Kita tidak pernah tahu kapan sebuah benda mendapatkan tempat layak dan kemudian sejarah tercipta. Dulu mujair, bilis, dan segenap ikan kecil-kecil lainnya merupakan santapan masyarakat kelas bawah. Kini ikan-ikan itu justru berharga mahal.
Keladi yang masuk kategori bunga-bungaan juga tiba-tiba harganya melambung tinggi. Khusus yang diimpor dari luar negeri, bibitnya saja sudah berharga jutaan. Paling murah Rp150 ribu, itu baru berupa bakal batang.
Saya menduga bila mahalnya harga keladi karena sudah masuk dalam skema monkey bussines. Sesuatu yang tidak memiliki harga tuba-tiba dicari oleh banyak orang dan harganya meledak tak masuk akal. Ibu-ibu yang suaminya memiliki banyak uang pun terpengaruh untuk menjaga kelas sosialnya. Semakin mahal bunga keladi di pot-pot di depan rumah, maka semakin tinggi pula status sosial. Semakin banyak pujian kepadanya.
Pengaruh demikian dalam rangka mencari pengakuan terus berlanjut hingga kelas paling bawah. Perempuan yang kondisi keuangan suami Senin-Kamis pun ikut-ikutan. Akhirnya riuh-rendahlah dunia perkeladian. Suatu saat nanti--biasanya tidak lama-- harga keladi akan jatuh ke lantai. Mulailah para pemburu keladi sedu sedan sembari meratapi puluhan hingga ratusan juta uang hangus masuk ke dalam tanah. Keladi-keladi koleksi mereka tidak lebih mahal dari sekarung beras. Bahkan lebih murah dari itu.
*
Isi dunia terus berevolusi. Ada yang karena sudah kehendak alam, ada pula karena hasil rekayasa pasar. Model monkey bussiness murni hasil kreasi pebisnis yang menciptakan trend untuk menipu publik. Mereka sangat sadar bila manusia sangat tergila-gila pada pengakuan kelas. Karena ketika sudah bicara strata, maka umat agama apapun akan terjebak. Ingin berada di level tertinggi. Mendapat pengakuan tertinggi. Karena berada di kelas sosial paling atas adalah impian semua orang.
Di dalam politik juga demikian. Betapa banyak pencipta kondisi menjebak siapa saja ke dalam lingkar kekuasaan. Mereka yang awalnya kritis, mengklaim diri pejuang, menasbihkan diri sebagai ahli agama, banyak yang berhasil dijebak masuk perangkap kekuasaan. Dalihnya macam-macam. Tapi intinya mereka berharap uang yang banyak tanpa perlu kerja keras. Demi uang, mereka akan melakukan apapun. Bahkan dengan menjual integritas.
"Untuk hidup lebih baik, demi memenuhi banyak keinginan, kita membutuhkan uang. Maka bila ada peluang harus dimanfaatkan. Integritas tidak penting. Karena kita tidak akan kenyang dengan integritas," demikian banyak pembelaan diri yang kerap saya dengar.
Tapi, pernyataan tersebut adalah sebuah kekeliruan. Bila yang menyampaikan itu adalah orang berilmu, percayalah bila dia telah diperbudak oleh nafsu jahat. Bila dia orang jahil yang kebetulan memiliki pengaruh, maka dia sedang tidak memahami bila dirinya jahil.
Sesuatu yang instan tidak akan bertahan lama. Orang-orang yang akan melakukan apapun demi mendapatkan uang (kekayaan) akan ceot redup. Bila ingin bertahan di tengah berbagao dinamika, mereka akan terus berbohong hingga mati. Bahkan harus membunuh banyak karakter orang baik lainnya agar dianggap sama dengan dirinya.
"Dia kan sama juga seperti saya. Mana ada orang jujur di dunia ini," demikianlah kalimat paling umum yang disampaikan.
Jangan lupa, orang-orang yang lancung di ujian, sehebat apapun dia, tidak akan pernah tumbuh lebih besar. Bilapun akan diberi ruang, posisinya tidak lebih dari penggonggong yang tidak perlu logika.
*
Beberapa hari lalu saya singgah di sebuah warung makan di pojok pasar Matangglumpangdua. Nama warungnya Cek Bi. Apa yang menarik dari warung tersebut?
Warung Cek Bi tidak pernah diiklankan di media. Berada di lokasi padat dengan kendaraan dan berada satu jalur dengan kios-kios sayur dan lapak ikan. Juga diimpit oleh toko pakan ayam.
Tapi, dari pagi hingga siang warung tersebut dipadati pelanggan. Mulai dari orang pasar hingga pejabat tinggi.
Jangan tanya perihal rasa tiap sajian kulinernya. Sangat aduhai. Semua sajian makanan di sana masuk kategori mumtaz.
Bila ke sana, saya seringkali memesan gulai sembilang. Sering pula tak dapat bagian. Karena gulai tersebut sangat diminati oleh pelanggan. Padahal harganya lumayan mahal.
Cek Bi tidak pernah mengatakan makanan di warungnya paling enak. Paling bersih dan paling bersyariat. Dia tidak perlu mencaci maki warung milik orang lain. Bahkan beberapa bekas anak buahnya telah membuka warung serupa dan tetap ramai. Cek Bi tidak marah. Justru bangga. Berarti dia berhasil mendidik orang lain agar mampu membuka warung nasi dengan rasa yang tidak berubah.
Dia pun tidak pernah bilang "Dia hebat karena saya. Bila dulu tak saya pekerjakan, dia tidak akan sehebat itu." Cek Bi memang luar biasa. Tanpa surban di kepala, dia mempraktekkan ilmu tasawuf.
Di Banda Aceh, bila saya rindu masakan khas Cek Bi, saya akan makan di warung nasi Putra Peusangan di bilangan Jeulingke. Rasanya persis. Termasuk rasa gulai sembilang.
Penulis: Muhajir Juli
0 Comments
Post a Comment