A. Pembinaan
Ibadah
Ibadah secara bahasa berarti taat,
tunduk, turut, mengikut dan doa dan disebut juga dengan meyembah Allah Swt.
Soenarjo mendefinikan “ibadah adalah kepatuhan dan ketundukan yang ditimbulkan
oleh perasaaan tentang kebesaran Allah Swt, sebagai tuhan yang disembah karena
keyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya”.[1] Ibadah adalah
pola dan tataracara hubungan manusia dengan Allah Swt semata, yang dalam bahasa
agama dikenal dengan sebutan ibadah mahdah atau ibadah murni. Ibadah bentuk ini
mengambil bentuk vertikal (tegak lurus dari bawah ke atas).
Menurut Amin Abdullah ibadah mahdah
dapat didefinisikan, “mahdah merupakan aspek normativitas (wahyu), yang lebih
menekankan aspek legalitas formalitas ekternal”.[2] Dalam ibadah
mahdah berlaku autentitas artinya tidak boleh ditambah atau dikurangi, karena
ketentuaannya telah diatur oleh Allah sediri dan dijelaskan secara rinci oleh
Rasul-Nya. Misalnya seperti ketentuan shalat dhuhur yaitu diwajibkan setiap
orang mukmin mengerjakan empat rakaat, tidak boleh diubah menjadi tiga rakaat
atau dua rakaat, kecuali ada ketentuan lain misalnya qasar, maka shalat dhuhur
yang tadinya empat biasa menjadi dua rakaat. Shalat subuh dua rakaat tidak
boleh diubah menjadi tidak rakaat atau empat rakaat, karena sifatnya tertutup
dalam ibadah mahdah berlaku umum yakni semua perbuatan ibadah dilarang
melakukan kecuali perbuatan yang dengan tegas diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kalau dihubungkan dengan lima kaidah (al-ahkam
al-khamsah) kaidah asal ibadah adalah haram atau larangan, artinya segala
sesuatu atau yang berada dalam ruang lingkup ibadah khususnya ibadah kepada
Allah Swt sebagaimana dicontohkan Rasulnya. Dengan demikian “tidak mungkin ada
pembaharuan (tajdid, modernisasi) dalam ibadah yakni proses pembaharuan
dan perombakan mengenai susunan, cara dan tatacara ibadah, yang mungkin ada
halnya penggunaaan alat-alat modern dalam pelaksanaannya”.[3] Campur tangan
akal pikiran manusia sama sekali tidak dibenarkan, lain halnya dengan
mu'amalah, kaidah asalnya adalah ibahah atau mubah, jaiz, pembolehan, sepanjang
yang dilakukan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam. “Jadi prinsip ibadah mahdah sudah ditegaskan
dan tercakup secara terinci dengan pedoman yang jelas dan tegas dalam Alquran
serta aplikasi praktisnya disebutkan dalam sunnah Rasullullah”.[4]
[1]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam Kehidupan Manusia, (Semarang: Toha
Putra, 1989), hal. 6.
[2]M. Amin Abdullah, Filsafat Kalam di Era Postmodernisme, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1995), hal. 21.
[3]Soenarjo, dkk, Al-Qur'an dalam … hal. 11.
0 Comments
Post a Comment