiban masing-masing pihak.[4]
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami, bahwa advokat (penasehat hukum) merupakan salah satu catur wangsa penegak hukum yang berupaya menegakkan kebenaran, keadilan dan persamaan hak di muka hukum dengan cara memfasilitasi seorang klien dalam suatu proses peradilan hukum. Oleh karena itu, seorang pengacara diwajibkan mengangkat sumpah jabatan yang telah dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman dan HAM Republik Indonesia dan organisasi advokat.
Menurut pernyataan Ibu Durriati menjelaskan, bahwa dalam Undang-Undang telah diatur secara komprehensif berbagai ketentuan penting yang melingkupi profesi advokat dengan tetap mempertahankan prinsip kebebasan advokat, khususnya dalam pengangkatan, pengawasan dan penindakan serta ketentuan bagi pengembangan organisasi advokat yang kuat di masa yang akan datang.[5]
Dasar hukum advokat untuk pertama kalinya disahkan oleh pemerintah adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 yang menggantikan aturan hukum sebelumnya yaitu aturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintahan kolonial Belanda.
Berdasarkan keterangan yang telah dikemukakan di atas, dapat dipahami dengan jelas, bahwa konsekwensi advokat syari’ah tidak lain hanyalah sebagai pembela untuk memberi keadilan kepada masyarakat dalam proses peradilan sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan.


[1]Wawancara penulis dengan Ibu Dra. Durriati, SH., pengacara Syari’ah di Banda Aceh tanggal 15 Juli 2006

[2] Wawancara penulis dengan bapak Yahya Alinza, SH., Pengacara di Banda Aceh tanggal 16 Juli 2006
[3] Hasil wawancara penulis dengan bapak Samsul Bahri, SH. Pengacara di Banda Aceh tanggal 17 Juli 2006
[4] Hasil wawancara penulis dengan Ibu Rosmaninda SH. Pengacara di Banda Aceh tanggal 18 Juli 2006

[5]Wawancara penulis dengan ibu Dra. Durriati, SH., pengacara Syari’ah di Banda Aceh tanggal 15 Juli 2006

0 Comments