Bersembunyi Dari Mantan
Sabang sebagai Pulau Wisata yang tidak luas dengan penduduknya yang tidak ramai, setiap musim liburan hampir selalu menjadi ajang reunian. Kerabat, kenalan, teman lama yang berlibur kemari, biasanya akan mengontak kami yang menetap di pulau ini guna sekadar bertemu jika sama-sama punya waktu. Jujur saja, ada teman-teman yang kami "hindari", adapula yang sengaja kami tunggu-tunggu kedatangannya.
Pernah suatu kali, Aku bersama seorang teman, Rika namanya, berencana bertemu di suatu tempat, yang menjadi salah satu tujuan wisatawan. Tiba-tiba aku melihat seorang teman lamaku dari Banda Aceh membuat story wa menampilkan foto dirinya persis di tempat yang kami rencanakan itu, dengan caption,
[Di sini sebentar, menunggu mentari senja].
Seketika aku langsung mengabari Rika agar tempat pertemuan kami dipindahkan ke tempat lain, berharap jangan sampai aku bertemu dengan teman lama itu. Sah-sah saja bukan, ketika kita tidak ingin bertemu dengan orang tententu?
Suatu malam, aku bersama suami sedang melihat-lihat peralatan dapur di sebuah toko kelontong. Kami berdua berpencar, berjalan dan mengamati barang-barang dari etalase satu ke etalase lain. Aku berusaha meraih sebuah penggorengan untuk memastikan harganya. Karena lumayan tinggi, tanganku tidak mampu menggapainya meskipun sudah berjinjit. Seorang Ibu mengambilnya untukku. Terkejut bukan main, saat aku mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki tidak asing berjalan mengikuti Ibu itu dengan menggendong seorang anak. Kami saling beradu mata. Kupastikan itu suaminya. Aku berusaha biasa saja. Ia juga sama. Buru-buru menghindariku. Akupun menghindarinya.
.
.
.
Cepat sekali memoriku memutar kejadian 20 tahun lalu. Tahun 2003, aku masih kelas dua SMA. Jam enam sore, aku berjalan kaki pulang dari menasah, usai mengajar adik-adik di TPQ. Tiba di persimpangan lorong rumahku, Sarah, adik Bang Irwan bersama Bang Irwan, kakak kelasku sudah menunggu di sana. Heran, karena aku tidak punya janji sebelumnya dan Sarah tidak mengatakan apa-apa padaku.
"Mar, Abangku mau ngomong," Sarah menarik tanganku ke sisinya. Aku masih mengerutkan kening.
"Ngomonglah, Bang!" Nada bicara Sarah memerintahkan Bang Irwan. Bang Irwan tampak berkeringat, sesekali memainkan ujung kemejanya dengan kedua tangan.
"Bang..., cepatlah!" desak Sarah lagi.
Dengan gemetar, Bang Irwan bersabda,
"Mmm..., Mar, maaf, aku suka sama kamu,"
Aku kaget, malu, bingung, dan hanya bisa berkata "hah?".
Bang Irwan pun buru-buru menghidupkan sepeda motornya tanpa menoleh kepadaku setelah bersabda demikian. Sarah tergesa menaikinya di jok belakang.
"Mar, ingat, ya! Kau udah sah jadi pacar Abang aku. Aku saksinya."
Mereka berdua berlalu, dan aku hanya bisa bilang "hah?" untuk kedua kalinya.
Setelah kejadian romantis senja itu, (amboooi), Aku tidak berkomunikasi lagi dengan Bang Irwan sampai beliau lulus SMA dan berkuliah Di Fakultas Teknik. Bahkan saling senyum pun tidak. Hanya Sarah yang rajin menggoda dan mengingatkan,
"Ingat ya, Mar, kau itu pacar Abang aku. Dia udah tekad sehidup semati sama kau, Mar. Cuma dia memang malu-malu gitu, anaknya."
Seperti terikat kontrak tanpa gaji.
.
.
.
Aku buru-buru ke kasir guna membayar penggorengan yang kuambil di etalase tadi. Sebenarnya buru-buru menghindari laki-laki yang kutemui tadi. Berharap cemas agar bisa segera keluar dari toko, tanpa harus bertemu dengannya lagi. Sedang mengantre di kasir, seorang perempuan menegur,
"Maaar..., ya ampun!"
"Sarah?"
"Iyaaaa, aku liburan sama keluarga besar, udah dua malam di sini, besok pagi mau pulang,"
Aku makin resah.
Ah, kenapa lah tak kudatangi besok saja ke toko ini.
"Eh, Mar, bentar, ya! -sambung Sarah lagi-
Bang Irwaaan, sini, deh! Liat ini siapa?"
Mati aku!
Dari mana harus kujelaskan sama suamiku sembari pulang nanti?
Sumber: Facebook Ismi Marnizar
Pernah suatu kali, Aku bersama seorang teman, Rika namanya, berencana bertemu di suatu tempat, yang menjadi salah satu tujuan wisatawan. Tiba-tiba aku melihat seorang teman lamaku dari Banda Aceh membuat story wa menampilkan foto dirinya persis di tempat yang kami rencanakan itu, dengan caption,
[Di sini sebentar, menunggu mentari senja].
Seketika aku langsung mengabari Rika agar tempat pertemuan kami dipindahkan ke tempat lain, berharap jangan sampai aku bertemu dengan teman lama itu. Sah-sah saja bukan, ketika kita tidak ingin bertemu dengan orang tententu?
Suatu malam, aku bersama suami sedang melihat-lihat peralatan dapur di sebuah toko kelontong. Kami berdua berpencar, berjalan dan mengamati barang-barang dari etalase satu ke etalase lain. Aku berusaha meraih sebuah penggorengan untuk memastikan harganya. Karena lumayan tinggi, tanganku tidak mampu menggapainya meskipun sudah berjinjit. Seorang Ibu mengambilnya untukku. Terkejut bukan main, saat aku mengucapkan terima kasih, sosok laki-laki tidak asing berjalan mengikuti Ibu itu dengan menggendong seorang anak. Kami saling beradu mata. Kupastikan itu suaminya. Aku berusaha biasa saja. Ia juga sama. Buru-buru menghindariku. Akupun menghindarinya.
.
.
.
Cepat sekali memoriku memutar kejadian 20 tahun lalu. Tahun 2003, aku masih kelas dua SMA. Jam enam sore, aku berjalan kaki pulang dari menasah, usai mengajar adik-adik di TPQ. Tiba di persimpangan lorong rumahku, Sarah, adik Bang Irwan bersama Bang Irwan, kakak kelasku sudah menunggu di sana. Heran, karena aku tidak punya janji sebelumnya dan Sarah tidak mengatakan apa-apa padaku.
"Mar, Abangku mau ngomong," Sarah menarik tanganku ke sisinya. Aku masih mengerutkan kening.
"Ngomonglah, Bang!" Nada bicara Sarah memerintahkan Bang Irwan. Bang Irwan tampak berkeringat, sesekali memainkan ujung kemejanya dengan kedua tangan.
"Bang..., cepatlah!" desak Sarah lagi.
Dengan gemetar, Bang Irwan bersabda,
"Mmm..., Mar, maaf, aku suka sama kamu,"
Aku kaget, malu, bingung, dan hanya bisa berkata "hah?".
Bang Irwan pun buru-buru menghidupkan sepeda motornya tanpa menoleh kepadaku setelah bersabda demikian. Sarah tergesa menaikinya di jok belakang.
"Mar, ingat, ya! Kau udah sah jadi pacar Abang aku. Aku saksinya."
Mereka berdua berlalu, dan aku hanya bisa bilang "hah?" untuk kedua kalinya.
Setelah kejadian romantis senja itu, (amboooi), Aku tidak berkomunikasi lagi dengan Bang Irwan sampai beliau lulus SMA dan berkuliah Di Fakultas Teknik. Bahkan saling senyum pun tidak. Hanya Sarah yang rajin menggoda dan mengingatkan,
"Ingat ya, Mar, kau itu pacar Abang aku. Dia udah tekad sehidup semati sama kau, Mar. Cuma dia memang malu-malu gitu, anaknya."
Seperti terikat kontrak tanpa gaji.
.
.
.
Aku buru-buru ke kasir guna membayar penggorengan yang kuambil di etalase tadi. Sebenarnya buru-buru menghindari laki-laki yang kutemui tadi. Berharap cemas agar bisa segera keluar dari toko, tanpa harus bertemu dengannya lagi. Sedang mengantre di kasir, seorang perempuan menegur,
"Maaar..., ya ampun!"
"Sarah?"
"Iyaaaa, aku liburan sama keluarga besar, udah dua malam di sini, besok pagi mau pulang,"
Aku makin resah.
Ah, kenapa lah tak kudatangi besok saja ke toko ini.
"Eh, Mar, bentar, ya! -sambung Sarah lagi-
Bang Irwaaan, sini, deh! Liat ini siapa?"
Mati aku!
Dari mana harus kujelaskan sama suamiku sembari pulang nanti?
Sumber: Facebook Ismi Marnizar