A.
Perbedaan
dan Persamaan Pemberian Hukuman dalam UU Perlindungan Anak dan Pendidikan Islam
Menurut bahasa kata hukuman dalam bahasa Inggrisnya, yaitu disebut dengan kata
Punishment yang berarti “Law (hukuman).”[1]
Sedangkan dalam bahasa Arab kata hukuman disebut dengan kata (اَلْعِقَابْ).[2]
Menurut istilah ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para ahli
pendidikan tentang hukuman, diantaranya adalah sebagai berikut:
Menurut Ngalim Purwanto dalam bukunya ‘Ilmu Pendidikan Teoritis dan
Praktis’:
“Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja
oleh seseorang (orang tua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu
pelanggaran, kejahatan atau kesalahan.”[3]
Menurut Nur Uhbiyati dalam bukunya yang berjudul ‘Ilmu Pendidikan’:
“Hukuman
adalah suatu perbuatan, dimana kita secara sadar dan sengaja menjatuhkan
nestapa kepada orang lain, yang baik dari segi kejasmanian maupun dari segi
kerohanian orang lain itu mempunyai kelemahan bila dibandingkan dari diri kita,
dan oleh karena itu kita mempunyai tanggung jawab untuk membimbingnya dan
melindunginya.”[4]
Menurut Roestiyah dalam bukunya yang berjudul ‘Didaktik Metodik’:
“Hukuman adalah suatu perbuatan yang tidak menyenangkan dari orang yang
lebih tinggi kedudukannya untuk pelanggaran dan kejahatan, bermaksud memperbaiki
kesalahan anak.”[5]
Dari beberapa pendapat para pakar pendidikan di atas, menurut penulis yang
dimaksud dengan hukuman dalam dunia pendidikan adalah suatu perbuatan yang
tidak menyenangkan, baik terhadap fisik maupun psikis yang dijatuhkan secara
sadar dan sengaja dari orang yang lebih tinggi tingkatannya atau kedudukannya
(guru, orang tua dan yang lainnya), kepada anak yang berbuat kesalahan atau melakukan
pelanggaran, dengan tujuan agar anak sadar akan perbuatannya dan berjanji pada
dirinya sendiri untuk tidak mengulanginya lagi. Setelah melihat pengertian hukuman
secara umum, jelaslah bahwa pada dasarnya hukuman diberikan atau dijatuhkan
terhadap orang atau khususnya anak yang melakukan pelanggaran tata tertib
(peraturan), maka dalam dunia pendidikan, hukuman yang diberikan adalah hukuman
yang mempunyai nilai positif dan edukatif, sehingga memberikan efek yang baik
bagi perkembangan siswa.
1. Perbedaan
Pemberian Hukuman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pendidikan Islam
Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Bab III pasal
16 ayat 1 berbunyi: “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”[6]
Bunyi pasal di atas menggambarkan dan menyatakan bahwa kata “hukuman yang
tidak manusiawi” yang dikhususkan langsung terhadap anak sama maksudnya atau
sama perilakunya sebagai suatu tindakan penganiayaan dan tindakan penyiksaan. Undang-Undang
Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002 memang tidak membahas tentang maksud dari
pemberian hukuman terhadap anak secara khusus dalam proses belajar mengajar,
akan tetapi menurut penulis, Undang-Undang Perlindungan Anak lebih kepada
memaknai hukuman terhadap anak secara umum.
Dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak pasal 16 sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas,
makna hukuman seolah-olah sama halnya dengan tindakan kekerasan. Apabila hukuman sebagaimana yang disebutkan dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak adalah bentuk hukuman yang disamakan dengan
tindakan penganiayaan dan tindakan penyiksaan, maka hukuman terhadap anak
dianggap sebagai suatu bentuk tindakan kriminal yang kemudian akan dipandang
sebagai suatu bentuk dari tindakan kekerasan. Jika kita kembali pada bab kajian
sebelumnya, bahwa pada hakikatnya, kata hukuman, kekerasan, penganiayaan, dan
penyiksaan adalah kata yang mengandung makna tidak sama dan penempatan yang
berbeda.
Sebagaimana yang telah penulis paparkan pada bab sebelumnya, bahwa hukuman
adalah suatu hal yang pada hakikatnya hanya diberikan ketika seorang anak itu
melakukan pelanggaran atau melakukan perbuatan menyimpang yang berpengaruh
buruk terhadap dirinya dan orang lain, dan hukuman disini dilakukan dengan cara
yang terkendali dan bertahap dengan tujuan agar anak menyadari dan mau
memperbaiki kesalahannya. Sedangkan kekerasan adalah tindakan yang melukai anak
baik secara fisik maupun psikis yang dilakukan karena suatu sebab atau tanpa sebab
apapun dan dilakukan dalam keadaan yang tidak terkontrol (emosi yang di luar
kendali), baik memiliki tujuan ataupun tidak memiliki tujuan apapun. Sedangkan
penganiayaan adalah suatu usaha yang terencana untuk merusak organ fisik orang
lain atau menghilangkan nyawa orang lain dengan cara yang disengaja.
Kata hukuman yang terkandung dalam Undang-Undang Perlindungan Anak juga
bermakna sebagai semua hukuman yang diberikan terhadap anak dalam berbagai
situasi, baik itu hukuman dalam keluarga, di dalam lingkungan masyarakat, dan juga
hukuman terhadap anak di dalam lembaga-lembaga pendidikan. Kalau penulis
melihat hakikat hukuman sebenarnya, jelas sangat berbeda dengan tindakan
kekerasan ataupun penganiayaan yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas. Hukuman yang diberikan
terhadap anak baik di dalam keluarga, masyarakat maupun lembaga pendidikan,
bukanlah suatu tindakan yang disengaja atau bahkan terencana untuk melukai,
mencederai, menyakiti anak baik secara fisik maupun secara non-fisik.
Dalam pendidikan Islam, hukuman dipandang sebagai suatu yang berbeda dan
bertolak belakang dengan hukuman yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak pasal 16. Dalam dunia pendidikan dan dalam proses belajar mengajar,
pemberian hukuman adalah sebagai metode, strategi, dan alat yang terkadang perlu
digunakan untuk mendisiplinkan perilaku anak yang menyimpang dari
peraturan-peraturan yang telah ditetapkan, hal ini merupakan suatu hal yang
tidak kalah pentingnya dalam rangka mecapai tujuan pendidikan yang efektif.
Semua para pakar pendidikan Islam setuju terhadap adanya metode pendidikan hukuman
dalam proses belajar mengajar atau mendidik anak, akan tetapi yang masih
menjadi pro dan kontra dalam proses pemberian hukuman adalah masalah hukuman
fisik atau psikis yang terkadang tidak sesuai lagi dengan konsep dan tujuan
pemberian hukuman yang sesungguhnya. Pendidikan Islam memandang bahwa pemberian
hukuman pada hakikatnya suatu hal yang penting dalam mendidik dan membiasakan
anak agar mengontrol perilaku mereka sesuai dengan apa telah ditetapkan oleh agama
dan bangsa.
Hukuman terhadap anak bukanlah bertujuan untuk menyakiti anak didik, akan
tetapi hukuman adalah sebagai suatu usaha untuk mengarahkan anak didik agar
tidak melakukan perbuatan atau perilaku yang buruk atau menyimpang dari
norma-norma yang berlaku di dalam ajaran agama Islam itu sendiri, norma
masyarakat dan norma-norma yang berlaku di dalam setiap lembaga pendidikan
sebagai suatu lembaga tempat anak menimba ilmu.
Hukuman dalam pendidikan Islam
merupakan salah satu alat yang dipakai guna mengembalikan perbuatan yang salah
anak kepada perbuatan yang benar. Penggunaannya hukuman juga tidak boleh
sewena-wena terutama dalam menerapkan hukuman fisik, harus mengikuti ketentuan
yang ada dan sesuai dengan tujuan pendidikan. Terkadang
menunda hukuman lebih besar pengaruhnya daripada menghukumnya langsung.
Penundaan ini akan mencegahnya untuk mengulangi kesalahan lain lantaran takut
akan mendapatkan dua hukuman. Tentu tindakan semacam ini jangan dilakukan terus
menerus. Bila kita telah mengupayakan mendidiknya dengan cara-cara lain
ternyata belum juga mau menurut, maka alternatif terakhir adalah hukuman fisik
(pukulan).
Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan
persyaratan dalam memberikan hukuman pukulan, antara lain:
- Pendidik tidak terburu-buru memukul.
- Pendidik
tidak memukul ketika dalam keadaan sangat marah.
- Menghindari
anggota badan yang peka seperti kepala, muka, dada dan perut.
- Tidak
terlalu keras dan tidak menyakiti.
- Tidak
memukul anak sebelum ia berusia 10 tahun.
- Jika
kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya, hendaknya diberi kesempatan
untuk bertobat, minta maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi
kesalahannya itu.
- Pendidik
menggunakan tangannya sendiri.
- Jika
anak sudah menginjak usia dewasa dan dengan 10 kali pukulan tidak juga
jera maka boleh ia menambah dan mengulanginya sehingga anak menjadi baik
kembali.[7]
Dengan
demikian dapat dipahami bahwa hukuman fisik baru boleh diberikan kepada anak
yang berusia sepuluh tahun karena dikhawatirkan atas kondisi fisik anak yang
masih lemah dan bahaya yang ditimbulkan pada kesehatan dan perkembangannya,
sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi: “Wajib juga untuk memukul keduanya
dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena meninggalkannya ketika berumur
sepuluh tahun setelah sempurnanya umur sembilan tahun karena menuju kedewasaan
yang dimiliki.”[8]
Hal tersebut
menunjukkan bahwa dalam mendidik anak, Islam membolehkan penggunaan hukuman
sebagai sarana untuk meluruskan dan menyadarkan anak dengan sesuatu yang tidak
menyakitkan atas kekeliruannya. Tentu saja yang dimaksud memukul di sini adalah
pukulan yang bertujuan untuk mendidik dan tidak menyakitkan.
Namun
demikian, kebolehan menggunakan hukuman pukulan bukan berarti pendidik dapat
melakukan hukuman sekehendak hatinya, ada bagian anggota badan tertentu yang
disarankan untuk dihindari dan anggota bagian mana yang diperbolehkan untuk
dikenai hukuman pukulan. Misalnya jangan memukul muka karena luka pada muka
atau mata akan membekas atau menjadikan cacat pada wajah yang akan membuat anak
minder. Jangan pula memukul kepala, karena akan membahayakan otak atau syaraf
lainnya di kepala. Oleh karena itu, apabila hukuman harus dilakukan maka
pendidik memilih hukuman yang paling ringan akibatnya. Dan apabila hukuman
pukulan harus dijatuhkan maka pendidik memilih anggota badan lain yang lebih
aman dan kebal serta tidak berbekas terhadap pukulan seperti, pantat dan kaki.
Dalam
implementasi pendidikan, hukuman dibagi ke dalam dua cara, yaitu dengan cara
yang lemah lembut dan kasih sayang[9]
serta dilakukan secara bertahap, dari yang paling ringan hingga yang paling
keras.[10]
Dengan demikian, hukuman yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak
tidaklah sama dengan hukuman yang terkandung dalam pendidikan Islam,
perbedaannya adalah sebagai berikut:
1)
Undang-Undang Pelindungan Anak mendefinisikan
hukuman dengan hukuman yang tidak manusiawi yang sama dengan tindakan
penganiayaan, penyiksaan dan kekerasan. Sedangkan hukuman dalam “kacamata”
pendidikan Islam adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mengingatkan,
mengarahkan dan mendisiplinkan anak pada apa yang boleh dilakukan dan apa yang
tidak boleh dilakukannya.
2)
Hukuman dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak (kekerasan, penganiayaan dan penyiksaan) terhadap anak,
dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja sesuai dengan tujuan kepentingan
pribadi sipelaku, sedangkan dalam pendidikan Islam, hukuman hanya boleh
dilakukan oleh orang tua atau wali dan pendidik dalam proses pendidikan,
pembinaan serta pengajaran anak. Hukuman dalam pendidikan Islam pun dilakukan
bukan untuk kepentingan si pemberi hukuman, melainkan untuk kepentingan anak
didik yang mendapatkan hukuman itu sendiri.
3)
Hukuman dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak dimaksudkan dengan tindakan kriminal seperti melukai, mencederai, menyakiti, memperkerjakan dan
membunuh anak tanpa alasan atau dengan alasan tertentu, dan dilakukan dengan
penuh emosional serta tanpa pertimbangan (tahapan). Sedangkan hukuman dalam
pendidikan Islam dilakukan dengan penuh pertimbangan, sesuai dengan
syarat-syaratnya dan hukuman dilakukan dengan melawati beberapa tahapan hingga
sampai pada tahap terakhir yaitu hukuman pukulan.
4)
Hukuman dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak adalah perilaku kekerasan yang memberi
rasa sakit dan dilakukan dengan penuh emosi, sedangkan hukuman dalam pendidikan
Islam melalui tahapan-tahapan yang dilakukan dengan lemah lembut dan penuh
kasih sayang serta mengandung nilai-nilai edukatif yang membangun kesadaran
atau perubahan perilaku anak ke arah yang lebih baik.
5)
Hukuman dalam Undang-Undang
Perlindungan Anak berakhir dengan kecacatan fisik dan
psikis anak, sedangkan hukuman dalam pendidikan Islam berakhir dengan perubahan
perilaku dan kedisiplinan anak ke arah yang lebih benar tanpa melukai anak
secara fisiknya ataupun psikisnya.
Untuk
lebih konkritnya, penulis paparkan dalam bentuk tabel berikut ini:
No
|
Aspek
|
UU
Perlindungan Anak
|
Pendidikan
Islam
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
|
Hakikat
Tujuan
Pelakunya
Lokasi
Prosesnya
Efeknya
|
Hukuman yang
tidak manusiawi merupakan suatu tindakan penganiayaan, penyiksaan dan kekerasan.
Untuk kepentingan pribadi
sipelaku.
Siapa saja.
Dimana saja.
Diskriminasi, eksploitasi,
perdagangan, penganiayaan, pemerkosaan, penelantaran, kekejaman, kekerasan
dan ketidakadilan.
Kecacatan fisik dan psikis.
|
Hukuman adalah
suatu usaha mengingatkan,
mengarahkan dan mendisiplinkan sikap anak ke arah yang lebih baik.
Tujuannya untuk kepentingan anak didik agar
ia terdidik dengan baik sehingga ke depan anak memiliki akhlak yang mulia.
Orang tua/wali, guru, dan
masyarakat.
Di rumah, lembaga pendidikan dan
lingkungan hidupnya.
Menasehati, mengarahkan, menegur,
mengingatkan, melarang, mengabaikan, menskor, memukul tanpa emosi.
Adanya pemahaman anak antara yang
benar dan yang salah serta adanya perubahan perilaku anak ke arah yang lebih
baik.
|
Dari
tabel di atas, dapat kita pahami bahwa pada hakikatnya hukuman yang tidak
manusiawi sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Perlindungan Anak,
bukanlah secara serta merta dapat disamakan dengan hukuman yang diterapkan
dalam lembaga pendidikan, hukuman bukanlah penganiayaan, penyiksaan dan
kekerasan, akan tetapi hukuman dalam pendidikan merupakan metode, strategi, dan
alat pendidikan sebagai salah satu metode untuk membimbing dan mengayomi anak
agar dapat berperilaku baik atau berakhlak mulia sesuai dengan norma-norma
agama dan bangsa.
2. Persamaan
Pemberian Hukuman dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Pendidikan Islam
Pemberian
hukuman merupakan suatu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam proses belajar
mengajar, hal ini dikarenakan pemberian hukuman terhadap anak adalah suatu
penegasan sikap dan perilaku salah anak yang harus segera diatasi dan ditangani
agar anak nantinya terbiasa dengan sikap dan perilaku positif dan menghindari
perilaku-perilaku negatif yang dapat merugikan anak itu sendiri dan juga dapat
merugikan orang lain.
Metode
pendidikan teladan yang diterapkan oleh setiap pendidik, mengharapkan agar seorang
pendidik mampu memberikan dan menunjukkan sikap atau perilaku yang baik
terhadap anak-anak didiknya. Guru dalam mendidik juga diharapkan agar mampu
menanamkan nilai-nilai edukatif sebagaimana yang terkandung dalam Al-Qur’ān
pada diri anak-anak didiknya, yaitu nilai-nilai kasih sayang,[11]
saling menolong,[12] saling
menghormati, pemaaf, jujur, saling menghargai, tidak mengambil hak orang lain,
tidak menfitnah atau menghina,[13]
tidak berbohong, tidak menyakiti atau bahkan membunuh orang lain.
Dengan demikian,
jika hal-hal sebagaimana yang telah penulis sebutkan di atas telah mampu
ditanamkan dan diterapkan terhadap anak-anak didik, maka guru harus memberikan
apresiasi atau imbalan terhadap anak didiknya. Akan tetapi, jika setelah guru
memberikan contoh teladan dan memberi pemahaman kepada anak didik, namun anak
didik tersebut masih belum berubah ke arah yang lebih baik bahkan terkadang
dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik, maka guru harus
dengan segera memberikan hukuman berupa nasehat, teguran, peringatan, pengarahan, larangan,
pengabaian, penskoran, dan memukul tanpa emosi.
Setiap anak memiliki karakter yang
berbeda. Oleh karena itu, dalam menghadapi berbagai karakter anak, pendidik
diharapkan agar jeli dan mampu menyesuaikan setiap metode pendidikan dengan
perbedaan karakter anak tersebut. Harus penulis akui, bahwa tidak semua anak
bisa ingatkan dengan teguran, nasehat, pengabaian dan ancaman saja, tidak
sedikit kita jumpai karakter anak yang hanya mampu diberi teguraan dengan
berupa hukuman fisik, sehingga anak benar-benar jera dan berhenti melakukan
tindakannya yang tidak baik misalnya seperti mencuri,[14]
megancam/meganggu kawan-kawannya, mengadu domba, dan suka berbohong.
Salah satu bentuk hukumannya adalah
hukuman pukulan, akan tetapi hukuman ini harus dilaksanakan pada waktu dan
tempat yang tepat dan disertai alat yang tepat pula.[15]
Hal ini sangat penting diperhatikan oleh setiap pendidik yang akan menjatuhkan
hukuman terhadap anak didiknya demi tercapainya keberhasilan sebagaimana yang
diharapkan, akan tetapi jika hal ini disepelekan, maka hukuman pukulan malah
sebaliknya akan menjadikan anak lebih keras, lebih berani melawan dan akan
makin buruk sikap atau perilakunya.
Hukuman fisik dalam proses pendidikan
juga memiliki dampak yang positif bagi individu anak, bagi masyarakat baik itu
dimasa sekarang maupun di masa yang akan datang. Adapun dampak-dampak tersebut
adalah:
a) Membentuk
anak dan remaja yang menaruh sikap hormat terhadap peraturan, keputusan, perintah
dan larangan.
b) Membuang
sikap ceroboh dalam mengerjakan atau meninggalkan sesuatu yang menjadi
kewajibannya.
c) Menanamkan
kebiasaan kembali kepada yang haq (kebenaran), meninggalkan kesalahan.
d) Membiasakan
anak bersikap sabar, bertanggung jawab, mandiri dan berhati-hati dalam
melakukan segala sesuatu.[16]
Pada kasus-kasus
tertentu, tidak dipungkiri bahwa ada anak yang keseluruhan tahapan-tahapan metode
pemberian hukuman telah diterapkan kepadanya, namun tidak berhasil untuk
merubah perilaku tidak baiknya sehingga terpaksa diambil tahapan pemberian
hukuman dengan cara hukuman fisik. Meskipun hukuman fisik adalah hukuman yang
disetujui diterapkan terhadap anak didik, akan tetapi menurut penulis hukuman
fisik adalah tetap menjadi cara atau jalan terakhir dalam proses belajar
mengajar.
Ada beberapa hal
atau sebab yang mendorong diperbolahkannya hukuman fisik, yaitu:
-
Bila metode motivasi dan dorongan
sudah diupayakan namun tidak membuahkan hasil.
-
Bila metode peringatan dan
pemberian nasehat sudah dilakukan, namun tidak membuahakan hasil.
-
Bila metode penolakan dan
pengabaian sudah dijalankan, tetapi tidak juga membuahkan hasil.
-
Bila metode ancaman sudah
diterapkan, tapi tidak juga berhasil.
-
Terakhir, benar-benar
diperkirakan ada dampak positifnya di balik sanksi pukulan.[17]
Pemberian
hukuman fisik (pukulan) terhadap anak, jika dilakukan secara berlebihan atau
menyalahi kode etik yang sebenarnya sebagai suatu sarana pendidikan, maka
pemberian hukuman fisik tidak akan menjadi metode yang baik dalam meluruskan
kesalahan anak, malah sebaliknya pemberian hukuman pukulan akan berbalik
menjadi sarana perusak bila tidak tepat malah akan berkepanjangan menjadi
tindak penyiksaan yang berakhir dengan cacat pada fisik anak dan trauma secara
psikisnya.
Jika pemberian
hukuman fisik pada anak sudah berdampak negatif terhadap fisik, psikis dan akan
menghambat perkembangan serta kemauan belajarnya, maka hal tersebut jelas sudah
bertentangan dengan tujuan pendidikan dan sudah tidak sesuai konsepnya dengan
pemberian hukuman yang terkadung dalam pendidikan Islam. Hukuman yang melampaui
batas adalah hukuman yang tidak sesuai dengan tingkat kesalahan anak sehingga
tidak sesuai lagi dengan etika, syarat dan tahapan-tahapan serta tidak
mengandung nilai-nilai edukatif di dalam pemberian hukuman sebagaimana yang
telah penulis paparkan pada bab sebelumnya.
Hukuman pukulan
(fisik) yang melampaui batas dan sudah tidak sesuai dengan norma-norma
pendidikan, maka hukuman tersebut akan berubah fungsi menjadi tindakan
kekerasan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor
23 Tahun 2002, pasal 16 yang menyatakan bahwa agar anak dilindungi dan
dihindari dari segala macam bentuk penganiayaan,[18]
penyiksaan dan pemberian hukuman yang tidak manusiawi.[19]
Suatu data
menyebutkan sepanjang kwartal pertama 2007 terdapat 226 kasus kekerasan
terhadap anak di sekolah. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kwartal yang
sama tahun lalu yang berjumlah 196. Ketua Umum Komisi Nasional (Komnas)
Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan selama Januari-April 2007 terdapat
417 kasus kekerasan terhadap anak. Rinciannya, kekerasan fisik 89 kasus,
kekerasan seksual 118 kasus, dan kekerasan psikis 210 kasus. Dari jumlah itu
226 kasus terjadi di sekolah.
Dalam proses
pendidikan, guru memang memiliki hak untuk memberikan hukuman terhadap anak
yang melakukan kesalahan, akan tetapi guru diharapkan agar mampu mempergunakan
hak tersebut hanya untuk kebaikan dan perbaikan anak didiknya tanpa
meninggalkan cacat fisik, rasa trauma atau ketakutan, hilangnya kemauan belajar
dan menjadi rendahnya kecerdasan serta rasa percaya diri pada anak. Jika hal
itu terjadi, maka keberadaan pendidik akan menjadi berbeda di mata anak
didiknya, dalam bahasa sederhananya para pendidik akan ditakuti oleh anak
didiknya, mahasiswa akan takut kepada dosennya, dan guru akan ditakuti oleh
murid atau siswa-siswinya.
Secara umum, hukuman
pukulan yang tidak manusiawi adalah tindakan kekerasan yang dapat diartikan
sebagai suatu tindakan tidak menyenangkan atau merugikan orang lain, baik secara
fisik maupun psikis. Kekerasan disini tidak hanya berbentuk eksploitasi fisik
semata, tetapi juga kekerasan psikis yang akan menimbulkan efek traumatis yang
cukup lama bagi si korban. Kekerasan dalam pendidikan sering dikenal dengan
istilah bullying, pada kenyataannya, praktik bullying ini dapat
dilakukan oleh siapa saja, baik oleh teman sekelas, kakak kelas ke adik kelas,
maupun bahkan seorang guru terhadap muridnya. Terlepas dari alasan apa yang
melatarbelakangi tindakan tersebut dilakukan, tetap saja praktik bullying
tidak bisa dibenarkan, terlebih lagi apabila terjadi di lingkungan sekolah.
Tindakan
kekerasan atau bullying dapat dibedakan menjadi kekerasan fisik dan
psikis. Kekerasan fisik dapat diidentifikasi berupa tindakan pemukulan
(menggunakan tangan atau alat), penamparan, membogem dan tendangan. Dampaknya,
tindakan tersebut dapat menimbulkan bekas luka atau memar pada tubuh, bahkan
dalam kasus tertentu dapat mengakibatkan kecacatan permanen yang harus
ditanggung seumur hidup oleh si korban. Adapun kekerasan psikis antara lain
berupa tindakan mengejek atau menghina, mengintimidasi, menunjukkan sikap atau
ekspresi tidak senang, dan tindakan atau ucapan yang melukai perasaan orang
lain.
Dampak kekerasan
secara psikis dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman, takut, tegang, bahkan
dapat menimbulkan efek traumatis yang cukup lama. Selain itu, karena tidak
tampak secara fisik, penanggulangannya menjadi cukup sulit karena biasanya si korban
enggan mengungkapkan atau menceritakannya. Dampak lain yang timbul dari efek bullying
ini adalah menjadi pendiam atau penyendiri, minder dan canggung dalam bergaul,
tidak mau sekolah, stres atau tegang, sehingga tidak konsentrasi dalam belajar,
dan dalam beberapa kasus yang lebih parah dapat mengakibatkan bunuh diri.
Dengan demikian,
jika pemberian hukuman telah berdampak negatif terhadap perkembangan anak didik
sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas, maka menurut analisis penulis,
pemberian hukuman terhadap anak merupakan sebuah perilaku yang sama halnya dengan
tindakan penganiayaan, penyiksaan, dan tindakan kekerasan sebagaimana yang
disebutkan di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, meskipun tindakan itu
dilakukan oleh guru di sekolah, pendidik di lembaga-lembaga pendidikan lainnya
maupun orang tua terhadap anaknya di dalam keluarga.
[1]John M.
Echols dan Hasan Sadily, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 456.
[2]A.W. Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,
1997), h. 952.
[3]M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung:
Remaja Rosdakarya,
2007), h. 186.
[6]Departemen
Sosial Republik Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak, h.19.
[7]Abdullah Nasih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, terj. Jamaludin Miri, (Jakarta:
1994), h. 325-327.
[8]Imam Nawawi, Kasyifatu as-Saja (Syarah Safinatu
An-Naja), (Semarang: 1985), h. 17.
[9]Jamaal ‘Abdur Rahman, Tahapan Mendidik Anak Teladan
Rasulullah Saw, terj. Bahrun Abu bakar Ihsan Zubaidi, (Bandung: 2005), h.
303-305.
[10]Abla Bassat Gomma, Mendidik
Mentalitas Anak Panduan Bagi Orang Tua Untuk Menumbuhkan Mentalitas Luar Biasa
pada Anak-Anak, terj.
Mohd. Zaky Abdillah, (Solo: 2006), h.48.
[11]“Muhammad itu adalah utusan Allah
dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka,... Lihat Q.S Al-fath, ayat 29.
[12]“... Dan tolong-menolonglah kamu
dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya.” Lihat Q.S Al-Maidah, ayat 2.
[13]“Hai orang-orang yang beriman
janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula
wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi
wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang
mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu
panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah
(panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa yang tidak bertobat, maka
mereka itulah orang-orang yang dzalim.” Lihat Q.S Al-Hujurat, ayat 11.
[14]Mencuri adalah perilaku anak yang
suka mengambil milik orang lain dengan sengaja dan tanpa sepengetahuan
pemiliknya. Bisa jadi, kebiasaan mencuri pada anak-anak disebabkan oleh
peniruan-peniruan mereka terhadap tingkah laku orang dewasa di sekeliling
mereka. Lihat Jaudah Muhammad Awwad, Mendidik anak Secara Islam, terj.
Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani, 2004), h.77.
[15]‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu
Pemukulan Dalam Pendidikan Anak, terj. Abdul Aziz, (Bogor: Pustaka Ulil
Albab, 2006), h. 13.
[16]‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu
Pemukulan..., h. 15-16.
[17]‘Abdul Lathif al-Ajlan, Rambu-Rambu
Pemukulan..., h. 26.
[18]Lebih keras dari hukuman, adalah
kasus penganiayaan guru terhadap murid. Di Bantul, seorang guru memukul
muridny. Akibatnya, warga setempet berunjuk rasa. Di semarang, teman seorang
pelajar dipukul oleh gurunya karena dianggap mengotori lantai sekolah.
Pemukulan terjadi setelah peringatan guru tersebut tidak digubris oleh korban.
Lihat Abd Rahman Assegaf, Pendidikan Tanpa Kekerasan (Tipologi Kondisi,
Kasus dan Konsep), (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), h. 67-68.
[19]Contoh hukuman yang berlebihan
adalah kasus yang terjadi di Klaten pada 23 Juli 2002. Pada minggu pertama
tahun ajaran baru 2002/2003, seorang guru olah raga salah satu SLTP menghukum
murid kelas III B dengan push up sebanyak 100 kali dan rolling depan
sepanjang lapangan. Hukuman ini diberikan karena guru tersebut menilai para
muridnya tidak memperhatikan latihan baris berbaris. Akibat dari hukuman
tersebut, 15 murid pingsan, 3 diantaranya di rawat di rumah sakit, sedangkan
yang lainnya mengalami lecet dan terkilir. Lihat Abd Rahman Assegaf, Pendidikan
Tanpa Kekerasan (Tipologi Kondisi, Kasus dan Konsep), (Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 2004), h. 67.
0 Comments
Post a Comment