Pengertian Perkawinan Dalam Islam
A.
Pengertian Perkawinan Dalam Islam
Istilah perkawinan menurut Islam disebut nikah
atau ziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam bahasa
Indonesia ada perbedaan, sebab kata 'nikah' berarti hubungan seks antar
suami-istri sedangkan 'ziwaj' berarti kesepakatan antara seorang pria
dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami-istri untuk.
mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah. Menurut
Prof. Ibrahim Hosen, nikah menurut arti asli dapat juga berarti aqad, dengannya
menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti
lain ialah bersetubuh.[1] Perkawinan
adalah menciptakan kehidupan keluarga antara suami istri dan anak-anak serta orang
tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakinah), pergaulan
yang saling mencintai (mawaddah) dan saling menyantuni (rahmah).[2]
Setiap perkawinan tidak hanya didasarkan kepada
kebutuhan biologis antara pria dan wanita yang diakui sah melainkan sebagai pelaksana
proses kodrat hidup manusia. Demikian juga dalam hukum perkawinan Islam
mengandung unsur-unsur pokok yang bersifat kejiwaan dan kerohanian meliputi
kehidupan lahir batin, kemanusiaan dan kebenaran. Selain itu perkawinan juga
bersifat religius, artinya aspek-aspek keagamaan menjadi dasar pokok kehidupan
rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sedangkan
dasardasar pengertian perkawinan itu berpokok pangkal kepada tiga keutuhan yang
perlu dimiliki oleh seseorang sebelum melaksanakannya yaitu :
1.
Iman
ialah percaya kepada Allah yang menciptakan alam semesta termasuk manusia yang
secara siklus terdiri dari sel sperma laki-laki dan sel telur perempuan yang
dibentuk melalui proses tahapan. Dan proses tahapan itu semula dari gumpalan
darah berkembang menjadi daging, kemudian berbentuk tulang dan bercampur
menjadi satu serta pembungkus kulit. Proses selanjutnya akan terjadi kehidupan roh/sukma
setelah janin dilahirkan menjadi bayi. Siklus hidup menjadi manusia tidak akan
sempurna kalau hubungan yang dilakukan antar suami istri tidak memenuhi syarat
yang baik seperti kesehatan, kedewasaan, kejiwaan dan kesucian diri. Dari segi inilah
Islam memandang bahwa perkawinan sebagai suatu proses kehidupan keluarga
benar-benar dilaksanakan dalam suasana suci dan bersih sebagai manusia yang
luhur.
2.
Islam,
maksudnya bahwa bagi setiap calon suami istri wajib mempunyai jiwa penyerahan
diri kepada Allah sebagai penciptanya. Kalau keyakinan ini sudah benar-benar
dihayati maka dalam melakukan kewajiban sebagai suami istri tidak akan
menimbulkan keraguan, kecemasan dan kekuatiran. Segala sesuatu yang menyangkut
mengenai kewajiban dan haknya akan dapat dilaksanakan sesuai proses.
3.
Ikhlas,
artinya pada diri masing-masing calon suami istri memiliki tekad yang bersih
dan terbuka untuk membentuk keluarga sebagai kebaktian kepada Allah. Asas ini
akan menghilangkan kecemasan atau ketidakpuasan dalam melaksanakan kehidupan
keluarga yang akan menerima godaan dan cobaan, musibah atau kesengsaraan dalam
menjalankan tugas sebagai kewajibannya secara sadar dan bertanggungjawab.
Selain itu juga akan menutup kekurangankekurangan kedua belah pihak dalam
membina kesatuan untuk mencapai kesempurnaan hidup rumah tangga.[3]
[1]
Ibrahim Hosen, Fiqh Perbandingan dalam Masalah Nikah dan Rujuk, (Jakarta: Ihya Ulumuddin, 1971),
hal. 65.
[3] R.
Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II),
Berdasarkan Ketentuan
Kurikulum Konsorsium Ilmu Hukum, ( Bandung: CV
MandarMaju/1992), hal. 73.