Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

I LOVE ME

I LOVE ME


Saya sangat senang dan bangga melihat postingan para ibu yang begitu rajin dan pandai memasak untuk keluarganya. Ada saja inovasi masakan baru yang menjadi perantara kehangatan keluarga. Masakan ibu adalah makanan terlezat di dunia. Begitu kata mereka. Menyaksikan suami dan anak-anak menyantap masakan kita dengan penuh selera adalah suatu kebanggaan luar biasa. Kesenangan yang tak terungkap kata. 

Namun saya akui, saya teramat lemah dalam bidang ini. Bukan tidak mau berusaha, tetapi mungkin inilah kekurangan saya. Tiga belas tahun minus dua bulan berumah tangga, masakan yang saya masak hampir setiap hari sama. Sama seperti diawal berumah tangga. Tidak ada perkembangan yang signifikan. Bosan?! Tentu saja. Jagankan mereka, saya juga sering tidak berselera. 

Pernahkah anak-anak protes? Sering.

"Coba Mak masak daging kayak yang kita makan di rumah Yaya waktu itu. Kan enak? Coba Mak tanya resep sama ibunya. Enak loh, Mak." Pinta anak saya sekali waktu. 

Sesekali dapat lauk pemberian tetangga, mereka tidak sabar ingin makan dan sangat lahap ketika menyantap.

"Mak kenapa nggak bisa masak kayak gini?" Celetuknya lagi di sela-sela kegiatan makan.

Jangan tanya bagaimana hancurnya hati saya. Beruntung, suami tidak banyak tingkah. Ia menerima bagaimanapun keadaan dan rasanya. Pernah suatu ketika, Doi merasakan lauknya sedikit aneh dari biasa: 

"Beli dimana sayur ini, Dek?"

"Aku yang masak, Bang. Kenapa?"

"Kok enak ya? Biasanya nggak."

Sahutnya tanpa rasa bersalah. Plak! 

Ya, saya memang sering membeli bila tidak sempat, dilanda malas memasak, atau masakan yang tidak mampu saya masak. Contoh saat anak-anak hawa kuah beulangong, timphan atau kuah rendang. 

Tetapi sebisa mungkin, saya usahakan kehigienisan dan kebutuhan gizi keluarga terjaga. Walaupun tidak enak terasa, saya paksa mereka makan dengan dalih, makanan tidak harus enak, yang penting sehat! Mereka terpaksa makan walau tanpa selera. 

Kata orang tua, bila ingin disayang suami, masaklah makanan favoritnya. Manjakan ia dengan memenuhi kebutuhan perutnya. Mungkin jika hanya itu yang menjadi indikator disayang, sudah dari dulu cintanya terbang melayang. 

Walau belum mampu menyuguhkan makanan enak, bukan berarti tidak bisa makan bersama keluarga dengan hati gembira. Belum mampu memasak makanan yang dirindukan bukan berarti belum menjadi ibu yang sesungguhnya. Saya menerimanya. Karena terus-menerus menutupi ketidaksempurnaan dan berusaha menjadi sempurna hanya untuk memenuhi standar orang lain adalah kebiasaan yang sangat beracun dan menguras tenaga serta hanya akan menambah beban hidup saja.

Selamat buat para ibu yang rajin dan pandai memasak. Kalian istimewa!

Penulis: Ismi Marnizar