Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Refleksi 40 Tahun Pernikahan

Tahun 2023 ini, usia saya 37tahun. Artinya Ayah dan Ibu saya sudah menikah selama 40 tahun. Berdasarkan keterangan Ibu, saya hadir dalam kandungan beliau setelah dua tahun menikah dengan Ayah.
Refleksi 40 Tahun Pernikahan

Ibu saya sangat tangguh. Seorang wanita yang sabar, rajin, kuat, tenaganya seakan tak pernah habis, sangat menjaga kebersihan, rajin beribadah, tidak suka bergosip, sempurna dalam melayani keluarga dan masakannya sangat enak.

Sementara Ayah sangat family man. Ayah sangat dekat dengan kami. Sering membuat mainan untuk kami, senang menemani kami bermain, begitu pulang dari kantor, Ayah langsung pulang ke rumah, sampai malam tiba, Ayah tidak pernah ke warung kopi. Kecuali pada sore hari tertentu, beliau pamit bermain bola sampai magrib. Selesai magrib, kami semua anak-anaknya, mengaji bersama Ayah.

Bagi saya, Ayah adalah seorang laki-laki sempurna, menjadi rule model dalam tipikal saya mencari suami. Ayah juga teman yang asyik dalam bergosip. Sampai sekarang setiap kali saya berkesempatan pulang kampung, Ayah senantiasa menjadi teman bergosip yang asyik. Jauh lebih asyik dari suami saya. Hahaha.

Saya dan adik-adik merasakan kasih sayang penuh dari kedua orang tua. Keluarga yang sangat humoris dan hangat. Benar-benar hangat.

Selama 40 tahun, apakah Ibu dan Ayah tidak pernah berkonflik? Sering. Dan konflik itu terang-terangan terjadi di depan kami. Saya adalah saksi hidup sekaligus anak yang paling sering dilibatkan setiap kali terjadi pertikaian. Mungkin karena Ibu mengganggap saya anak yang paling tua. Mulai dari saya berusia SD sampai saya menikah dan punya dua orang anak, konflik rumah tangga antara ibu dan Ayah tidak pernah usai. Timbul tenggelam, mungkin selama hayat masih di kandung badan.

Pernahkah mereka berniat bercerai?

Mungkin lebih dari sepuluh kali. Puncaknya sesaat setelah saya menikah.

"Apalagi syarat-syaratnya, Mar? Sebelum kita ke KUA besok lusa?" Napas ibu tersenggal-sengal sambil menahan tangisan.

"Mak.. tolonglah, Mak..., sabar... "

"Apa lagi? Sudah 24 tahun Aku sabar, tau? Sabar apa lagi? Cepat kau tanya Mamak kawan kau itu, yang kerja di KUA, apalagi syarat-syaratnya? Biar cepat selesai. Udah muak kali Aku."

"Maaak.....tolonglaah..., sayang adek. "

"Kau pilih Aku atau Ayahmu, hah? Cepat tanya!"

"Besok saya tanya langsung saja, Mak. Sepulang kuliah. Ngga enak kita telpon malam-malam."

Keesokan harinya menjelang magrib, dari Banda Aceh saya menelpon Ibu di kampung.

"Mak, udah lengkap syarat-syaratnya, ini. Udah saya sms ya..."

"Syarat apa? Buat apa? Lagi sibuk Aku ini."

"Lho? Mak lagi dimana? Kok ribut kali?"

"Lagi belanja di pasar sama Ayah. Ayahmu minta dimasakin sayur jagung. Nanti Mak telpon lagi ya, repot kali pegang hape ini."

Sebelum telepon saya tutup, samar-samar terdengar percakapan Ibu dan Ayah,

"Tolong pengang hapeku bentar, Bang Di (panggilan Mak buat Ayah), Si Marnizar telpon, entah apa dia bilang."

Ambooiiilaaah....

Tinggallah saya yang bengong, membaca kembali sms yang sudah terkirim ke hape Ibu berisi syarat-syarat gugatan cerai yang mungkin akan dibaca oleh Ayah sambil tertawa..

Sumber: Facebook Ismi Marnizar