Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Hubungan memilih Jodoh dengan Pembinaan Pendidikan Akhlak Anak


A.    Hubungan memilih Jodoh dengan Pembinaan Pendidikan Akhlak Anak 
Hubungan memilih Jodoh dengan Pembinaan Pendidikan Akhlak Anak
       
Perhatian terhadap anak-anak oleh syari’at Islam telah dimulai sejak mereka belum dilahirkan, yaitu ketika Rasul yang mulia memerintahkan kaum Muslim untuk mencari calon suami atau istri yang baik. Kriteria pasangan hidup harus didasarkan atas asas takwa dan kesalihan, jelasnya nasab dan kehormatan para calon itu.[1] Perkawinan yang didasarkan atas asas inilah yang nantinya akan melahirkan anak-anak yang suci dari segala segi, tercetak dengan akhlak-akhlak Islam yang mulia, serta adat istiadat hidup berumah tangga yang bahagia. Anak-anak itu akan mengisap dan menyedot susu kemuliaan dan keutamaan dari para orang tua mereka, dan secara alami mencerap sifat-sifat yang baik dan perilaku-perilaku yang mulia. Adapun prose pendidikan pralahir adalah sejak memilih jodoh yang berkualitas, cara melakukan senggama, dan kehamilan (proses kejadian manusia).
Kelima proses penciptaan manusia tersebut di atas adalah merupakan momen-momen penting bagi kedua orang tua khususnya ibu yang mengandungnya, untuk mulai mendidiknya sesuai dengan prosesproses itu, baik melalui pendekatan religius-spiritual, psikologis, sosiologis, psikoterapi, kesehatan fisik, dan lain sebagainya.
Secara kodrati setiap orang tua sejak zaman dahulu (Adam as), hingga sekarang dan yang akan datang, berkeinginan untuk mendidik dan mengajar anaknya, namun bagi orang yang beriman hal itu bukan hanya sekedar menuruti dorongan kodratnya semata, tetapi lebih dari itu adalah “dalam rangka melaksanakan perintah wajib yang telah digariskan oleh Allah Swt. Dengan demikian beban yang diberikan kepada orang tua agar bertanggung jawab terhadap pendidikan anak-anaknya memang tumbuh dari naluri orang tua (faktor pembawaan)”.[2]
Bila kita setuju dengan adanya pandangan yang mengungkapkan bahwa “dalam diri manusia itu terdapat kemampuan dasar atau fitrah “prepoten retlexes” baik rohaniah maupun jasmaniah, yang tidak dapat berkembang dengan baik tanpa bimbingan dari pendidik, maka berarti manusia memerlukan pendidikan dalam arti yang luas”[3]. Kebutuhan terhadap pendidikan tersebut bukan hanya sekedar untuk mengembangkan aspek-aspek individualisasi dan sosialisasi, melainkan juga mengarahkan perkembangan kemampuan dasar tersebut kepada pola hidup yang dihajatkan manusia dalam bidang duniawiah, dalam bidang fisik/materiil dan mental/spiritual yang harmonis. Oleh karena itu di dalam apa yang disebut “keharusan pendidikan” sebenarnya mengandung aspek-aspek, yaitu:
1.     Aspek Pedagogis
Dalam hal ini, manusia dipandang sebagai mahluk yang disebut “homo educandum”, yaitu makhluk yang dapat dididik. Dalam istilah lain, manusia dikategorikan sebagai “animal educable” yaitu “sebangsa binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang selain manusia hanya dapat dilakukan. “Dressur” (dilatih sehingga dapat mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis, tidak berubah)”[4].
A. Portman, seperti yang dikutip oleh M. Said, mengemukakan teorinya tentang kelahiran manusia yang terlalu dini, yang menjadi dasar bagi asumsi pertama dalam dunia ilmu pendidikan. Menurut A. Portman: “Manusia seharusnya berada di dalam kandungan ibunya selama satu bulan untuk dapat mencapai tingkat perkembangan yang lebih sempurna”[5].  Jadi keadaan masih belum “fixed”, artinya masih terbuka bagi perkembangan selanjutnya. Malahan A. Portman juga mengungkapkan bahwa: “Manusia dalam tahun pertama melengkapi perkembangannya dengan syarat hidup secara manusia normal yaitu bediri tegak, berbahasa dan berperilaku yang dikemudikan  oleh akalnya”[6].
Keadaan yang lemah, tidak berdaya, belum siap inilah yang menyebabkan anak manusia dapat dididik dan perlu dididik atau “homo educandum et  educable[7].  Inilah yang menjadi asumsi pertama dalam pendidikan. Karena kelahirannya yang sangat dini naluri manusia tidak dapat berkembang sepenuhnya. Oleh karena itu perlu adanya pendidik yang dapat mengarahkan naluri manusia agar dapat berkembang sepenuhnya.
Asumsi kedua yang diterima dalam ilmu pendidikan ialah tentang “perkembangan anak manusia semenjak lahir yang tidak terus menerus seperti air mengalir, tapi berfase-fase seperti tetesan air hujan yang bertautan dengan tiap tetesan merupakan satu kesatuan”[8].  Suatu fase mengambil bentuk yang sebenar-benarnya yang tidak dapat dijabarkan dari fase yang mendahuluinya dan tahap yang berikutnya karena satu sama lain berbeda sekali.
Jadi menurut aspek pedagogis, pendidikan berfungsi untuk memanusiawikan manusia, yang dengan tanpa pendidikan sama sekali, manusia tidak  dapat menjadi  manusia yang sebenarnya.
2.     Aspek psychologis
Aspek ini memandang manusia sebagai makhluk yang disebut “psycho physiek netral”, yaitu “makhluk yang memiliki kemandirian jasmaniah dan rohaniah”[9]. Dalam pertumbuhan dan perkembangannya manusia memerlukan pendidikan. Kerena dengan pendidikan, maka petumbuhan dan perkembangan tersebut mendapatkan kemungkinan untuk mencapai titik maksimum kemampuannya. Bila pendidikan yang diperoleh baik, maka pertumbuhan dan perkembangannya dapat menjadi bimbingan bagi proses pendidikan manusia sebagai individu yang harus hidup dalam masyarakat.
3.     Aspek Sosiologis dan Culturil
Aspek inilah yang memandang manusia bukan hanya “psycho physiek netral”, akan tetapi juga “homo socius”. Yaitu “makhluk yang berwatak dan berkelakuan dasar atau memiliki instink untuk hidup bermasyarakat”[10]. Sebagai makhluk sosial, manusia harus memiliki rasa tanggung jawab sosial yang diperlukan dalam mengembangkan inter relasi (hubungan timbal balik) dan inter aksi (saling pengaruh mempengaruhi) antara sesama anggota masyarakat dalam kesatuan hidup masyarakat beradab.
Bila manusia sebagai makhluk sosial yang bertanggung jawab sosial itu berkembang, maka berarti pula manusia itu sendiri adalah makhluk yang berkebudayaan baik materiil maupun moril. Sebagai salah satu instink manusia adalah kecenderungan untuk mempertahankan segala apa yang dimiliki termasuk kebudayaannya. Oleh kerena itu, maka manusia perlu melakukan transformasi dan transmisi kebudayaannya kepada generasi yang mengganti dikemudian hari. “Dalam aspek culturil ini, maka pendidikan diperlukan untuk transformasi dan transmisi (pemindahan dan penyaluran serta pengoperan) kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda”[11].  Tanpa melalui proses pendidikan maka hal tersebut tidak terlaksana, jadi antara tanggung jawab sosial dengan transformasi dan transmisi culturil tersebut terdapat hubungan kausal.
4.     Aspek Filosofis
Menurut pandangan filsafat, manusia adalah makhluk yang disebut “homo sapien” yaitu “makhluk yang mempunyai kemampuan untuk berilmu pengetahuan”[12]. Salah satu instink manusia adalah ingin mengetahui hal-hal yang belum diketahui yang disebut instink neugirig atau ciuriosity. Dengan instink ini maka manusia selalu cenderung untuk memperoleh pengetahuan tentang segala sesuatu di sekelilingnya. Kemampuan instink tersebut yang memberikan kemungkinan manusia untuk dapat dididik dan diajar. Sehingga dapat menangkap  segala sesuatu yang diajarkan. Pengertian yang telah dipahami itu kemudian menjadi suatu rangkaian pengertian yang terbentuk menjadi ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Dengan kata lain, melalui proses belajar dan diajar, manusia pada akhirnya menjadi makhluk yang berilmu pengetahuan.
5.     Aspek Religius
Yaitu “aspek pandangan yang mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang disebut “homo divinans” (makhluk berketuhanan) atau disebut “homo religius” (makhluk beragama)”[13]. Adapun kemampuan dasar yang menyebabkan manusia menjadi makhluk berketuhanan atau beragama itu adalah karena di dalam jiwa manusia terdapat suatu “instink religious” atau “natural liter religiosa”, yang perkembanganya bergantung pada usaha pendidikan sebagaimana halnya dengan instink-instink lainya. Oleh sebab itu, tanpa proses pendidikan instink tersebut tidak akan berkembang sewajarnya dan maksimal. Sehingga pandidikan keagamaan mutlak diperlukan untuk mengembangkan instink tersebut.
Kelima aspek tersebut yang menjadi alasan perlunya pendidikan dalam kehidupan manusia. Karena manusia adalah makhluk yang berkembang, maka untuk bisa mencapai perkembangan yang maksimal pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan. Pendidikan sebaiknya diberikan sedini mungkin dengan persiapan yang matang. Semakin dini pendidikan itu diberikan, maka diharapkan hasilnya juga semakin baik.  Menurut pendapat Sutari Imam Barnadib, persiapan pendidikan dimulai pada saat pemilihan jodoh, yaitu dengan mempertimbangkan “bibit, bebet dan bobot”. Sebagai berikut[14]:
1.     Bibit
Bibit atau  lebih kita kenal dengan sebutan keturunan, sangat penting sekali dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih pendamping hidup. Jadi dalam memilih pendamping hidup diutamakan berasal dari keturunan yang baik-baik, karena jika tidak, dikhawatirkan akan mempengaruhi keturunannya.
2.     Bebet
Selain mempertimbangkan bibit, pribadi dari calon pendamping atau dalam ungkapan jawa dikenal sebagi “bebet” juga tidak kalah pentingnya karena menyangkut orangnya secara langsung. Untuk itu perlu juga bagi orang yang akan memilih pendamping hidup mempertimbangkan kepribadian dari calon pendampingnya, bagaimana sikap dan tampangnya, bagaimana wataknya, sehatkah, pantaskah, haluskah, tegaskah, keras dan lain-lain.
3.     Bobot
Yang menjadi pertimbangan lain bagi seseorang ketika memilih calon pendamping adalah “bobot”, apakah calon pendampingnya anak orang berada atau cukupan atau kurang. Apakah calon pendampingnya dapat mencari nafkah untuk hidup berkeluarga kelak. Jadi dalam hal “bobot” atau harta kekayaan ataupun kemampuan dalam mencari nafkahpun dijadikan pertimbangan pula, dengan harapan agar keturunanya kelak bisa tercukupi kebutuhannya.
Ketiga istilah yang dijadikan pertimbangan dalam memilih pendamping hidup tersebut, sampai saat ini masih banyak dilakukan/dipraktekan orang. Hal itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang salah. Karena seperti apa yang diungkapkan oleh prof. Brodjonegoro, ketiga hal tersebut merupakan langkah yang paling awal atau persiapan bagi  pendidikan anak dengan harapan agar keturunanya nanti menjadi anak yang baik, baik fisik maupun non fisik, serta tercukupi kebutuhannya.
“Di samping itu, bayi yang baru lahir adalah produk/hasil dari dua keluarga”[15]. Sejak saat pembuahan dan seterusnya, kehidupan baru itu akan tetap berlangsung dan dipengaruhi oleh banyak stimuli dari lingkungan yng berbeda. Setiap stimuli (rangsang-rangsang) ini secara terpisah dan berbarengan dengan stimuli yang lain akan membantu dalam membentuk potensi-potensi perkembangan dan tingkah laku anak yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Hal tersebut yang menjadikan pentingnya mempertimbangkan berbagai hal dalam memilih jodoh agar keturunan yang dihasilkan benar-benar merupakan produk yang unggul.


               [1] Husain Mazhahiri, Membangun Keluarga Bahagia, Konsep Islam dalam Mewujudkan Keluarga yang Harmonis dan Bahagia, (Jakarta: Iqra’ Kurnia Gemilang, 2004), hal. 159.
               [2] Jalaluddin, Mempersiapkan Anak Saleh, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), hal. 3.

               [3] Ibid., hal. 4.
               [4] Ibid., hal. 4.

               [5] Muhammad Said, Ilmu Pendidikan, (Bandung: Alumni, 1989), hal. 16.

               [6] Ibid., hal. 17.

               [7] Ibid., hal. 17.
               [8] Ibid., hal. 20.

               [9] Jalaluddin, Mempersiapkan...., hal. 17.

               [10] Ibid., hal. 17.

               [11] Ibid., hal. 21.

               [12] Ibid., hal. 21.
               [13] Ibid., hal. 21.
               [14] Sutari Imam Barnadib, Pengantar Ilmu Pendidikan Sistematis, (Yogyakarta: Dudi Offset, 1987), hal. 27.
               [15] L. Crow & A. Crow, Psychologi Pendidikan, (Yogyakarta: Nurcahaya,, 1989), hal. 41.