Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Imam Syafi’i


1.     Nafkah Isteri Nusyuz Menurut Imam Syafi’i

            Para ulama mazhab sepakat bahwa isteri ang nusyuz tidak berhak atas nafkah, karena isteri tidak memberi kesempatan kepada suami untuk menggauli dirinya dan berkhalwat dengannya tanpa alasan syara’. Bahkan Imam Syafi’i mengatakan sekadar kesediaan digauli dan berkhalwat sama sekali belum dipandang cukup kalau isteri tidak menawarkan dirinya kepada suaminya, seraya mengatakan dengan tegas “Aku menyerahkan diriku padamu”.[1]
            Memang tidak ada dalil dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa wanita yang nusyuz terhadap suaminya gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Paling-paling hanya ada, Allah SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita untuk taat kepada suaminya dan Nabi Muhammad SAW. menegaskannya lagi dalam sabda Baginda:
لو جاز السجود لغير الله لأمرت الزوجة أن تسجد لزوجها.[2]
Artinya: “Andaikan sujud kepada selain Allah SWT. itu boleh, pastilah aku suruh kepada isteri itu sujud kepada suaminya”.
            Bahkan kemudian laki-laki dilarang mencari alasan buat menganiayai isterinya, manakala si isteri sudah kembali taat kepadanya sebagaimana firman Allah SWT.:
....فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا.... (النساء: ٣٤)
Artinya: “....Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya....”. (Q.S: al-Nisa’: 34)
            Perempuan yang taat di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat di sini adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah tangga dengan baik dan saling pengertian dan tahu menjaga dirinya. Imam al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami supaya bersabar menanggung tingkah laku isterinya karena tiap-tiap perempuan dan manusia itu ada sisi kelemahannya. Bahkan suami pun mempunyai kelemahannya dan dengan kesabaran seorang isteri pulalah yang mengekalkan keharmonisan rumah tangganya.
            Namun demikain, boleh saja bagi suami menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah jika isterinya mendurhaka kepadanya sampai ia kembali taat. Karena isteri itu meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suamipun boleh meninggalkan kewajibannya memberi nafkah kepada isterinya.
            Oleh karena seorang isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat oleh suaminya, ia berada di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak penuh atas dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk memberikan nafkah kepada isteri selama perkawinan itu masih berlangsung dan isteri tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah berdasarkan kaedah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang menguasainya.
            Imam Syafi’i dalam kitabnya yakni al-Umm menyatakan:
وأصل ما ذهبنا إليه من إن لا قسم للممتنعة من زوجها ولا نفقة ما كانت ممتنعة لأن الله  تبارك وتعالى أباح هجرة  مضجعها  وضربها  في  النشوز والإمتناع  نشوز.[3]
Artinya: “Dan dasar apa yang kami pegangi kepadanya tidak ada pembagian giliran bagi orang yang menghalangi (menolak) suaminya dan tidak ada nafkah selama ia menghalangi, karena sesungguhnya Allah Tabaraka Wa Ta’ala telah membolehkan memisahkan diri dari tempat tidurnya dan memukulnya ketika ia nusyuz”.

            Kemudian dalam ungkapan yang lain dinyatakan:
ولو كان الزوجان بالغين منعت المرأة من دخول أو أهلها لعلة لو اصلاح امر هلم تجب على زوجها نفقتها حتى لا يكون الامتناع من الدخول الامنه.[4]
Artinya: “Dan kalau suami isteri yang kedua-duanya sudah baliqh kemudian si wanita menghalangi daripada dukhul atau keluarganya karena alasan atau untuk menyelesaikan urusannya, tidak wajib suaminya menafkahinya sehingga tidak ada lagi yang menghalangi kepada dukhul kecuali penghalang itu dari suami”.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan, bahwa isteri yang nusyuz mengakibatkan hilangnya hak isteri tersebut untuk menerima nafkah dari suaminya, hal ini disebabkan terhalangnya suami bersenang-senang dengan isterinya.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwa nafkah isteri yang nusyuz terhadap suami itu gugur, yaitu isteri melakukan pembangkangan terhadap suami dengan tujuan untuk menghindari hak dan kewajibannya terhadap suami, meninggalkan rumah tanpa izin suami, melanggar perintahnya, membencinya dan bersikap sombong terhadapnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Qudamah yaitu:
والناشز لا نفقة لها فلا نفقة لها ولا سكنى فى قول عامة أهل العلم منهم الشعبى وحماد ومالك والأوزاعى والشافعى وأصحاب الرأي وأبو ثور.[5]
Artinya: “Dan orang yang nusyuz tidak ada nafkah baginya, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi isteri tersebut menurut ahli fiqh, mereka itu adalah asy-Sya’bi, Hammad, malik, asy-Syafi’i, sahabat-sahabat ar-Ra’yu dan Abu Tsaury”.
Abi Ishaq asy-Syirazi menyatakan, bahwa jika seorang wanita menghalangi atau menolak untuk menyerahkan dirinya atau dia memungkinkan untuk istimta’, atau seharusnya ia di rumah tapi tidak ada di rumah atau seharusnya ia berada di negerinya tapi tidak ada di negerinya, maka tidak wajib nafkah, karena dengan demikian menyebabkan tidak terdapatnya tamkin yang sempurna. Tidak ada kewajiban nafkah tersebut dapat dimisalkan sebagaimana tidak wajibnya suatu pembayaran bila si penjual menahan atau menghalangi benda yang dijualnya untuk diserahkan.[6]
Pengertian tamkin itu adalah :  

بأن عرضت نفسها عليه كان تقول انى مسلمة نفسى اليك فاختران اتيك حيث شئت أو أن تأتينى.
Artinya: “Bahwasanya si wanita telah menyerahkan dirinya kepada suaminya sebagaimana dia berkata, sesungguhnya aku menyerahkan diriku kepadamu maka engkau pilihlah bahwa aku datang kepadamu di manapun kamu berada atau engkau datangilah diriku”.[7]
Ibn Qudamah menjelaskan sebagai berikut:
ولنا أن النفقة إنما تجب فى مقابلة تمكينها بدليل أنها لا تجب قبل تسليمها إليه وإذا منعها النفقة كان لها منعة التمكين, فإذا منعة التمكين كان له منعها من النفقة كما قبل الدخول.
Artinya: “Dan bagi kami bahwa nafkah sesungguhnya wajib pada muqabalah tamkinnya dengan alasan bahwa nafkah tidak wajib sebelum isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan apabila mencegah isteri akan nafkah adalah karena isteri mencegah suami tamkin, maka apabila isteri mencegah suami akan tamkin adalah  bagi suami mencegah isteri dari nafkah sebagaimana sebelum dukhul”.[8]

Namun tamkin isteri harus terdapat tamkin yang sempurna bila si isteri tidak menghalangi daripada menyerahkan dirinya, bila ia memungkinkan untuk diistimta' atau ia bukan anak kecil, berada di tempat untuk dapat menerima nafkah.[9] Hal ini didasarkan pada peristiwa perkawinan Rasulullah SAW. sebagai berikut:
عن عائشة قالت: تزوجنى رسول الله صلعم وأنا بنت سبع قال سليمان بن حرب أوست ودخل بى وأنا بنت تسع. (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari 'Aisyah r.a dia berkata : Rasulullah S.W.A. telah mengawini aku, sedang aku berusia tujuh tahun. Kata Sulaiman bin Harb : atau enam tahun. Dan beliau mengumpuli aku; sedang aku berusia sembilan tahun”. (H.R: Abu Daud)[10]
Berdasarkan hadits tersebut bahwa Rasu!ullah te!ah menikahi 'Aisyah dan mencampurinya seteiah dua tahun dari perkawinan tersebut, RasuSullah tidak menikahi 'Aisyah kecuali seteiah ia mencampurinya dan ia tidak pernah mengganti nafkah pada masa sebelumnya.[11]
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang batas yang mengakibatkan gugurnya nafkah, yaitu:
1.     Jika seorang isteri masih kecit, yang belum dapat dicampuri tetapi telah berada dalam naungan suaminya. Maka para ulama mazhab sepakat bahwa tak ada kewajiban nafkah, karena suami tidak dapat menikmatinya dengan sempuma sehingga isterinya tidak berhak1 mendapatkan ganti rugi berupa nafkah ( belanja ).
2.     Kalau isteri  sakit, mandul atau mengalami kelainan pada alat seksualnya, tap! ia tinggal di rumah suaminya, maka hak nafkah tidak gugur, Tetapi menurut Maliki kewajiban memberi nafkah itu gugur manakala isteri atau suami sakit berat.
3.     Apabila isteri 'yang semula muslimah lalu murtad , maka menurut kesepakatan seluruh mazhab, kewajiban nafkah menjadi gugur, tapi nafkah tetap wajib bagi isteri ahli kitab persis seperti isteri yang muslimah, tanpa ada perbedaan sedikit pun.
4.     Apabila isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami , atau menolak tinggal di rumah suami yang layak baginya, maka dianggap sebagai isteri nusyuz, dan menurut kesepakatan seluruh mazhab, isteri tersebut tidak berhak atas nafkah. Hanya Syafi'i dan Hambali menambahkan, bahwa apabila isteri keluar rumah demi kepentingn suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan untuk kepentingan suami, seka|ipun dengan izinnya, gugurlah hak atas nafkahnya.
5.     Apabila isteri berpergian dalam rangka menunaikan ibadah haji wajib, maka Syafi'i dan Hanafi mengatakan bahwa, haknya atas nafkah menjadi gugur, sekiranya pergi tanpa seizin suami tetapi biia disertai izinnya, maka. hak nafkah tidak gugur.
6.     Kalau isteri ber.sedia dan mau digauli, dan mau tinggal bersama suaminya kapan saja suaminya itu menghendakinya, tetapi kasar dalam berbicara, kurang ajar, dan seringkali melawan dalam banyak hal, maka akan gugur hak nafkahnya bila ha! itu bukan merupakan v/atak aslinya, artinya ia bersikap baik kepada orang lain tapi tidak terhadap suami, maka dia akap dianggap sebagai isteri nusyuz. Tapi manakala perbuatannya itu memang merupakan watak yang menyatu dalam dirinya dan sikapnya terhadap orang lain juga sama seperti itu termasuk kepada ayah dan ibunya, maka wanita seperti itu tidak dianggap nusyuz.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya ketika dia dalam keadaan nusyuz, maka isteri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam keadaan iddah dari thalaq raj'i lalu melakukan nusyuz ketika menjalani iddahnya, maka hak atas nafkahnya menjadi gugur. Kemudian bi!a dia kembali taat, maka nafkahnya diberikan terhitung dari waktu ketika diketahui dia kembaii taat.[12]
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas, bagaimanapun bentuk nusyuz isteri tersebut, apabila menghalangi suami dari dirinya dapat menggugurkan nafkahnya kecuali penghalangan itu dari pihak suami atau karena ada keuzuran si isteri, hal ini dinyatakan dalam ungkapan berikut:
وتسقط (النفقة) لنشوز ولو يمنع بلا عذر.
Artinya: “Dan gugur (nafkah) dengan nusyuz meskipun dengan menghalangi atau menolak disentuh dengan tidak ada keuzuran”.[13]
Apabila berlakunya hukum tidak memberi nafkah atau gugur nafkah adalah sejak muncul sikap isteri yang menunjukkan tanda-tanda nusyuz.[14]
Sedangkan batas waktu gugurnya nafkah tersebut adalah selama isteri masih melakukan nusyuz, dan bila isteri sudah kembali taat maka hak-hak isteri harus diberikan kembali. Dengan demikian tidak halal memisahkan diri darinya dan tidak halal memukulnya dan ia memiliki hak-haknya sebagaimana halnya sebelum ia berbuat nusyuz.[15]
Berdasarkan  pernyataan yang telah diuraikan di atas jelaslah. bahwa nafkah isteri nusyuz gugur merupakan kesempatan para ahli fiqh. Pengguguran nafkah isteri nusyuz disebabkan isteri tidak memiiiki tamkin. maka tidak berhak atas nafkah yang diberikan suami. Sebab terjadinya aqad nikah di antara mereka bukan dipandang sebagai penyebab berhak nafkah isteri. Salah satu hak dan kewajiban suami isteri tersebut adalah nafkah. Suami wajib memberi nafkah, sementara nafkah adalah hak isteri dan sebaliknya isteri berkewajiban tamkin dan tamkin hak suami. Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan berikut:
الجديد أنها تجب بالتمكين لاالعقد.
Artinya: “Menurut qaul jadid bahwasanya dia )nafkah) wajib karena tamkin bukan karena aqad”.[16]
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa nafkah isteri nusyuz itu gugur disebabkan isteri tersebut tidak memiliki tamkin yang menjadi hak suaminya.


[1]Imam Nawawi, Syarh Majmu’ al-Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut Libanon: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 265

[2]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Mesir: Dar al-Kutub, 1956, hlm. 465.
[3]Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz V, Mesir: Dar Asy Sya’bi, t.t., hlm. 176.

[4]Ibid., hlm. 80.

[5]Ibn Qudamah, al Muqhni asy-Syarah al-Kabir, Juz IX, Makkah: Maktabah at-Tijariyyah, t.t., hlm. 296.

[6]Abu Ishaq Ibrahim Asy Syirazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut: Dar al-Fikri, t.t., hlm. 159.

[7]Said Abu Bakar bin Sayyid Muhammad As Syaththa Ad-Dimyati, I’anah at-Talibin, Juz IV, Semarang: Toha Putra, hlm. 60.

[8]Ibn Qudamah, Op. Cit., Hlm. 297.

[9]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.

[10]Imam Daud Sulaiman, Sunan Abu Daud, Juz II, Surabaya: Dar al-Hadith Himas, t.t., hlm. 593.

[11]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[12]Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta: Lentera, 1996. hlm. 403-404.

[13]Syihabuddin al-Qalyubi, Qalyubi Wa Amirah, Juz IV, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 78.

[14]Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajury, Juz II, Semarang: Toha Putra, t.t., hlm. 135.
[15]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Loc. Cit.

[16]Syihabuddin al-Qalyubi, Op. Cit., hlm. 77.

0 Comments