Responsif Advokat Umum dan Masyarakat Terhadap Keberadaan Advokat Syari’ah


A.  Responsif Advokat Umum dan Masyarakat Terhadap Keberadaan Advokat Syari’ah

Kalau dicermati secara mendalam terhadap perkembangan profesi advokat syari’ah di Nanggroe Aceh Darussalam dewasa ini, disadari atau tidak, belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam peranannya terhadap upaya memberikan sumbangsih guna membantu masyarakat baik di dalam maupun luar lingkup peradilan, hal ini mungkin disebabkan karena  Undang-undang terhadap eksistensi advokat syari’ah ini baru diberlakukan yaitu pada tahun 2003. Selain faktor yang telah penulis sebut di atas, juga disebabkan karena adanya upaya-upaya yang sistematis sejak dahulu yaitu memarginalisasi advokat syari’ah dalam konteks perkembangan hukum. Terbukti seorang yang berlatar belakang pendidikan hukum Islam hanya dapat beracara pada pengadilan agama saja, akan tetapi seorang advokat yang berlatar belakang pendidikan umum dapat menjadi advokat pada semua lingkungan peradilan.
Pada hal ada beberapa persoalan hukum yang dianggap tidak merupakan otoritas advokat umum kalau dikaji menurut hukum agama. Di antaranya dapat disebutkan adalah:
a.    Bidang perkawinan. Dalam bidang ini banyak dijumpai persoalan yang menghendaki proses penyelesaian hukum terutama dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi dan informasi. Transplantasi jaringan tubuh telah dikembangkan oleh kemajuan teknologi dan tidak mustahil terjadi transplantasi instrument rahim perempuan. Kasus fertilasi manipulatif menimbulkan persoalan hukum, apabila sperma bukan berasal dari suami, sel telur bukan dari isteri, alat kandungan dari hasil transplantasi. Jika dalam hal tersebut terjadi pembuahan alami, maka fertilisi in vitro menunjukkan pembuahan terjadi secara artifisial yang pada akhirnya menimbulkan persoalan hukum waris, apakah anak yang lahir dari rahim itu mewarisi ibu yang melahirkannya secara pembuahan artifisial, demikian pula terhadap larangan kawin terhadap orang-orang tertentu.
b.   Jual beli saham, sistem pembayaran melalui transfer of credit atau delegasi kredit, letters of credit, sistem leasing, aneka deposito, sistem fudicia, hipotik, cheque, bunga berganda, asuransi jiwa, asuransi kecelakaan, berbagai santunan, hak atas kekayaan intelektual, memberikan gambaran lahirnya permasalahan hukum mengenai kepemilikan di bidang hukum, dan persoalan seperti itu terkait erat dengan hukum harta bersama, kemudian menjadi persoalan hukum waris, dan ujung-ujungnya adalah persoalan keyakinan hukum berdasarkan agama.
c.    Pemberlakuan hukum Islam di bidang mu’amalat yang mempunyai kedudukan tersendiri sejak diberlakukan Undang-Undang tentang Perbankan tahun 1992 yang telah dijabarkan ke dalam Peraturan Pemerintah, sistem operasi Bank Muamalat Indonesia berdasarkan syari’at Islam diakui secara hukum.
Dari beberapa contoh di atas menunjukkan, bahwa persoalan tersebut sebenarnya membutuhkan peran penting advokat syari’ah dalam penyelesaian hukumnya berdasarkan disiplin ilmu yang dipelajarinya. Akan tetapi perkara tersebut di atas dalam penyelesaiannya masih menggunakan peran advokat umum.
Respon masyarakat terhadap keberadaan advokat syari’ah. Sekurang-kurangnya terdapat dua hal pokok yang menyebabkan adanya sorotan seperti itu, antara lain:
1.   Besarnya tuntutan masyarakat terhadap kehadiran advokat syari’ah yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan hokum yang terjadi, sementara sumber daya yang ada pada advokat syari’ah sendiri oleh sebagian kalangan dianggap masih pada kondisi yang stagnan.
2.   Ada yang menganggap advokat syari’ah terlambat dalam memberikan respon hukum terhadap peradilan yang diselenggarakan kepada masyarakat. Sehingga dengan demikian masyarakat lebih dominan meminta bantuan kepada advokat umum.
Beranjak dari anggapan di atas ada dua hal yang sangat menarik untuk dikaji pertama bagaimana menempatkan advokat syari’ah agar diperlakukan sederajat dan diberikan kesempatan yang sama dengan advokat umum. Kedua, bagaimana menempatkan peradilan agama sama peranannya dengan lembaga peradilan yang lain. Oleh karena itu, lulusan Fakultas Syari’ah harus memenuhi kualifikasi yang ada dan memenuhi standar sebagai seorang advokat yang dapat berpraktek legitasi tidak hanya di lingkungan peradilan agama, tetapi juga di lingkungan peradilan yang lain. Sedangkan dari aspek non legitasi juga mampu memberikan jasa pelayanan hukum dalam rangka memfasilitasi kepentingan masyarakat.
Penilaian-penilaian tersebut memang diakui pernah ada, akan tetapi sekarang telah terjadi perubahan pola pikir masyarakat yang sangat signifikan, apalagi pada praktek peradilan, terbukti beberapa sarjana syari’ah telah berhasil menjalankan profesinya sebagai praktisi hukum. Kenyataan juga menunjukkan, bahwa dalam konteks hukum mawaris advokat syari'ah sudah dapat menerima reaktualisasi hukum tentang pembagian waris laki-laki dan perempuan, yang dahulu dianggap sebagai pemikiran yang haram dan menyalahi nash. Untuk itulah, maka sangat tidak beralasan jika ada yang memandang bahwa advokat syari'ah tidak mampu menjadi pengacara praktek, kecuali kalau itu dianggap didasari atas sikap apriori dan su’udzan yang menyimpang dari penilaian objektif dan transparan.
Menurut penuturan Ibu Rosmaninda, SH. menyatakan bahwa pada dasarnya tidak ada halangan bagi seorang sarjana syari’ah untuk menjadi advokat baik di peradilan agama maupun di peradilan umum, sebagaimana terdapat dalam ketentuan undang-undang yang telah mengatur tentang status atau kedudukan advokat. Bagi advokat syari’ah bisa saja memanfaatkan peradilan umum sebagai wilayah kerjanya dan begitu juga sebaliknya advokat umum juga bisa beracara di pengadilan agama.[1]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa advokat  syari’ah memiliki kesempatan yang sama untuk beracara di semua lingkungan peradilan yang ada di Indonesia. Hal ini disebabkan telah keluarnya Undang-undang yang mengatur secara langsung tentang profesi advokat sebagai sebuah profesi yang pembentukannya untuk melakukan koordinasi hukum antara hakim dengan terdakwa. Artinya advokat yang bekerja sebagai penasehat/pembela bertugas untuk memberikan keadilan bagi terdakwa, karena dikhawatirkan terdakwa didhalimi oleh putusan hakim.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat diketahui, bahwa kalangan masyarakat dan advokat umum memberikan respon yang sangat positif terhadap kehadiran advokat syari’ah, mengingat Nanggroe Aceh Darussalam saat ini telah diberlakukan Syari’at Islam terutama dalam bidang peradilan yang sekarang tidak hanya terbatas pada perkara tertentu saja, akan tetapi kewenangannya juga meliputi tiga hal yang paling utama, yaitu perkara yang berhubungan dengan muamalah, perkara yang berhubungan dengan munakahat dan perkara yang berhubungan dengan jinayah.


[1] Wawancara dengan Ibu Rosmaninda, SH, tanggal 18 Juli 2006

0 Comments