Mencegah Kawin dengan Wanita Musyrikah
A.
Mencegah Kawin dengan Wanita Musyrikah
Larangan perkawinan antar pemeluk agama
yang berbeda itu agaknya dilatar belakangi oleh harapan akan lahirnya sakinah
dalam keluarga. Perkawinan
baru akan langgeng dan tenteram jika terdapat kesesuaian pandangan hidup antar
suami dan istri, karena jangankan perbedaan agama, perbedaan budaya, atau
bahkan perbedaan tingkat pendidikan antara suami dan istri pun tidak jarang
mengakibatkan kegagalan perkawinan.
Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara pria Muslim
dan perempuan Utul-Kitab (Ahl Al-Kitab), tetapi kebolehan itu bukan saja
sebagai jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena
seorang Muslim mengakui bahwa Isa as. adalah Nabi Allah pembawa ajaran agama.
Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari wanita jika beragama Islam dapat
mentoleransi dan mempersilakan Ahl Al-Kitab menganut dan melaksanakan
syariat agamanya, seperti firman Allah didalam Al-qur’an surat Al- kafirun ayat 6:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ) الكافرون:٦(
Artinya:
Bagi kamu agamamu dan bagiku agamaku (Qs.
Al-Kafirun: 6).
Ini berbeda dengan Ahl Al-Kitab yang tidak mengakui
Muhammad Saw. sebagai Nabi. Di sisi lain harus pula dicatat bahwa para ulama
yang membolehkan perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, juga
berbeda pendapat tentang makna Ahl Al-Kitab dalam ayat ini, serta
keberlakuan hukum tersebut hingga kini. Walaupun penulis cenderung berpendapat
bahwa ayat tersebut tetap berlaku hingga kini terhadap semua penganut ajaran
Yahudi dan Kristen, namun yang perlu diingat bahwa Ahl Al-Kitab yang
boleh dikawini itu, adalah yang diungkapkan dalam redaksi ayat tersebut sebagai
“wal muhshanat minal ladzina utul kitab”.
Kata al-muhshnnat di sini berarti wanita-wanita
terhormat yang selalu menjaga kesuciannya, dan yang sangat menghormati dan
mengagungkan Kitab Suci. Makna terakhir ini dipahami dari penggunaan kata utuw
yang selalu digunakan Al-Quran untuk menjelaskan pemberian yang agung lagi
terhormat. Itu sebabnya ayat tersebut tidak menggunakan istilah Ahl Al-Kitab,
sebagaimana dalam ayat-ayat lain, ketika berbicara tentang penganut ajaran
Yahudi dan Kristen.
Pendapat para ulama yang membolehkan itu berdasarkan kaidah
syar’iyah yang normal, yaitu bahwa suami memiliki tanggung jawab kepemimpinan
terhadap istri, serta memiliki wewenang dan fungsi pengarahan terhadap keluarga
dan anak-anak. Adalah kewajiban seorang suami Muslim berdasarkan hak
kepemimpinan yang disandangnya untuk mendidik anak-anak dan keluarganya dengan
akhlak Islam.
Laki-laki
diperbolehkan mengawini non muslimah yang Ahl Al-Kitab, agar perkawinan itu
membawa misi kasih sayang dan harmonisme, sehingga terkikis dari hati istrinya
rasa tidak senangnya terhadap Islam. Dan dengan perlakuan suaminya yang baik
yang berbeda agama dengannya itu, sang istri dapat lebih mengenal keindahan dan
keutamaan agama Islam secara amaliah praktis, sehingga ia mendapatkan dari
dampak perlakuan baik itu ketenangan, kebebasan beragama, serta hak-haknya yang
sempurna, lagi tidak kurang sebaik istri. Kalau seorang wanita Muslim dilarang
kawin dengan non-Muslim karena kekhawatiran akan terpengaruh atau berada di
bawah kekuasaan yang berlainan agama dengannya, maka demikian pula sebaliknya.
Perkawinan seorang pria Muslim, dengan wanita Ahl Al-Kitab harus pula
tidak dibenarkan jika dikhawatirkan ia atau anak-anaknya akan terpengaruh oleh
nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun di sisi lain sekelompok golongan yang menamakan
dirinya inklusif-pluralis berpandangan bahwa setiap agama mempunyai jalan
keselamatan sendiri-sendiri, memiliki konsep ketuhanan, mengajarkan kebaikan,
sehingga tidak bisa dikatakan mana agama yang benar atau agama yang sesat,
mengenai hukum perkawinan beda agama menurut mereka adalah boleh. Kelompok ini
mendasarkan argumentasinya pada ayat suci Al-quran yakni dalam surat al-Maidah ayat 5,
yang berbunyi sebagai berikut :
الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ
مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ
فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ) المائدة:٥(
Artinya:
Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)
orang-orang yang diberi Al Kitab, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka.
(dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi.( Qs. al-Maidah: 5).
Menurut mereka ayat ini merupakan ayat
Madinah yang diturunkan setelah ayat yang melarang perkawinan dengan
orang-orang musyrik, sehingga mereka beriman, ayat ini dapat disebut ayat
revolusi karena secara eksplisit menjawab beberapa keraguan masyarakat muslim
pada masa itu, karena pada ayat yang diturunkan sebelumnya, yaitu QS. Al-Baqarah : 221 menggunakan istilah musyrik yang
bisa dimaknai untuk seluruh non muslim. Namun pada ayat ini mulai membuka ruang
bagi wanita ahl al-kitab (Kristen dan Yahudi) untuk melakukan pernikahan dengan
orang-orang Muslim. Maka menurut kelompok ini ayat ini berfungsi sebagai nasikh
terhadap ayat sebelumnya.
Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi
Ahmed An-Naim dalam buku Dekonstruksi Syari’ah mengatakan bahwa larangan dan
pengharaman perkawinan antar agama ini karena dependensi wanita kepada pria terutama
dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang dimana seorang
wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama
didepan hukum, sehingga larangan itu tetap berlaku.[1]
Islam
memberikan kita kewajiban untuk memiliki satu risalah dalam hidup ini dengan
cara hidup menurut risalah tersebut sehingga kita semua betul-betul menjadi
Muslim baik dalam segi akidah, ibadah, maupun akhlak. Dengan Pengakuan terhadap
Islam berarti kita harus bekerja keras di lingkungan kita dalam semua level,
dari keluarga sampai negara, dan bahkan ke segenap ummat manusia karena Islam
diturunkan kepada semua manusia. Kita tidak cukup dengan hanya menyatakan saja
bahwa kita menganut Islam dan mematuhinya tanpa memperdulikan orang-orang di sekeliling
kita. Kita seharusnya memiliki rasa tanggung jawab kepada orang lain, menyeru dan
menasihati mereka.
Bertolak
dari keadaan ini, kita memiliki tanggung jawab baru, yaitu tanggung jawab
untuk:
1. Menegakkan sebuah masyarakat Islam
2. Menyampaikan Islam kepada masyarakat.
Langkah pertama yang sesuai dengan
tabiat Islam adalah membentuk rumah tangga kita supaya menjadi rumah tangga
yang Islami. Kita bertanggung jawab untuk menegakkan Islam di dalam kelurga,
yang merupakan masyarakat kecil ini. Kita bertanggungjawab untuk menyampaikan
ajaran Islam kepada keluarga kita, pasangan hidup kita, anak-anak kita, serta
kerabat dan handai taulan.