A. Proses Penegakan Hukum di kalangan Advokat Syari’ah
Penegakan hukum yang adil merupakan
salah satu tugas yang diemban oleh seorang advokat. Sebab advokat termasuk
salah satu unsur penegak hukum yang bertugas untuk mengawasi hakim dalam
memutuskan hukuman setiap perkara yang disidangkan. Apalagi kenyataan sekarang
ini, sering putusan hukuman yang dibacakan oleh hakim memberatkan terdakwa. Hal
ini bisa terjadi disebabkan hakim kurang jeli dalam memeriksa berkas-berkas
perkara yang diajukan oleh pihak penyidik, sehingga perbuatan demikian
merugikan terdakwa dalam menerima tuntutan hukuman. Oleh karena itu, advokat
sebagai penasehat hukum bagi terdakwa mempunyai peranan sangat penting untuk
memberikan keadilan yang sesungguhnya terhadap penjatuhan hukuman bagi
kliennya. Hal ini tidak berarti, advokat bekerja sebagai petugas yang
mengabaikan hukum, melainkan sebagai pemberi keadilan dalam penegakan hukum di
pengadilan.
Daniel
S Lev menyatakan, paling tidak ada enam fungsi penting profesi advokat:
1.
Mewakili
dan melindungi kepentingan warga negara dalam proses hukum
2.
Turut menjamin
keadilan menurut hukum.
3.
Turut
menjaga pekerjaan dan integritas pengadilan, kejaksaan, polisi dan instansi
lain.
4.
Menjaga
integritas praktek para advokat itu sendiri.
5.
Turut
mengatur kemampuan profesional para advokat, dan
6.
Turut
mendidik masyarakat tentang hukum, proses hukum, prinsip hukum, hak warga negara, dan sebagainya[1].
Pernyataan di atas sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh bapak
Yahya Alinza, bahwa advokat merupakan salah satu unsur penegak hukum yang dapat
memberikan keadilan kepada terdakwa atau kliennya. Sebab apabila dalam sebuah
peradilan, terdakwa tidak didampingi oleh seorang pengacara, maka dikhawatirkan
proses persidangan yang dilangsungkan dapat
saja menyalahi prosedur dalam menjatuhkan vonis terhadap terhukum. Karena itu,
sebagai jalan untuk mengatasi hal demikian, peranan advokat sangat penting
dalam proses peradilan.[2]
Berdasarkan gambaran di atas, maka jelaslah, bahwa kehadiran advokat
dalam proses persidangan sangat membantu seorang terdakwa dalam menerima
putusan yang seadil-adilnya. Apalagi dalam pemutusan hukuman yang berkaitan
dengan hukum Islam tentu sangat diperlukan advokat yang memahami seluk beluk
hukum Islam. Tanpa pemahaman hukum Islam yang mantap, sudah pasti advokat
kewalahan dalam memberikan keadilan di pengadilan. Namun berbeda halnya, jika
putusan hukuman dijatuhkan seorang hakim, sedangkan yang menanggapinya advokat
syari’ah, maka advokat tersebut bisa
mengetahui kelemahan-kelemahan hukuman yang dijatuhkan hakim tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa putusan hukuman dalam sebuah
perkara yang berkaitan langsung dengan hukum Islam memerlukan beberapa
persyaratan seperti pada perkara perzinaan, hakim wajib menghadirkan saksi
empat orang laki-laki yang adil serta bukti-bukti yang bisa dipertanggung jawabkan
dan sebagainya. Jika kedua hal terpenting tersebut tidak sanggup di bawa ke
pengadilan, maka hakim tidak bisa dengan serta merta dapat menjatuhkan hukuman
kepada terdakwa, walaupun jaksa telah mengajukan tuntutannya. Dalam peristiwa
semacam ini peranan seorang advokat sangat dibutuhkan, karena dalam usaha
memberikan keadilan hukum kepada kliennya. Advokat berkewajiban untuk meminta
kepada hakim, menghadirkan saksi dan menunjukkan bukti-bukti kongkrit untuk
menjatuhkan hukuman.
Menurut
penuturan Ibu Durriati menjelaskan, bahwa proses pelaksanaan pengadilan perkara umum dengan perkara yang berhubungan dengan
hukum Islam sangat berbeda. Perbedaan ini terjadi dalam bentuk pemahaman hukum
yang wajib dipelajari oleh seorang hakim atau advokat. Selanjutnya beliau
mengakui, bahwa selama perjalanan proses peradilan, mengadili perkara yang
berkaitan dengan hukum Islam merupakan proses peradilan yang paling sulit
dilaksanakan, karena pada penyelesaian perkara yang berkaitan dengan hukum
Islam, acuan yang digunakan langsung bersumber pada al-Qur'an dan Hadits,
sehingga jika pemahaman kedua sumber hukum itu tidak begitu sempurna, maka
hukum yang diputuskan akan keluar dari ketentuan yang telah ditetapkan .[3]
Keterangan di atas membuktikan, bahwa dalam proses peradilan umum
terdapat perbedaan dengan proses peradilan agama. Perbedaan ini terjadi dalam
bentuk pemahaman konsep hukum yang harus dipelajari baik oleh hakim maupun
advokat. Kalau pada peradilan umum,
sumber yang dijadikan dalam penjatuhan hukuman hanya berdasarkan KUHP dan
Undang-undang yang berkenaan dengan perkara tersebut, sedangkan perkara yang
berhubungan dengan hukum Islam, sumber hukum yang dijadikan acuan dalam
penjatuhan hukuman adalah Al-Qur'an dan hadits, dan kedua jenis sumber hukum
ini memerlukan ketelitian yang dalam untuk menterjemahkan konsep hukum yang
terkandung di dalamnya.
Melihat perkembangan hukum dewasa ini, maka dapat dipastikan bahwa proses
penegakan hukum yang dilakukan oleh kalangan advokat umum dalam perkara yang
berkaitan dengan hukum Islam masih dapat diragukan keadilannya. Hal ini
disebabkan oleh kurangnya pemahaman advokat
umum dalam menterjemahkan sumber hukum Islam baik al-Qur'an maupun Hadits.
Namun demikian, keadilan dalam proses peradilan semacam itu juga dapat
ditemukan apabila perkara tersebut ditangani langsung oleh advokat syari’ah,
walaupun hakim yang mengadili terdakwa adalah hakim umum. Sebab seorang advokat
dapat meminta hakim untuk menunjukkan bukti-bukti dan saksi yang sesuai dengan
jenis pelanggaran yang dilakukan oleh kliennya.
Dalam sebuah hadist Rasulullah bersabda:
Artinya: “Bukti dari yang mendakwa
dan sumpah pada yang terdakwa” ) H. R. Muslim)
Ketentuan hadist di atas, sesuai dengan pengakuan yang disampaikan oleh
Ibu Durriati, bahwa dalam proses peradilan yang tidak ada saksi dan bukti dalam
berperkara, maka hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman, walaupun terdakwa
tersebut telah secara nyata berbuat pelanggaran. Hal ini dilakukan karena pada
prinsipnya penegak hukum adalah menganut azas praduga tak bersalah. Artinya
apabila dalam proses persidangan hakim tidak dapat menunjukkan saksi dan bukti
sebagaimana yang dimintai oleh advokat, maka hal tersebut dapat dikatagorikan
sebagai pengadilan yang tidak menganut azas tersebut.[5]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami, bahwa dalam proses
peradilan baik peradilan umum maupun peradilan agama, seorang penegak hukum
tidak dibolehkan mengabaikan azas praduga tak bersalah. Artinya, seorang
penegak hukum tidak boleh menduga-menduga kesalahan yang dilakukan seorang
terdakwa, sehingga hakim menjatuhkan hukuman terhadap terdakwa tersebut. Jika
hal ini dilakukan, maka sudah barang tentu, proses peradilan yang dijalankan
tidak lagi menunjukkan keadilan, melainkan dapat menjadi proses pendhaliman.
Berdasarkan keterangan yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat
diketahui dengan pasti, bahwa dalam proses penegakan hukum, advokat mengambil
peranan penting dalam memberikan keadilan kepada kliennya. Hal ini tidak
berarti seorang advokat berprofesi sebagai orang yang dapat merubah hukum, akan
tetapi advokat hanya mencari keadilan kepada kliennya melalui
kelemahan-kelemahan yang tidak dapat ditunjukkan oleh seorang hakim dalam
proses peradilan.
[1] Daniel S. Lev, Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Cet.
III, Jakarta : Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia ,
2001, Hlm. 9.
[2] Wawancara Penulis dengan Bapak Yahya Alinza, SH., tanggal 16 Juli
2006
[3] Wawancara dengan Ibu Durriati, SH, tanggal 15 Juli 2006
[4]Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut : dar al-Fikr, t.t., hln. 164
[5] Wawancara dengan Ibu Durriati, SH, tanggal 18 Juli 2006
0 Comments
Post a Comment