Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Tarekat Naqsyabandiyah


B.    Tarekat Naqsyabandiyah
Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berkembang pesat di Indonesia termasuk di Sumatera Utara. Tarekat naqsyabandiyah merupakan tarekat yang jumlah pengikutnya terbesar dan paling luas jangkauan penyebarannya, berbeda dengan tarekat lain tarekat naqsyabandiyah tidak hanya menyeru kepada lapisan social tertentu saja. Para pengikutnyaa berasal dari wilayah perkotaan sampai ke pendesaan, di kota-kota kecil serta juga di kota-kota besar dan dari semua kelompok profesi.[1]
1.     Pengertian Tarekat
Asal kata tarekat dalam bahasa Arab adalah thariqah yang berarti jalan keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu. Tarekat adalah jalan yang ditempuh para sufi dan dapat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syariat, sebab jalan utama disebut syar, sedangkan anak jalan disebut thariq. Kata turunan ini menunjukkan bahwa menurut anggapan para sufi, pendidikan mistik merupakan cabang dari jalan utama yang terdiri dari hukum Ilahi, tempat berpijak bagi setiap muslim. Tidak mungkin ada anak jalan tanpa ada jalan utama tempat berpangkal. Pengalaman mistik tak mungkin didapat bila perintah syariat yang mengikat itu tidak ditaati terlebih dahulu dengan seksama.[2]
Dalam perkembangan selanjutnya, kata thariqah menarik perhatian kaum sufi dan mereka menjadikannya sebagai istilah khusus yang mempunyai arti tertentu. Harun Nasution berpendapat bahwa, tarekat berasal dari kata thariqah, yaitu jalan yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi dala tujuannya berada sedekat mungkin dengan Allah. Thariqah kemudian mengandung arti sebagai organisasi (tarekat). Tiap thariqah mempunyai Syekh, upacara ritual, dan bentuk zikir sendiri[3]
Sejalan dengan ini, Martin Van Bruinessen menyatakan istilah tarekat paling tidak dipakai untuk dua hal yang secara konseptual berbeda. Maknanya yang asli merupakan paduan yang khas dari dokrin, metode, dan ritual. Akan tetapi, istilah ini pun sering dipakai untuk mengacu kepada organisasi yang manyatukan pengikut-pengikut jalan tertentu. Di timur tengah istilah thariqah terkadang lebih disukai untuk organisasi, sehingga lebih mudah untuk membedakan antara yang satu dengan yang lain. Akan tetapi, di Indonesia kata tarekat mengacu kepada keduanya.[4]
2.     Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Ilmu tasawuf yang didalamnya membicarakan bahwa istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang Syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang Syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada di dalam agama Islam,seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[5] Di dalam tarekat yang sudah melembaga, tarekat mencakup semua aspek ajaran Islam seperti shalat, zakat, puasa, jihad, haji dan lain-lain, ditambah pengalaman serta seorang Syekh. Akan tetapi semua itu terikat dengan tuntunan dan bimbingan seorang Syekh melalui bai’at.[6]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan di bawah bimbingan seorang guru atau Syekh. Ajaran-ajaran tasawuf yang harus ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah merupakan hakikat tarekat yang sebenarnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahannya mendekatkan diri kepada Allah.
3.     Sejarah Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yakni, Muhammad bin Muhammad Baha’al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M), dilahirkan di sebuah desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. al-Bukhari Nasyabandi berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Al- Bukhari mendapat gelar Syah yang menunjukkan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah al-bukhari lahir segera dibawa oleh Ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Al- Bukhari  belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun.
Kemudian al-Bukhari belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari. Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah al-Bukhari pertama belajar tarekat yang didirikannya. Selain itu Naqsyabandi pernah juga belajar pada seorang arif bernama al-Dikkirani selama sekitar satu tahun. Al- Bukhari pun pernah bekerja untuk Khalil penguasa Samarkand, kira-kira selama dua belas tahun. Ketika sang penguasa digulingkan pada tahun 748/1347 M, al- Bukhari pergi ke Ziwartun. Disana al-Bukhari mengembalakan binatang ternak selama tujuh tahun, dan tujuan tahun berikutnya dalam pekerjaan perbaikan jalan. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari pendidikan dan pembinaan mistisnya untuk memperdalam sumber-sumber rasa kasih sayang dan cinta kepada sesama manusia serta membangkitkan perasaan pengabdian dalam memasuki lingkungan mistis.[7]
Sebagaimana tersebut dibawah ini:
“Tatkala Syekh Muhammad al-Samasi meninggal dunia, aku dibawa nenekku ke Samarkand, disitu aku dipertemukannya dengan seorang alim lagi sholeh, meminta restu semoga aku didoakannya. Keberkatannya Alhamdulillah sudah kuperoleh. Kemudian aku dibawanya ke Bukhara dan mengawinkanku dengan seorang wanita. Namun aku tetap bermukim di Qashrul’Arifah. Aku mendapat khabar bahwa Syekh Muhammad Baba al-Samasi telah memesankan kepada Sayyid Kulal supaya mengajari dan mendidikku dengan baik. Sayyid Kulal berjanji akan memenuhi amanah itu dengan menegaskan jika pesan itu tidak dilaksanakan maka ia bukanlah seorang laki-laki. Dan ternyata janjinya itu dipenuhi.[8]

Pendidikan Baha’al Din Naqsyabandi dari kedua guru utamanya yakni Baba al-Samasi dan Amir Kulal, membuat al bukhari mendapatkan mandate yang cukup sebagai pewaris tradisi Khawajagan. Khawajagan mempopulerkan tarekatnya di Asia Tengah dan banyak menarik orang dari berbagai lapisan masyarakat yang berbeda. Walaupun al- bukhari mempunyai jalinan dan hubungan dengan kalangan penguasa dan bangsawan, namun  al-bukhari membatasi dirinya dalam pergaulannya dengan mereka. Sekalipun demikian ia tetap sangat dihormati oleh para penguasa. Di kampong halamanya memiliki sepetak tanah, yang dikelola dengan bantuan orang, tetapi tidak pernah terlibat sendiri dalam pengelolaanya. Al-bukhari hidup sederhana dan jika ditanya mengapa ia tidak memiliki seorang hamba laki-laki atau perempuan, ia menjawab, rasa memiliki tidak mungkin bersatu dengan kewalian.
Selain itu ia pun sangat memerhatikan latihan moral dan spiritual murid-muridnya dan tidak suka jika mereka memiliki niat yang jelek atau hubungan yang buruk dengan orang lain. Sekali waktu ia meminta pertanyaan maaf dari seseorang atas nama muridnya karena menggosokkan wajahdinding rumahnya. Berkaitan dengan jalan mistis yang ditempuhnya Baha al-Din mengatakan bahwa ia berpengang teguh pada jalan yang ditempuh Nabi dan para sahabatnya. Ia mengatakan bahwav sangatlah mudah mencapai puncak pengetahuan tertinggi tentang monoteisme (tauhid), tetapi sangat sulit mencapi makrifat yang menunjukkan perbedaan halus antara pengetahuan dan pengalaman spiritual.[9]
a.      Silsilah Tarekat Naqsyabandiyah
Di dalam mempelajari sebuah tarekat, para pengikut tarekat mengaku bahwa dasar-dasar pemikiran dan pengamalan sebuah tarekat berasal dari pada Nabi sendiri, para pengikut sebuah Tarekat memandang penting urutan-urutan nama para guru yang telah mengajarkan dasar-dasar Tarekat secara turun-temurun. Garis keguruan itu biasa disebut sebagai silsilah. Setiap guru dalam sebuah tarekat dengan hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, sampai kepada Nabi. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi seorang guru, menunjukkan kecabang tarekat mana ia termasuk dan bagaimana hubungannya dengan guru-guru lainnya. Silsilah tarekat naqsyabandiyah bersambung dari Rasulullah kepada Sayyidina Salman al-Farisi r.a dan seterusnya sampai kepada ahli silsilah terakhir.
Dalam ilmu tasawuf disebutkan bahwa fiqh, tajwid, dan hadis, seorang murid harus memiliki master atau Syekh dari siapa mengambil pengetahuan, orang yang dirinya telah diambil dari master, dan dalam rantai master terus kembali kepada Nabi Saw, adalah sumber segala pengetahuan Islam. Dalam tradisi Sufi, ini berarti tidak hanya bahwa Syekh ini telah bertemu dan mengambil tarekat dari master, tetapi bahwa guru selama hidupnya telah secara eksplisit dan diverifikasi diinvestasikan murid baik secara tertulis atau di depan sejumlah saksi-untuk mengajarkan jalan spiritual sebagai master berwenang untuk generasi murid penerus.
Syekh Muhammad Amin al-Kurdi, beliau berasal dari Arbile, sebuah kerajaan di Irak, dalam kitabnya Tanwirul Qulub, menyatakan silsilah tarekat Naqsyabandiyah yang dianutnya, sampai kepada Rasulullah Saw  tersebut secara silsilah adalah sebagai tersebut :
Muhammad
Abu Bakar al-Shiddiq
Salman al-Farisi
Qasim Ibn Muhammad Bakar al-Shiddiq
Ja’far al-Shadiq (w. 148/765)
Abu Yazid Thaifur al-Bisthami (w. 260/874)
Abul-Hasan al-Kharaqani (w. 425/1034)
Abu’Ali al-Farmadzi (w. 477/1084)
Abu Ya’qub Yusuf al-Hamadani (w. 535/1140)
‘Abd al-Khaliq al-Ghujdawani (w. 617/1220)
A’rif al-Riwgari (w. 657/1259)
Mahmud Anjir Faghnawi (w. 643/1245 atau 670/1272)
‘Azizan’Ali al-Ramitani (w. 705/1306 atau 721/1321)
Muhammad Baba al-Sammasi (w. 740/1340 atau 755/1354)
Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371)
Muhammad Baha’al-Din Naqsyabandi (717-791/1318-1389)[10]

Silsilah adalah nisbah (hubungan) guru-guru tarekat sambung menyambung dari bawah ke atas yang perlu diketahui oleh para pengikut tarekat. Silsilah atau sanad juga merupakan hubungan keturunan ilmu tarekat dari satu guru ke guru tarekat yang lain seperti contohnya, sanad zikir thoriqah yang pertama kali diajarkan adalah Allahu…Allahu, yang pertama kali diajarkan oleh Ali bin Abi Thalib sesuai diterima dari Rasulullah Saw. kemudian Hasan al-Basri mengajarkannya kepada Habib al-Ajami, kemudian Habib al-Ajami mengajarkan kepada Dawud, dan Dawud mengajarkan kepada Ma’ruf, inilah yang dikatakan dengan silsilah. Silsilah dalam sebuah tarekat adalah geneologi otorita spiritual. Silsilah menjelaskan jalur penerimaan tarekat oleh seseorang dengan demikian, silsilah berfungsi sebagai identitas keotentikan sekaligus sebagai sumber otoritas seseorang dalam tarekat.[11]
a.      Fungsi silsilah dalam tarekat naqsyabandiyah
fungsi silsilah dalam sebuah tarekat yaitu untuk mengetahui silsilah guru-gurunya, supaya tidak terlepas dari ajaran yang sudah diterapkan dalam sebuah tarekat. Karena fungsi utama dari sebuah silsilah itu yaitu untuk menjaga validitas dan otentisitas ajaran tarekat agar tetap merujuk pada sumbernya yang pertama yaitu Rasulullah Saw.
Silsilah tarekat berisi rangkain nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain.biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang di serahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk dan peringatan serta sesudah membuat janji untuk tidak melakukan maksiat sekaligus merima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain.
Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan peran “wasilah” yaitu medeasi (perantara), melalui seorang pemimping spiritual atau mursyid sebagai sesuatu yang sangat di perlukan demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan yang mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pemimbing spiritual dan para pendahulu sang pemimbing, termasuk yang paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat di andalkan yang dapat menjadi wasilah yang dapat mengantarkan kepada Tuhan.[12]
4.     Perkembangan dan Penyebaran Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia
Dalam perkembangan dan penyebarannya di Nusantara, tarekat naqsyabandiyah mengalami pasang surut. Hal ini disebabkan oleh beberapa factor antara lain; gerakan pembaharuan, dan politik. Penaklukan Makkah oleh ‘Abd al-‘Azizi bin Sa’ud pada tahun 1924, berakibat besar terhambatnya perkembangan tarekat naqsyabandiyah. Karena sejak saat itu kepemimpinan di Makkah diperintahkan oleh kaum Wahabi yang mempunyai pandangan buruk terhadap tarekat. Sejak itu tertutuplah kemungkinan untuk mengajarkan tarekat di Makkah bagi para jamaah haji khususnya dari Indonesia yang dari setiap generasi banyak dari mereka yang masuk tarekat.
Syekh Yusuf Makassari (1626-1699) merupakan orang pertama yang memperkenalkan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara. Seperti disebutkan dalam bukunya, Safinah al-Najah, ia menerima ijazah dari syekh Muhammad ‘Abd al-Baqi di Yaman kemudian mempelajari tarekat kettika berada di Madinah di bawah bimbingan syekh Ibrahim al-Karani. Syekh Yusuf berasal dari kerajaan Islam Gowa, sebuah kerajaan kecil di Sulawesi Selatan, dan ia mempunyai pertalian darah dengan keluarga kerjaan di daerah itu.[13]
Tarekat naqsyabandiyah yang menyebar di Nusantara berasal dari pusatnya di Makkah, yang dibawa oleh para pelajar Indonesia yang belajar disana dan oleh para jamaah haji Indonesia. Mereka ini kemudian memperluas dan menyebarkan tarekat ini ke seluruh pelosok Nusantara. Penyebaran dan perkembangan tarekat naqsyabandiyah di Nusantara telah hadir sejak dua setengah abad yang lalu. Pada masa itu tarekat ini telah mengalami perkembangan yang tiada terputus baik secara geografis maupun dalam jumlah pengikutnya.
5.       Masuknya Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh
Tarekat Naqsyabandiyah merupakan tarekat yang paling berpengaruh di seluruh Aceh, pengaruhnya paling besar terutama ada di Aceh Barat dan Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan seorang syekh dan politisi yang kharismatik, Muda Wali (Haji Muhammad Wali al-Khalidy) lebih dikenal dengan sebutan Muda Wali, ialah orang pertama kali yang memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh. masyarakat Aceh lebih mengenal tarekat ini dengan sebutan tarekat naqsyabandiyah khalidiyah karena dinisbatkan kepada nama belakang Muda Wali.
Haji Muhammad Waly al-Khalidy dilahirkan di desa Blangporoh, kecamatan Labuhan Haji, Kabupaten Aceh Selatan, pada tahun 1917.[14] Muda Wali berasal dari pesisir Barat Aceh, yang sebagian penduduknya telah mengalami proses pembaharuan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tetapi belum diterima sebagai orang Aceh sejati tapi lebih dianggap sebagai tamu atau pendatang dan sebagai keturunan Minangkabau oleh tetangga mereka di Utara. Namun, mereka pun dibedakan dari perantau Minang yang belum berapa lama tinggal disana.
 Dia belajar di Minangkabau kepada gurunya Jamil Jahu pendiri PERTI dan menikahi putri gurunya Rabi’ah dan belajar pula di Kampar kepada syekh Abdul Ghani dari Batu Basurat. Beliau mengajarkan tata laksana Tarekat naqsyabandiyah  serta mengangkat Muda Wali sebagai khalifah utama. Setelah Muda Wali sudah merasa cukup matang belajar di Padang ia kembali ke kampung halaman Aceh tepatnya di Aceh Selatan pada awal 1940. Kemudian ia mendirikan sebuah dayah yang bernama Darussalam di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka ia menjadi penggerak PERTI di Aceh, terutama berkat upaya istrinya Rabi’ah seorang perempuan yang sangat cerdas dan terbuka serta mempunyai naruli politik yang tajam bersama-sama dengan sekutunya Nyak Diwan Tgk.
Usman Paoh, Cut Zakaria, Tgk. Bahrunsyah, mereka melakukan kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Aceh dan belakangan di Aceh Besar. Salah satu tujuan utamanya adalah menangkap pengaruh Muhammadiyah yang sudah tumbuh. Dalam perjuangan ini, Muda Wali telah mendapatkan semua pertolongan dari semua muslihat yang tercantum dalam kitab Kiai. Perkawinan-perkawinannya semuanya betul-betul strategis. Istri keduanya ialah keponakan dari sahabatnya, Usman Paoh yang ketiga adalah Rabi’ah.
Salah satu kecaman di Aceh Selatan dimana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng. Di sini tinggal Nur Hayt, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka, Muda Wali mengawinkan istri keempat disini, demi memperoleh pijakan. Strategi itu berjalan lancar dan Muda wali ingin mengulanginya di Tenong, kubu pertahanan Muhammadiyah yang lain. Supaya tetap sah, dan muda wali harus menceraikan seorang istrinya yang terdahulu, maka muda  wali meninggalkan Rabi’ah sebagai gantinya dan muda wali pun mengambil seorang gadis dari Tenong.
Upaya Muda Wali menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas politiknya.muda wali  mengangkat beberapa politisi PERTI yang lebih muda, seperti Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan dan Tgk. Jailani sebagai Khalifahnya. Khalifah yang lainya termasuk putra mursyid-nya sendiri, Aydarus Ghani di Kampar, dan dua orang lagi Qamaruddin dan Abdul Hamid, dan Tgk. Usman fauzi di Lung Ie dekat Banda Aceh. Namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungya, Muhibbuddin Wali, yang diberi ijazah khalifah oleh gurunya sendiri Syaikh Ghani di Kampar.
Langkah-langkah yang digunakan oleh para Mursyid dalam menyebarluaskan Naqsyabandiyah ialah dengan halaqah diberbagai tempat balai pengajian diseluruh Aceh sesuai dengan tempat tinggal Mursyid itu sendiri. Pada tahap awal masyarakat diajarkan ilmu tauhid dan fiqih secara mendalam, kemudian baru dikenalkan dengan ilmu tasawuf dan ketika masyarakat sudah haus untuk mendekatkan diri kepada Allah, saat itulah Naqsyabandiyah diselipkan sebagai sarana mereka menuju jalan makrifatullah
Tantangan terbesar dalam menyebarluaskan Tarekat Naqsyabandiyah di Aceh, diperdapat oleh Tgk. Usman Fauzi di kawasan Aceh Besar dan sekitarnya yaitu mendapat kecaman dari kalangan terpelajar di Kopelma Darusalam, mereka merasa asing dengan hadirnya Tarekat Naqsyabandiyah yang  mengenalkan metode zikir dan sangat mengutamakan Rabitah Mursyid hal ini menyebabkan naqsyabandiyah dianggap salah satu aliran sesat dan Dayah Lueng Ie di ancam akan di bakar oleh masyarakat. Oleh karena ituhasil musyawarah Usman Fauzi dengan Muhibuddin Wali mereka meminta bantuan dari Partai PPP. Namun karena ketidakmampuan partai PPP menolak memberikan perlindungan terhadap dayah tersebut, usaha Usman untuk menyelamatkan Naqsyabandi tidak berhenti disitu ia meminta bantuan kepada partai Golkar dan dikabulkan, dengan syarat Usman memberikan dukungan penuh terhadap Golkar.
Sejak wafat Muda Wali 1961, putranya Muhibbuddin, secara formal menjadi yang paling dihormati diantara para khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, Usman Fauzi menjadi Mursyid terkemuka di Aceh demi kepentingan praktis. Sudah barang tentu ia juga merupakan tokoh PERTI terkemuka di Aceh (dan anggota DPRD). Tgk. Usman juga bergabung dengan PPTI-nya Haji Jalaluddin Pada tahun 1971 (ketika organisasi ini telah menjadi naungan partai Golkar), dan menjadi ketua untuk wilayah Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk Usman menjadi seorang pendukung PPP yang kemudian beralih ke Golkar dan siap menghadapi pemilu 1982.[15]
Muhibuddin bersama dengan Usman Fauzi berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat. Banyak orangtua menarik pulang anak-anak mereka dari dayahnya dan mengirim ketempat yang lain seperti Lam Ateuk dan Samalanga. Tetapi murid-murid pengikut setia Naqsyabandiayah tetap tinggal bersama Usman. Kedua tokoh besar ini memberikan dukungan penuh kepada Golkar bukannya kepada PPP sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Di dayah Usman Fauzi melaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan, satu untuk laki-laki dan satu untuk perempuan, keduanya antara shalat isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah yang datang bersuluk selama 20 hari jauh lebih banyak, semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan didominasi oleh kaum hawa. Kebanyakan mereka datang dari golongan petani-petani kecil dan segaian kecil dari kalangan elit
Di pesisir utara Aceh, suluk sesungguhnya tidak pernah menjadi populer, seperti layaknya di pesisir Barat, khususnya di bagian paling selatan (Aceh Selatan dan Tenggara). Suluk merupakan aspek yang tidak terpisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa di pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, biasanya begitu selesai panen ke dayah di Labuhan Haji atau dayah yang lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya untuk sehari atau beberapa hari saja.[16]
Salah satu yang menjadikan Tarekat Naqsyabandi tetap berjalan di Aceh ialah usaha keras dari Muda Wali sendiri. Salah satu usahanya tergambar dalam salah satu wasiatnya sebelum ia dipanggil oleh Allah Swt. Wasiat itu ialah seseorang yang mempelajari Islam tidak semata-mata mempelajari syari’at, fiqih, dan tauhid. Tetapi harus dibentengi oleh ilmu tasawuf. Nilai-nilai ilmu tasawuf tersebut ialah mengamalkan tarekat mu’tabarah, seperti Tarekat Naqsyabandiyah. Oleh karena itu, beliau menganjurkan bagi murid-muridnya supaya memasuki tarekat dan berkhalwat, sesuai tuntunan beliau bedasarkan ilmu akhlak dan tasawuf.



[1]Moh.Adlin, MA, dkk, Sufi Perkotataan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern (Jakarta: Perpustakaan Nasional, 2007), 3.
[2]M. Solihin dan Rosihan Anwar, Ilmu Tasawuf  (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 203.
[3]Ibid.,  204.
[4]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia…, 61.
[5]Ibid., 206.
[6]Ibid.
[7]Sri Mulyati, Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia (Jakarta: Prenada Media, 2006), 90.
[8]Ibid., 90.
[9]Ibid., 91.
[10]Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (Bandung: Perpustakaan Nasional,1992),50.
[11]Hidayat Sireger, Tarekat Naqsyabandiyah Syekh Abdul Wahab Rokan: Sejarah,Ajaran, Amalan dan Dinamika Perubahan (Miqot: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, 2011), 59-60.
[12]Ibid., 10-11.
[13]Sri Mulyati, Tarekat-tarekat Muktabarak di Indonesia…, 95-96.
[14] Muhibbuddin Wali, Ayah Kami: Maulana Syeikh Haji Muhammad Waly al-Khalidy ( teugku syekh Haji Muda Waly (malasyia: Selangor Darul Ehsan,1993), 56.
[15] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami: Maulana Syekh Haji Muhammad Waly al-Khalidy…,120.
[16] Muhibbuddin Waly, Ayah Kami: Maulana Syekh Haji Muhammad al-Khalidy…,90