1.
Nafkah
Isteri Nusyuz Menurut Imam Syafi’i
Memang tidak ada
dalil dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa wanita yang nusyuz terhadap
suaminya gugur haknya untuk mendapatkan nafkah. Paling-paling hanya ada, Allah
SWT. benar-benar memerintahkan kaum wanita untuk taat kepada suaminya dan Nabi
Muhammad SAW. menegaskannya lagi dalam sabda Baginda:
Artinya: “Andaikan sujud kepada
selain Allah SWT. itu boleh, pastilah aku suruh kepada isteri itu sujud kepada
suaminya”.
Bahkan kemudian
laki-laki dilarang mencari alasan buat menganiayai isterinya, manakala si
isteri sudah kembali taat kepadanya sebagaimana firman Allah SWT.:
....فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا.... (النساء: ٣٤)
Artinya: “....Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya....”. (Q.S: al-Nisa’: 34)
Perempuan yang taat
di sini bukanlah semata-mata perempuan yang tunduk kepada suaminya. Taat di
sini adalah perempuan yang tahu akan hak dan kewajibannya, yang menjaga rumah
tangga dengan baik dan saling pengertian dan tahu menjaga dirinya. Imam
al-Ghazali di dalam kitab Ihya’ Ulumuddin memberi nasihat kepada seorang suami
supaya bersabar menanggung tingkah laku isterinya karena tiap-tiap perempuan
dan manusia itu ada sisi kelemahannya. Bahkan suami pun mempunyai kelemahannya
dan dengan kesabaran seorang isteri pulalah yang mengekalkan keharmonisan rumah
tangganya.
Namun demikain,
boleh saja bagi suami menghukum isterinya dengan tidak memberi nafkah jika
isterinya mendurhaka kepadanya sampai ia kembali taat. Karena isteri itu
meninggalkan kewajiban taat kepada suami, maka suamipun boleh meninggalkan
kewajibannya memberi nafkah kepada isterinya.
Oleh karena seorang
isteri dengan sebab adanya aqad nikah menjadi terikat oleh suaminya, ia berada
di bawah kekuasaan suaminya, ia wajib taat kepada suaminya, suaminya berhak
penuh atas dirinya, tinggal di rumah suaminya, mengatur rumah tangga suaminya
dan mengasuh anak dari suaminya, maka agama menetapkan terhadap suami untuk
memberikan nafkah kepada isteri selama perkawinan itu masih berlangsung dan isteri
tidak nusyuz dan tidak ada sebab lain yang akan menyebabkan terhalangnya nafkah
berdasarkan kaedah umum yang mengakui bahwa orang yang menjadi milik orang lain
dan diambil manfaatnya maka nafkahnya menjadi tanggungan orang yang
menguasainya.
Imam Syafi’i dalam
kitabnya yakni al-Umm menyatakan:
وأصل
ما ذهبنا إليه من إن لا قسم للممتنعة من زوجها ولا نفقة ما كانت ممتنعة لأن الله تبارك وتعالى أباح هجرة مضجعها
وضربها في النشوز والإمتناع نشوز.[3]
Artinya: “Dan dasar apa yang kami pegangi
kepadanya tidak ada pembagian giliran bagi orang yang menghalangi (menolak)
suaminya dan tidak ada nafkah selama ia menghalangi, karena sesungguhnya Allah Tabaraka Wa
Ta’ala telah membolehkan memisahkan diri dari tempat tidurnya dan memukulnya
ketika ia nusyuz”.
Kemudian dalam
ungkapan yang lain dinyatakan:
ولو
كان الزوجان بالغين منعت المرأة من دخول أو أهلها لعلة لو اصلاح امر هلم تجب على
زوجها نفقتها حتى لا يكون الامتناع من الدخول الامنه.[4]
Artinya: “Dan kalau suami isteri
yang kedua-duanya sudah baliqh kemudian si wanita menghalangi daripada dukhul
atau keluarganya karena alasan atau untuk menyelesaikan urusannya, tidak wajib
suaminya menafkahinya sehingga tidak ada lagi yang menghalangi kepada dukhul
kecuali penghalang itu dari suami”.
Dari pernyataan tersebut di atas dapat disimpulkan,
bahwa isteri yang nusyuz mengakibatkan hilangnya hak isteri tersebut untuk
menerima nafkah dari suaminya, hal ini disebabkan terhalangnya suami
bersenang-senang dengan isterinya.
Para ahli fiqh telah sepakat bahwa nafkah isteri yang
nusyuz terhadap suami itu gugur, yaitu isteri melakukan pembangkangan terhadap
suami dengan tujuan untuk menghindari hak dan kewajibannya terhadap suami,
meninggalkan rumah tanpa izin suami, melanggar perintahnya, membencinya dan
bersikap sombong terhadapnya sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibn Qudamah
yaitu:
والناشز لا نفقة لها فلا نفقة لها
ولا سكنى فى قول عامة أهل العلم منهم الشعبى وحماد ومالك والأوزاعى والشافعى
وأصحاب الرأي وأبو ثور.[5]
Artinya: “Dan orang yang nusyuz
tidak ada nafkah baginya, maka tidak ada nafkah dan tempat tinggal bagi isteri
tersebut menurut ahli fiqh, mereka itu adalah asy-Sya’bi, Hammad, malik,
asy-Syafi’i, sahabat-sahabat ar-Ra’yu dan Abu Tsaury”.
Abi Ishaq asy-Syirazi menyatakan, bahwa jika seorang
wanita menghalangi atau menolak untuk menyerahkan dirinya atau dia memungkinkan
untuk istimta’, atau seharusnya ia di rumah tapi tidak ada di rumah atau
seharusnya ia berada di negerinya tapi tidak ada di negerinya, maka tidak wajib
nafkah, karena dengan demikian menyebabkan tidak terdapatnya tamkin yang
sempurna. Tidak ada kewajiban nafkah tersebut dapat dimisalkan sebagaimana
tidak wajibnya suatu pembayaran bila si penjual menahan atau menghalangi benda
yang dijualnya untuk diserahkan.[6]
Pengertian tamkin itu adalah :
بأن
عرضت نفسها عليه كان تقول انى مسلمة نفسى اليك فاختران اتيك حيث شئت أو أن تأتينى.
Artinya: “Bahwasanya si wanita
telah menyerahkan dirinya kepada suaminya sebagaimana dia berkata, sesungguhnya
aku menyerahkan diriku kepadamu maka engkau pilihlah bahwa aku datang kepadamu
di manapun kamu berada atau engkau datangilah diriku”.[7]
Ibn Qudamah menjelaskan sebagai berikut:
ولنا أن النفقة إنما تجب فى مقابلة تمكينها بدليل
أنها لا تجب قبل تسليمها إليه وإذا منعها النفقة كان لها منعة التمكين, فإذا منعة
التمكين كان له منعها من النفقة كما قبل الدخول.
Artinya: “Dan bagi kami bahwa nafkah sesungguhnya
wajib pada muqabalah tamkinnya dengan alasan bahwa nafkah tidak wajib sebelum
isteri menyerahkan dirinya kepada suaminya, dan apabila mencegah isteri akan
nafkah adalah karena isteri mencegah suami tamkin, maka apabila isteri mencegah
suami akan tamkin adalah bagi suami
mencegah isteri dari nafkah sebagaimana sebelum dukhul”.[8]
Namun tamkin isteri harus terdapat tamkin yang sempurna
bila si isteri tidak menghalangi daripada menyerahkan dirinya, bila ia
memungkinkan untuk diistimta' atau ia bukan anak kecil, berada di tempat
untuk dapat menerima nafkah.[9]
Hal ini didasarkan pada peristiwa perkawinan Rasulullah SAW. sebagai berikut:
عن
عائشة قالت: تزوجنى رسول الله صلعم وأنا بنت سبع قال سليمان بن حرب أوست ودخل بى
وأنا بنت تسع. (رواه أبو داود)
Artinya: “Dari 'Aisyah r.a dia
berkata : Rasulullah S.W.A. telah mengawini aku, sedang aku berusia tujuh
tahun. Kata Sulaiman bin Harb : atau enam tahun. Dan beliau mengumpuli aku;
sedang aku berusia sembilan tahun”. (H.R: Abu Daud)[10]
Berdasarkan hadits tersebut bahwa Rasu!ullah te!ah
menikahi 'Aisyah dan mencampurinya seteiah dua tahun dari perkawinan tersebut,
RasuSullah tidak menikahi 'Aisyah kecuali seteiah ia mencampurinya dan ia tidak
pernah mengganti nafkah pada masa sebelumnya.[11]
Tetapi para ulama mazhab berbeda pendapat tentang batas
yang mengakibatkan gugurnya nafkah, yaitu:
1.
Jika
seorang isteri masih kecit, yang belum dapat dicampuri tetapi telah berada
dalam naungan suaminya. Maka para ulama mazhab sepakat bahwa tak ada kewajiban
nafkah, karena suami tidak dapat menikmatinya dengan sempuma sehingga isterinya
tidak berhak1 mendapatkan ganti rugi berupa nafkah ( belanja ).
2.
Kalau
isteri sakit, mandul atau mengalami
kelainan pada alat seksualnya, tap! ia tinggal di rumah suaminya, maka hak
nafkah tidak gugur, Tetapi menurut Maliki kewajiban memberi nafkah itu gugur
manakala isteri atau suami sakit berat.
3.
Apabila
isteri 'yang semula muslimah lalu murtad , maka menurut kesepakatan seluruh
mazhab, kewajiban nafkah menjadi gugur, tapi nafkah tetap wajib bagi isteri
ahli kitab persis seperti isteri yang muslimah, tanpa ada perbedaan sedikit
pun.
4.
Apabila
isteri meninggalkan rumah tanpa izin suami , atau menolak tinggal di rumah
suami yang layak baginya, maka dianggap sebagai isteri nusyuz, dan menurut
kesepakatan seluruh mazhab, isteri tersebut tidak berhak atas nafkah. Hanya
Syafi'i dan Hambali menambahkan, bahwa apabila isteri keluar rumah demi
kepentingn suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur. Tetapi bila bukan
untuk kepentingan suami, seka|ipun dengan izinnya, gugurlah hak atas nafkahnya.
5.
Apabila
isteri berpergian dalam rangka menunaikan ibadah haji wajib, maka Syafi'i dan
Hanafi mengatakan bahwa, haknya atas nafkah menjadi gugur, sekiranya pergi
tanpa seizin suami tetapi biia disertai izinnya, maka. hak nafkah tidak gugur.
6.
Kalau
isteri ber.sedia dan mau digauli, dan mau tinggal bersama suaminya kapan saja
suaminya itu menghendakinya, tetapi kasar dalam berbicara, kurang ajar, dan
seringkali melawan dalam banyak hal, maka akan gugur hak nafkahnya bila ha! itu
bukan merupakan v/atak aslinya, artinya ia bersikap baik kepada orang lain tapi
tidak terhadap suami, maka dia akap dianggap sebagai isteri nusyuz. Tapi
manakala perbuatannya itu memang merupakan watak yang menyatu dalam dirinya dan
sikapnya terhadap orang lain juga sama seperti itu termasuk kepada ayah dan
ibunya, maka wanita seperti itu tidak dianggap nusyuz.
Apabila seorang isteri diceraikan suaminya ketika dia
dalam keadaan nusyuz, maka isteri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam
keadaan iddah dari thalaq raj'i lalu melakukan nusyuz ketika menjalani
iddahnya, maka hak atas nafkahnya menjadi gugur. Kemudian bi!a dia kembali
taat, maka nafkahnya diberikan terhitung dari waktu ketika diketahui dia
kembaii taat.[12]
Dari penjelasan yang telah diuraikan diatas,
bagaimanapun bentuk nusyuz isteri tersebut, apabila menghalangi suami dari
dirinya dapat menggugurkan nafkahnya kecuali penghalangan itu dari pihak suami
atau karena ada keuzuran si isteri, hal ini dinyatakan dalam ungkapan berikut:
وتسقط
(النفقة) لنشوز ولو يمنع بلا عذر.
Artinya: “Dan
gugur (nafkah) dengan nusyuz meskipun dengan menghalangi atau menolak disentuh
dengan tidak ada keuzuran”.[13]
Apabila berlakunya hukum tidak memberi nafkah atau gugur
nafkah adalah sejak muncul sikap isteri yang menunjukkan tanda-tanda nusyuz.[14]
Sedangkan batas waktu gugurnya nafkah tersebut adalah
selama isteri masih melakukan nusyuz, dan bila isteri sudah kembali taat maka
hak-hak isteri harus diberikan kembali. Dengan demikian tidak halal memisahkan
diri darinya dan tidak halal memukulnya dan ia memiliki hak-haknya sebagaimana
halnya sebelum ia berbuat nusyuz.[15]
Berdasarkan
pernyataan yang telah diuraikan di atas jelaslah. bahwa nafkah isteri
nusyuz gugur merupakan kesempatan para ahli fiqh. Pengguguran nafkah isteri nusyuz
disebabkan isteri tidak memiiiki tamkin. maka tidak berhak atas nafkah yang
diberikan suami. Sebab terjadinya aqad nikah di antara mereka bukan dipandang
sebagai penyebab berhak nafkah isteri. Salah satu hak dan kewajiban suami
isteri tersebut adalah nafkah. Suami wajib memberi nafkah, sementara nafkah
adalah hak isteri dan sebaliknya isteri berkewajiban tamkin dan tamkin hak
suami. Sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan berikut:
الجديد أنها تجب بالتمكين لاالعقد.
Dengan demikian dapat dipahami, bahwa nafkah isteri nusyuz itu gugur
disebabkan isteri tersebut tidak memiliki tamkin yang menjadi hak suaminya.
[1]Imam Nawawi, Syarh Majmu’ al-Muhazzab, Jil. XVIII, Beirut
Libanon: Wasyirkah al-Halabi al-Babi, t.t., hlm. 265
[2]Ibrahim Muhammad al-Jamal, Fiqhul Mar’ah al-Muslimah, Mesir:
Dar al-Kutub, 1956, hlm. 465.
[3]Abi Abdillah Muhammad Bin Idris Imam Syafi’i, Al-Umm, Juz V,
Mesir: Dar Asy Sya’bi, t.t., hlm. 176.
[5]Ibn Qudamah, al Muqhni asy-Syarah al-Kabir, Juz IX, Makkah:
Maktabah at-Tijariyyah, t.t., hlm. 296.
[6]Abu Ishaq Ibrahim Asy Syirazi, al-Muhazzab, Juz II, Beirut : Dar al-Fikri,
t.t., hlm. 159.
[7]Said Abu Bakar bin Sayyid Muhammad As Syaththa Ad-Dimyati, I’anah
at-Talibin, Juz IV, Semarang :
Toha Putra, hlm. 60.
[8]Ibn Qudamah, Op. Cit., Hlm. 297.
[9]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[11]Abu Ishaq Ibrahim as-Syirazi, Loc. Cit.
[12]Muhammad Jawad Mughniyah, Fikih Lima Mazhab, Cet. I, Jakarta : Lentera, 1996.
hlm. 403-404.
[14]Ibrahim al-Bajuriy, Hasyiah al-Bajury, Juz II, Semarang : Toha Putra,
t.t., hlm. 135.
[15]Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, Loc. Cit.
[16]Syihabuddin al-Qalyubi, Op. Cit., hlm. 77.
0 Comments
Post a Comment