Dua Puluh Ribu Rupiah
Sebuah sepeda motor berhenti di depan rumah saya. Saya sedang mengunci pintu, bersiap-siap menjemput anak ke sekolah, jam sekolah akan berakhir sekitar lima belas menit lagi.
"Alhamdulillah, akhirnya berjumpa juga," gumamnya. Perempuan itu membuka helmnya, turun dari motor dan menghampiri saya. Saya merasa heran, tapi berusaha tersenyum.
"Dari mana, Bu?" tanya saya.
"Saya ke sini mau bayar utang. Masih ingat saya? Kamu yang beli bensin buat saya pas waktu motor saya kehabisan bensin di jalan."
Saya menerka-nerka kapan kejadian itu terjadi.
Ah, benar.
Saat itu gerimis, karena saya sudah kadung berjanji pada pelanggan untuk mengirim paketnya di hari itu, meski harus berlindung dibawah jas hujan, saya tetap menepati janji itu. Saya memilih jalan alternatif yang lebih dekat. Jalan ini memang agak sepi. Dipagari hutan di sebelah kiri dan kanan jalan. Nyaris tidak ada kios atau orang berlalu lalang yang kita temui.
Separuh perjalanan, saya melihat seorang ibu berdiri di samping sepeda motornya.
"Bensin saya habis, buru-buru banget tadi, sampe dompet tak terbawa, hape pun tak terbawa," ia menjelaskan dengan wajah panik setelah saya tanya ada apa.
Tanpa berpikir panjang.
Tanpa berprasangka.
Saya kembali memutar arah, berniat membelikannya bensin di kios terdekat. Lumayan jauh, lebih dari dua kilometer.
Ia masih berdiam di sana, ketika saya kembali.
"Saya berutang padamu, Dek. Saya pasti akan membayarnya suatu saat," tegas ia setelah sepeda motornya bisa dioperasikan lagi.
"Tidak usah, Bu! Tidak perlu dianggap utang. Ini saya berikan cuma-cuma. Bisa jadi suatu hari nanti, saya yang berada pada kondisi seperti ibu, dan ditolong oleh orang lain lagi."
Kami berdua melanjutkan perjalanan setelah ia mengucapkan terima kasih. Dengan cepat saya melupakan kejadian itu. Bahkan saya tidak bisa mengingat wajahnya seandainya bertemu lagi.
Empat bulan lamanya berselang.
Ia hadir di depan rumah saya.
"Allahu Rabbi, kan sudah saya bilang itu bukan utang, Bu? Dan darimana Ibu tahu rumah saya?"
Ia menceritakan panjang lebar bagaimana akhirnya ia bisa menemukan rumah saya, karena menurut ceritanya, ia juga tidak ingat wajah saya, yang ia ingat hanya kacamata saya yang lensanya basah saat mengisi bensin ke dalam tangki sepeda motornya. Empat bulan ia mencari-cari alamat saya hanya untuk membayar utang sebesar dua puluh ribu rupiah.
Ini bukan tentang orang kaya atau miskin. Bukan tentang orang berpendidikan atau tidak. Bukan juga tentang jumlah utangnya banyak atau sedikit. Ini tentang akhlak dan tanggung jawab.
Sumber: Facebook Ismi Marnizar
"Alhamdulillah, akhirnya berjumpa juga," gumamnya. Perempuan itu membuka helmnya, turun dari motor dan menghampiri saya. Saya merasa heran, tapi berusaha tersenyum.
"Dari mana, Bu?" tanya saya.
"Saya ke sini mau bayar utang. Masih ingat saya? Kamu yang beli bensin buat saya pas waktu motor saya kehabisan bensin di jalan."
Saya menerka-nerka kapan kejadian itu terjadi.
Ah, benar.
Saat itu gerimis, karena saya sudah kadung berjanji pada pelanggan untuk mengirim paketnya di hari itu, meski harus berlindung dibawah jas hujan, saya tetap menepati janji itu. Saya memilih jalan alternatif yang lebih dekat. Jalan ini memang agak sepi. Dipagari hutan di sebelah kiri dan kanan jalan. Nyaris tidak ada kios atau orang berlalu lalang yang kita temui.
Separuh perjalanan, saya melihat seorang ibu berdiri di samping sepeda motornya.
"Bensin saya habis, buru-buru banget tadi, sampe dompet tak terbawa, hape pun tak terbawa," ia menjelaskan dengan wajah panik setelah saya tanya ada apa.
Tanpa berpikir panjang.
Tanpa berprasangka.
Saya kembali memutar arah, berniat membelikannya bensin di kios terdekat. Lumayan jauh, lebih dari dua kilometer.
Ia masih berdiam di sana, ketika saya kembali.
"Saya berutang padamu, Dek. Saya pasti akan membayarnya suatu saat," tegas ia setelah sepeda motornya bisa dioperasikan lagi.
"Tidak usah, Bu! Tidak perlu dianggap utang. Ini saya berikan cuma-cuma. Bisa jadi suatu hari nanti, saya yang berada pada kondisi seperti ibu, dan ditolong oleh orang lain lagi."
Kami berdua melanjutkan perjalanan setelah ia mengucapkan terima kasih. Dengan cepat saya melupakan kejadian itu. Bahkan saya tidak bisa mengingat wajahnya seandainya bertemu lagi.
Empat bulan lamanya berselang.
Ia hadir di depan rumah saya.
"Allahu Rabbi, kan sudah saya bilang itu bukan utang, Bu? Dan darimana Ibu tahu rumah saya?"
Ia menceritakan panjang lebar bagaimana akhirnya ia bisa menemukan rumah saya, karena menurut ceritanya, ia juga tidak ingat wajah saya, yang ia ingat hanya kacamata saya yang lensanya basah saat mengisi bensin ke dalam tangki sepeda motornya. Empat bulan ia mencari-cari alamat saya hanya untuk membayar utang sebesar dua puluh ribu rupiah.
Ini bukan tentang orang kaya atau miskin. Bukan tentang orang berpendidikan atau tidak. Bukan juga tentang jumlah utangnya banyak atau sedikit. Ini tentang akhlak dan tanggung jawab.
Sumber: Facebook Ismi Marnizar