Kewajiban Orang Tua Dalam Mendidik Anak
A. Kewajiban Orang Tua Dalam Mendidik Anak
Setiap ada sesuatu hal yang dirasakan janggal
pada diri anak baik di rumah ataupun di sekolah, baik orangtua ataupun guru
harus sesegera mungkin untuk menanganinya dengan cara saling menginformasikan
diantara orangtua dan guru, mungkin lebih lanjutnya mendiskusikannya supaya
bisa lebih cepat tertangani masalah yang dihadapai oleh anak dan tidak
berlarut-larut.
Usia dini merupakan periode subur bagi
perkembangan otak. Segala stimulasi akan merangsang perkembangan otaknya.
Bahkan setelah mengadakan penelitian terhadap perkembangan anak, Manrique
melihat nilai kecerdasan anak yang menerima stimulasi hingga enam tahun, terus
semakin mengalami peningkatan. Sehingga semakin memperlebar kesenjangan
kecerdasannya dibandingkan teman-teman sebayanya.[1]
Oleh karena itu, untuk dapat berkembang secara optimal otak anak perlu
mendapatkan rangsangan dari lingkungannya.
Djalaluddin dan Ramayulis dalam bukunya
Pengantar Ilmu Jiwa Agama menjelaskan bahwa:
Dan bahwa anak dilahirkan telah membawa fitrah
keagamaan dan baru berfungsi setelah mencapai tahap kematangan. Walaupun dalam
keadaan yang demikian ia telah memiliki kemampuan bawaan yang bersifat laten.
Potensi yang dibawa ini hanya memerlukan pengembangan melalui bimbingan dan pemeliharaan
yang mantap lebih-lebih pada tahun-tahun pemulaan.[2]
Disinilah peran orangtua sangat dibutuhkan,
yaitu bagaimana orang tua memotivasi dan memacu potensi anaknya agar dapat
berkembang dengan baik, karena setiap anak mempunyai potensi yang dapat berkembang
menjadi anak yang cerdas dan kreatif. Orang tua dituntut memahami perkembangan
dan cara belajar anak. Semakin optimal dan luas orang tua mengembangkan otak
anak, akan membuatnya semakin tertantang untuk belajar dan mencari pengalaman
baru. Dengan demikian sikap dan perilaku orangtua sangat menentukan perubahan
pada perilaku dan sikap anak. “Sikap positif dalam mendidik dan membesarkan
anak haruslah dimiliki oleh para orangtua. Sebaiknya orangtua berhati-hati
bersikap dan bertingkah laku didepan anak. Karena anak memiliki sifat meniru
yang sangat bagus”.[3]
Dari berbagai pengalaman para ahli maupun
litelatur telah membuktikan bahwa peran ayah dalam membentuk kepribadian anak
sangat besar artinya. Sejak Sigmud Freud mencanangkan teori Psikoanalisis untuk pertama kalinya pada abad ke-20 ini, ia
sudah menyatakan bahwa perkembangan kepribadian anak, khususnya sewaktu balita,
sangat ditentukan oleh tokoh ayah.[4]
Menurut Irawati Istadi peran orangtua dalam
proses belajar anak meliputi dua hal yaitu:
1. Melengkapi fasilitas pendidikan;
Selain perabot rumah tangga, fasilitas rumah
tangga yang harus diprioritaskan adalah fasilitas penunjang pendidikan anak.
Fasilitas-fasilitas tersebut antara lain:
a). Tempat belajar yang menyenangkan
Semakin baik dan menarik keberadaan fasilitas
pendidikan yang diberikan, anak akan merasakan bahwa kegiatan belajar adalah
kegaitan yang istimewa dan menyenagkan dalam keluarga. Selanjutnya, ini akan
semakin memacu motivasi belajarnya.
b). Media informasi
Ilmu pengetahuan tak bisa dilepaskan kaitannya
dengan media informasi. Karena dari sinilah sebagian besar ilmu pengetahuan
akan diperoleh. Maka untuk mengakrabkan anak dengan bidang pendidikan, tak bisa
tidak harus pula terlebih dahulu mengakrabkan mereka dengan media informasi
ini.
c). Perpustakaan Keluarga
Untuk menumbuhkan motivasi pendidikan kepada
anak, buku adalah sarana paling tepat. Kecintaan anak terhadap buku mutlak
harus ditumbuhkan sedini mungkin. Dan rumah adalah tempat yang paling cocok
untuk kepeluan itu, yaitu dengan menyediakan fasilitas yang berupa perpustakaan
rumah.[5]
2. Mengembangkan budaya ilmiyah dalam keluarga
Setelah fasilitas tersedia, yang diperlukan
berikutnya adalah pembentukan budaya ilmiah dalam rumah. Maksudnya, pembentukan
perilaku dan pembiasaan dari anggota keluarga yang menunjang visi pendidikan.
Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
a). Budaya Islami
Satu-satunya cara terbaik untuk memberikan
pendidikan keimanan, nilai-nilai moral, adalah dengan teladan langsung. Ajaran
tentang dzikir kalimat tayyibah, shalat, kejujuran, hingga mencintai Al-Qur’an
sangat mudah diajarkan jika orangtua langsung mempraktekkannya. Maka tanpa
harus banyak memberi nasehat dan mengingatkan, anak akan secara langsung
mencontoh.
b). Budaya Belajar
Orang tua harus menunjukkan kepada anak-anak,
bahwa mereka pun gemar belajar. Harus diluangkan waktu walaupun hanya sebentar
bagi orangtua untuk belajar ini. Gairah orang tua untuk terus belajar inilah
yang akan dicontoh anak. Sehingga, tanpa disuruh pun, anak akan senang
mencontoh untuk belajar.
c). Budaya Membaca
Membudayakan jam baca pun sangat baik untuk
dilakukan. Konsekwensinya, harus ada fasilitas buku-buku yang memadai untuk
dibaca. Jangan sampai anak menjadi bosan dan terpaksa membaca apa yang tak ia
butuhkan dan tidak ia sukai.
d). Gairah Cerita
Kegiatan bercerita memiliki manfaat yang
sangat besar, yaitu sebagai wahana memperluas cakrawala berfikir anak, sebagai
media bagi orangtua untuk mengajarkan nilai-nilai moral, mengingatkan anak
kecintaannya terhadap buku, dan memelihara rasa keingintahuan mereka.
e). Gairah Rasa Ingin Tahu.
Sebenarnya setiap bayi terlahir dengan
berbekal rasa ingin tahu yang amat besar. Selanjutnya mereka berkembang menjadi
anak-anak yang selalu serba ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan tentang segala
sesuatu yang mereka temui seakan takpernah berhenti mengalir. Fitrah ini
penting untuk dipelihara dan diarahkan. Dengan kesabaran orang tua untuk terus
menjawab pertanyaan anak, memancingnya dengan pertanyaan baru, inilah akan
mempertinggi gairah rasa ingi tahu anak.[6]
Anak adalah amanah Allah yang diberikan kepada
setiap orang tua. Anak juga merupakan buah hati, tumpuan harapan serta
kebanggaan keluarga. Anak-anak merupakan generasi mendatang yang mewarnai masa
kini dan diharapkan membawa kemajuan di masa mendatang. Dalam litelatur lain
mengatakan bahwa Anak-anak yang dilahirkan merupakan satu ujian Allah Swt. kepada
kita. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam al-Qur’an surat
Al-Anfal ayat 28 yang berbunyi :
وَاعْلَمُواْ أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ
وَأَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللّهَ عِندَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ)١ﻷﻧﻔﺎﻝ ׃ ۲۸(
Artinya: Dan Ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu
itu hanyalah sebagai cobaan dan Sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang
besar.(Qs. Al-Anfal:28).
Allah Swt. telah menjelaskan kepada kita dalam
ayat ini bahawa harta benda dan anak-anak yang kita sayangi ini merupakan satu
ujian kepada kita. Jika harta benda yang kita perolehi dengan secara yang halal
dan menggunakan ke jalan yang halal maka beroleh ganjaran yang besar daripada
Allah Swt. Dalam ayat ini juga Allah Swt. telah menyebut anak-anak juga
merupakan ujian kepada orang yang beriman. Jika anak-anak yang kita didik
mengikut acuan Islam, maka kita akan beroleh ganjaran yang besar hasil ketaatan
mereka.
Semakin dini pendidikan yang diberikan kepada
anak, akan semakin berarti bagi kematangan dan kesiapannya dalam menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang sedang dan akan dihadapinya. Tentu, pembinaan
pendidikan sejak dini yang dimaksud tidak dilakukan begitu saja atau dipaksakan
secara cepat kepada anak. Pembekalan harus disampaikan dengan penuh kasih
sayang, rasa hormat, menyenangkan, penuh kesabaran, ketekunan, serta penuh
keuletan. Selain itu harus pula disesuaikan dengan tahap-tahap perkembangan
anak sehingga segala perlakuan, cara atau pendekatan yang diterapkan tidak
membuat anak stress dan frustasi, merenggut keceriaannya atau mengekang
ekspresi dan dinamikanya.
Dalam mendidik anak
setidaknya ada dua macam tantangan, yang satu bersifat internal dan yang satu
lagi bersifat eksternal. Kedua tantangan ini sangat mempengaruhi perkembangan
anak. Sumber tantangan internal yang utama adalah orangtua itu sendiri.
Ketidakcakapan orangtua dalam mendidik anak atau ketidak harmonisan rumah
tangga. Sunatullah telah menggariskan, bahwa pengembangan kepribadian anak
haruslah berimbang antara fikriyah (pikiran), ruhiyah (ruh),
dan jasadiyahnya (jasad).[7]
Tantangan eksternal pun juga
sangat berpengaruh dan lebih luas lagi cakupannya. Tantangan pertama bersumber
dari lingkungan rumah. Informasi yang yang didapat melalui interaksi dengan
teman bermain dan kawan sebayanya sedikit banyak akan terekam. Lingkungan yang
tidak islami dapat melunturkan nilai-nilai islami yang telah ditanamkan di
rumah. Yang berikutnya adalah lingkungan sekolah. Bagaimanapun juga guru-guru
sekolah tidak mampu mengawasi anak didiknya setiap saat. Interaksi anak dengan
teman-teman sekolahnya apabila tidak dipantau dari rumah bisa berdampak
negatif. Sehingga memilihkan sekolah yang tepat untuk anak sangatlah penting
demi terjaganya akhlak sang anak. Anak-anak Muslim yang disekolahkan di tempat
yang tidak islami akan mudah tercemar oleh pola fikir dan akhlak yang tidak
islami sesuai dengan pola pendidikannya, apalagi mereka yang disekolahkan di
sekolah nasrani sedikit demi sedikit akhlak dan aqidah anak-anak Muslim akan
terkikis dan goyah. Sehingga terbentuklah pribadi-pribadi yang tidak menganal Islam
secara utuh.
Disamping itu peranan media massa sangat pula
berpengaruh. Informasi yang disebarluaskan media massa baik cetak maupun
elektronik memiliki daya tarik yang sangat kuat. Jika orang tua tidak
mengarahkan dan mengawasi dengan baik, maka si anak akan menyerap semua
informasi yang ia dapat, tidak hanya yang baik bahkan yang merusak akhlak.
Meskipun banyak faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan seorang anak, orang
tua tetap memegang peranan yang amat dominan.
[2]
Djalaluddin dan Ramayulis, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, Cet. IV, (Jakarta:
Kalam Mulia, 1998), hal. 31-32.
[7]
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad fil-Islam, Cet. II, Terj. Khalilullah Ahmas Masjkur Hakim, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1992 ), hal. 8.