A. Peluang dan Tantangan Advokat Syari’ah dalam Profesi
Kepengacaraan
Setelah lahirnya Undang-undang tentang Advokat, maka akan semakin
memberikan citra yang positif bagi sarjana syari’ah. Namun, lahirnya Undang-Undang
ini bukanlah akhir sebuah perjuangan, melainkan awal dari sebuah tantangan yang
harus dihadapi. Melihat kuatnya penolakan dari kalangan advokat tersendiri,
mendapat kesan bahwa dari kalangan advokat yang berkompeten untuk menyuarakan
aspirasi yang masih memiliki kelemahan. Hal ini terkesan kurang mampu
mengartikulasikan gagasan dan meyakinkan para advokat terhadap kesejajaran
advokat syari’ah dengan advokat umum lainnya.
Untuk merespon keberatan-keberatan tersebut perlu upaya-upaya serius dan
signifikan dari berbagai pihak. Memang, selama ini telah dilakukan beberapa hal
seperti perubahan gelar kesarjanaan untuk lulusan IAIN umumnya dan sarjana
syari’ah khususnya. Sekarang sarjana syari’ah tidak lagi menggunakan gelar
Sarjana Agama (S. Ag), tetapi menggunakan gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI).
Setidaknya perubahan ini memberikan kesan kesetaraan dengan sarjana hukum umum.
Dengan gelar ini, seorang sarjana syari’ah tidak harus mengikuti pendidikan di
Fakultas Hukum untuk memperoleh gelar SH. Selama ini mungkin sebagian sarjana
syari’ah masih memiliki inferiority complex dengan gelar kesarjanaannya,
sehingga di antara mereka ada yang mengambil kuliah di Fakultas Hukum. Pilihan
ini tentu sah-sah saja dan tidak dilarang, meskipun ada kesan kurang PD
(percaya diri) dengan gelar kesarjanaan mereka.[1]
Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah pembenahan kurikulum sesuai
dengan tuntutan kebutuhan dan tantangan. Fakultas Syari’ah perlu memperhatikan
beberapa mata kuliah hukum umum lainnya, di samping yang telah mapan diajarkan
selama ini, seperti hukum ketenagakerjaan, kepengacaraan, hukum pertanahan,
hukum acara dan hukum militer. Ini barangkali beberapa mata kuliah lain yang
mesti diajarkan sejauh relevan dengan upaya menjawab tantangan kebutuhan
tersebut.
Di sisi lain, mahasiswa sendiri perlu meningkatkan keilmuan dan
ketrampilan di bidang yang bersentuhan langsung dengan profesi kepengacaraan.
Diundangkannya Undang-undang Advokat ini adalah peluang dan kesempatan emas
bagi mereka. Namun peluang ini akan hilang begitu saja manakala mereka tidak
menyahutinya dengan mengembangkan kemampuan intelektual dan tidak terlatih
dalam penerapan hukum. Mereka akan kalah bersaing dengan para sarjana hukum
umum lainnya. Untuk itu, Fakultas Syari’ah barangkali bisa memfasilitasi
alumninya untuk memberikan kursus atau pendidikan kepengacaraan yang memadai.[2]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa disahkannya UU
Nomor 18 Tahun 2003 sebagai upaya memberi peluang yang besar untuk sarjana
syari’ah dalam berprofesi sebagai avokat. Bahkan dengan adanya peraturan
tersebut, maka advokat syari’ah dapat melakukan prakteknya dengan bebas,
sehingga kedudukannya sama seperti advokat umum. Namun yang lebih penting lagi
adalah dalam hal pengembangan ilmu pengetahuan bagi advokat syari’ah, karena
dalam melaksanakan praktek advokasi tidak mungkin dilakukan tanpa memiliki ilmu
pengetahuan yang memadai. Oleh karenanya, seorang sarjana syari’ah diharuskan
menggali ilmu pengetahuan tentang hukum secara mendalam, baik hukum Islam
maupun hukum umum.
Selain itu, yang tak kalah pentingnya adalah pemahaman berbasis moral
kepada mahasiswanya. Sebab profesi advokat sering diidentikkan orang dengan
“membela yang bayar”. Artinya, advokat berjuang membela mati-matian kliennya.
Dengan kemampuannya bersilat lidah dan bermain kata-kata, advokat sering
dianggap sebagai orang yang mampu menghitamkan yang putih dan memutihkan yang
hitam. Ia bisa membuat kliennya yang bersalah terbebas dari jeratan hukum, atau
membuat sesuatu yang bukan haknya. Idealismenya bukan membela kebenaran,
melainkan membela kliennya. Kalau advokat memiliki “reputasi” menang terus membela
kliennya, maka ia akan semakin dicari orang dengan bayarannya semakin tinggi.
Makanya, sebagian orang memberi tamsil miring terhadap profesi advokat ini
seperti gunting. Kedua sisi gunting saling bersinggungan dan berlawanan, namun
yang terjepit dan terkoyak adalah kain yang berada di tengah-tengah kedua sisi
tersebut. Advokat barangkali bisa berdebat sengit di pengadilan dalam membela
kliennya, namun di luar pengadilan mereka mungkin akan saling bertanya berapa
penghasilan yang kamu peroleh dari klien kamu.
Tentu saja tidak semua advokat memiliki sikap dan prilaku demikian. Masih
banyak advokat yang bekerja sesuai dengan hati nurani mereka dan berjuang dalam
menegakkan kebenaran. Tidak sedikit mereka yang menjaga nilai-nilai moral dan
etika, karena mereka adalah salah satu pilar penting dalam penegakan hukum dan
keadilan. Namun banyak advokat yang bermain gunting juga tidak dapat dinafikan.
Bukankah sudah lama negeri ini mengenal istilah “pokrol bambu” yang kurang
lebih sama dengan tamsilan gunting. Apalagi pada zaman reformasi sekarang ini,
advokat atau penasehat hukum sering mendapatkan keuntungan. Mereka membela para
keruptor atau konglomerat hitam yang jelas-jelas merugikan negara. Tidak
sedikit uang yang telah mereka dapatkan untuk membela dan membebaskan klien
mereka tersebut. Ketidakmampuan hukum tersebut untuk menjerat para pelaku
tindak pidana kelas kakap tersebut, di samping karena perangkat dan aparat
hukum yang lemah juga dikarenakan oleh kecanggihan penasehat hukum mereka dalam
mempermainkan hukum.[3]
Berdasarkan keterangan di atas, maka dapat dipahami bahwa seorang
addvokat (pengacara) tidak boleh membela kliennya dengan cara mengukur
pembelaannya berdasarkan hasil pembayaran. Sebab pembelaan tersangka yang jelas
salah merupakan salah satu upaya untuk mengaburkan hukum yang berlaku su sebuah
Negara. Namun kenyataanya, sekarang ini masih banyak advokat yang melakuka
pembelaan terhadap pejabat Negara yang sudah jelas melakukan pelanggaran. Salah
satu pelanggaran yang dilakukan pejabat
Negara di antara kerupsi, manipulasi dan maney politic yang rata-rata
dilakukan oleh pejabat Negara yang mengingkan kekuasaan.
Berdasarkan gambaran yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat
diketahui dengan pasti, bahwa sarjana syari’ah memiliki peluang yang cukup
besar untuk menjadi advokat syari’ah. Peluang ini dapat dicapai oleh sarjana
syari’ah setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang
Profesi Advokat. Namun demikian, sarjana syari’ah juga tidak boleh melupakan
tantangan yang dihadapi ke depan, karena pada umumnya sarjana syari’ah dianggap
belum mampu untuk berprofesi sebagai advokat. Ketidakmampuan ini, menurut
anggapan sebagian masyarakat karena sarjana syari’ah tidak mempelajari hukum
yang berkaitan dengan hukum positif (KUHP), sehingga sangat diragukan kalau
mereka beracara baik di peradilan agama maupun peradilan umum.
Namun demikian, penulis melihat bahwa setelah disahkan UU No. 18 Tahun
2003, peluang sarjana syari’ah untuk menekuni bidang advokasi sudah terbuka
lebar. Namun yang sangat disayangkan adalah masih kurang minat sarjana syari’ah
untuk menekuni bidang advokasi. Hal ini terjadi kemungkinan besar disebabkan
dalam pengurusan izin advokasi sangat berbelit, sehingga sarjana syari’ah
merasa kewalahan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh lembaga advokat
tersebut. Di sisi lain, juga terlihat bahwa sarjana syari’ah belum mampu
mengaplikasikan ilmu hukumnya untuk membela seorang klien. Hal ini terlihat
dari kenyataan sehari-hari bahwa sarjana syari’ah umumnya masih kurang memahami
ilmu pengetahuan hokum, bahkan yang sangat menyedihkan ada sebagian sarjana
syari’ah yang memang tidak mengerti sama sekali tentang hukum, baik hukum Islam
maupum umum.
[1] Wawancara dengan bapak Yahya Alinza, SH, Pengacara di Banda Aceh
tanggal 16 Juli 2006
[3]Wawancara penulis dengan vapak Yahya Alinza, SH, Pengacara di Banda
Aceh tanggal 16 Juli 2006
0 Comments
Post a Comment