Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pengertian Interaksi Sekolah dan Masyarakat

Pengertian Interaksi Sekolah dan Masyarakat

BAB II
INTERAKSI SEKOLAH DAN MASYARAKAT DALAM MENINGKATKAN MUTU PEMBELAJARAN

A.    Pengertian Interaksi Sekolah dan Masyarakat

Istilah interaksi dengan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh presiden Amerika Serikat, Thomas Jefferson tahun 1807 dengan istilah Public Relations. Hingga saat ini pengertian interaksi dengan masyarakat itu sendiri belum mencapai suatu mufakat konvensional. Adapun pengertian interaksi dengan masyarakat menurut Abdurrachman ialah kegiatan untuk menanamkan dan memperoleh pengertian, good will, kepercayaan, penghargaan dari publik sesuatu badan khususnya dan masyarakat pada umumnya.[1]
Sedangkan menurut Syamsi, interaksi dengan masyarakat adalah untuk mengembangkan opini publik yang positif terhadap suatu badan, publik harus diberi penerangan-penerangan yang lengkap dan obyektif mengenai kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan mereka, sehingga dengan demikian akan timbul pengertian darinya. Selain itu pendapat-pendapat dan saran-saran dari publik mengenai kebijaksanaan badan itu harus diperhatikan dan dihargai. Interaksi sekolah dengan masyarakat merupakan jalinan interaksi yang diupayakan oleh sekolah agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat untuk mendapatkan aspirasi, simpati dari masyarakat. Dan mengupayakan terjadinya kerjasama yang baik antar sekolah dengan masyarakat untuk kebaikan bersama, atau secara khusus bagi sekolah penjalinan interaksi tersebut adalah untuk mensuksekan program-program sekolah yang bersangkutan sehingga sekolah tersebut bisa tetap eksis.
Pengertian Interaksi sekolah dengan masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja atau sungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinuuntuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publik pada khususnya, sehingga kegiatan operasional sekolah atau pendidikan semakin efektif dan efisien demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Humas sebagai penghubung dari pihak sekolah dengan masyarakat harus selalu dipelihara dengan baik karena sekolah akan selalu berhubungan dengan masyarakat, tidak bisa lepas darinya sebagai partner sekolah dalam mencapai kesuksesan sekolah itu sendiri. Prestise sekolah semakin tinggi di mata masyarakat jika sekolah mampu melahirkan peserta didik yang cerdas, berkepribadian dan mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya dalam memajukan masyarakat.[2]
Sekolah harus selalu siap mengantarkan peserta didik terjun langsung ke masyarakat diantaranya dengan membekali peserta didik dengan pengetahuan, nilai-nilai dan ketrampilan-ketrampilan khusus baik melalui kegiatan intra maupun ekstra. Jadi bila kita tarik garis merah secara general , maka pengertian hubungan sekolah dengan masyarakat adalah rangkaian kegiatan organisasi atau instansi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat atau pihak-pihak tertentu di luar organisasi tersebut, agar mendapatkan dukungan terhadap efisiensi dan efektivitas pelaksanaan kerja seara sadar dan sukarela.
Pendidikan adalah tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua, dan masyarakat. Tanpa dukungan masyarakat, pendidikan tidak akan berhasil dengan maksimal. Sekarang hampir semua sekolah telah mempunyai komite sekolah yang merupakan wakil masyarakat dalam membantu sekolah, sebab masyarakat dari berbagai lapisan sosial ekonomi sudah sadar betapa pentingnya dukungan mereka untuk keberhasilan pembelajaran di sekolah.
Sebetulnya banyak sekali jenis-jenis dukungan masyarakat pada sekolah. Namun sampai sekarang dukungan tersebut lebih banyak pada bidang fisik dan materi, seperti membantu pembangunan gedung, merehab sekolah, memperbaiki genting, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat membantu dalam bidang teknis edukatif antara lain menjadi guru bantu, sumber informasi lain, guru pengganti, mengajar kebudayaan setempat, ketrampilan tertentu, atau sebagai pengajar tradisi tertentu. Namun demikian, hal tersebut belumlah terwujud karena berbagai alasan.[3]
Pada dasarnya masyarakat baik yang mampu maupun yang tidak mampu, golongan atas, menengah maupun yang bawah, memiliki potensi yang sama dalam membantu sekolah yang memberikan pembelajaran bagi anak-anak mereka. Akan tetapi hal ini bergantung pada bagaimana cara sekolah mendekati masyarakat tersebut. Oleh karena itu, sekolah harus memahami cara mendorong peran serta masyarakat agar mereka mau membantu sekolah.
Hubungan dengan masyarakat adalah untuk mengembangkan opini publik yang positif terhadap suatu badan, publik harus diberi penerangan-penerangan yang lengkap dan obyektif mengenai kegiatan-kegiatan yang menyangkut kepentingan mereka, sehingga dengan demikian akan timbul pengertian darinya. Selain itu pendapat-pendapat dan saran-saran dari publik mengenai kebijaksanaan badan itu harus diperhatikan dan dihargai.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan jalinan interaksi yang diupayakan oleh sekolah agar dapat diterima di tengah-tengah masyarakat untuk mendapatkan aspirasi, simpati dari masyarakat. Dan mengupayakan terjadinya kerjasama yang baik antar sekolah dengan masyarakat untuk kebaikan bersama, atau secara khusus bagi sekolah penjalinan hubungan tersebut adalah untuk mensuksekan program-program sekolah yang bersangkutan sehingga sekolah tersebut bisa tetap eksis.
B.    Tujuan Interaksi Sekolah dan Masyarakat dalam Pembelajaran
Dalam paradigma lama, hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat dipandang sebagai institusi yang terpisah-pisah. Pihak keluarga dan masyarakat dipandang tabu untuk ikut campur tangan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Apalagi sampai masuk ke wilayah kewenangan profesional para guru. Dewasa ini, paradigma lama ini dalam batas-batas tertentu telah ditinggalkan. Keluarga memiliki hak untuk mengetahui tentang apa saja yang diajarkan oleh guru di sekolah. Orangtua siswa memiliki hak untuk mengetahui dengan metode apa anak-anaknya diajar oleh guru-guru mereka. Dalam paradigma transisional, hubungan keluarga dan sekolah sudah mulai terjalin, tetapi masyarakat belum melakukan kontak dengan sekolah. Dalam paradigma baru (new paradigm) hubungan keluarga, sekolah, dan masyarakat harus terjalin secara sinergis untuk meningkatkan mutu layanan pendidikan, termasuk untuk meningkatkan mutu hasil belajar siswa di sekolah.
Sekolah adalah sebuah pranata sosial yang bersistem, terdiri atas komponen-komponen yang saling terkait dan pengaruh mempengaruhi. Komponen utama sekolah adalah siswa, pendidik dan tenaga kependidikan lainnya, kurikulum, serta fasiltias pendidikan. Selain itu, pemangku kepentingan (stakeholder) juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan. Dalam hal ini orangtua dan masyarakat merupakan pemangku kepentingan yang harus dapat bekerja sama secara sinergis dengan sekolah.
Hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun dengan tujuan popularitas sekolah di mata masyarakat. Popularitas sekolah akan tinggi jika mampu menciptakan program-program sekolah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan cita-cita bersama dan dari program tersebut mampu melahirkan sosok-sosok individu yang mapan secara intelektual dan spiritual. Dengan popularitas ini sekolah eksis dan semakin maju. Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat diantaranya sebagai berikut:
Pertama, Memberi penjelasan tentang kebijaksanaan penyelenggaraan sekolah situasi dan perkembangannya. Kedua, Menampung sarana-sarana dan pendapat-pendapat dari warga sekolah dalam hubungannya dengan pembinaan dan pengembangan sekolah. Ketiga, Dapat memelihara hubungan yang harmonis dan terciptanya kerja sama antar warga sekolah sendiri.
Sedangkan menurut Mulyasa tujuan dari hubungan sekolah dengan masyarakat adalah: pertama,memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik; kedua,memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat; dan ketiga, menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah.[4]
Pendidikan (sekolah) dan kehidupan masyarakat amat saling pengaruh mempengaruhi dengan bermacam-macam cara: Pertama, pendidikan dipengaruhi oleh keadaan masyarakat, antara lain keadaan sosial ekonominya: faktor kesenjangan sosial ekonomi akan mempengaruhi strategi dalam perencanaan pendidikan. Kedua, Pendidikan mempengaruhi kehidupan bermasyarakat dengan memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pendidikan akal, budi pekerti dan kerohanian kepada anak didik atau generasi muda yang langsung atau tidak langsung menentukan jenis pekerjaannya di kemudian hari: profesinya akan menempatkan dia pada tingkat sosial ekonomi tertentu dan mempengaruhi perkembangan seterusnya.
Hubungan sekolah dengan masyarakat dibangun dengan tujuan popularitas sekolah di mata masyarakat. Popularitas sekolah akan tinggi jika mampu menciptakan program-program sekolah yang bermutu dan relevan dengan kebutuhan dan cita-cita bersama dan dari program tersebut mampu melahirkan sosok�sosok individu yang mapan secara intelektual dan spiritual. Dengan popularitas ini sekolah eksis dan semakin maju. Tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat diantaranya sebagai berikut: Pertama, memberi penjelasan tentang kebijaksanaan penyelenggaraan sekolah situasi dan perkembangannya. Kedua, Menampung sarana-sarana dan pendapat-pendapat dari warga sekolah dalam hubungannya dengan pembinaan dan pengembangan sekolah. Ketiga, Dapat memelihara hubungan yang harmonis dan terciptanya kerja sama antar warga sekolah sendiri.
Sedangkan menurut Mulyasa, tujuan dari hubungan sekolah dengan masyarakat adalah: (1) memajukan kualitas pembelajaran dan pertumbuhan peserta didik; (2) memperkokoh tujuan serta meningkatkan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat; dan (3) menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubungan dengan sekolah[5].
Di negara-negara sedang berkembang, program-program pembangunan termasuk perogram pendidikan diarahkan kepada perbaikan mutu hidup. Pemerintah dan masyarakat percaya bahwa hanya dengan pendidikanlah negara akan mencapai kemajuan-kemajuan. Dengan pndidikan dapat dihasilkan bentuk kehidupan masyarakat yang lebih baik karena dilengkapi dengan ahli-ahli dari berbagai bidang seperti industri dan teknologi, kesehatan, pertanian, keuangan, manajemen dan ahli pendidikan.
Kegiatan pendidikan pada hakekatnya adalah pembangunan manusia dan pembangunan seluruh masyarakat yang maju dan berkepribadian. Karena itu pendidikan sebagai bagian dari kebudayaan tidak berdiri sendiri sebab pendidikan adalah suatu institusi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu kejadian-kejadian atau masalah-masalah yang terjadi di masyarakat dengan sendirinya pula, sedikit atau banyak akan berpengaruh terhadap pendidikan. Demikian juga sebaliknya setiap perubahan suatu rencana dengan sendirinya akan memperlihatkan pengaruh dalam masyarakat walaupun mungkin menunggu dalam jangka tertentu. Sebagai contoh sederhana pembangunan gedung sekolah dasar (SD) yang bagus disuatu desa dan dilengkapi dengan fasilitas yang sesuatu dengan standar serta dibarengi dengan guru yang pandai mengajar dengan sendirinya akan meningkatkan keinginan anak-anak untuk bersekolah dan keinginan orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Tidak dapat kita pungkiri bahwa perubahan yang terjadi dalam pernecanaan pendidikan akan sangat berpengaruh terhadap masyarakat atau sistem sosial. Hal ini dikarenakan pendidikan berkaitan dan saling pengaruh mempengaruhi bahakan saling bergantung. Karena itu seorang pereencana pendidikan perlu mngetahui aspek-aspek sosial dan ekonomi yang mempunyai hubungan dan peran dalam pertu7mbuhan dan perubahan pendidikan. Dan perlu di sadari bahwa masing-masing aspek memberikan pengaruh yang berbeda-beda kepada perencanaan pendidikan.
Adanya kesempatan untuk menduduki jabatan tertentu dalam segala bidang bagi orang yang mampu misalnya dengan sendirinya mengubah sikap masyarakat terhadap pendidikan. Pendidikan bukan lagi milik golongan atau sekelompok masyarakat tertentu dan karena itu aspirasi masyarakat terhadap pendidikan menjadi makin tinggi. Ini merupakan salah satu perubahan sosial yang penting dan sangat berguna.
Pendidikan merupakan alat yang paling efektif untuk menaikkan status sosial seseorang. Seorang petani melihat baha putranya dapat menjadi seorang dokter melalui pendidikan yang baik. Demikian juga, setelah belajar sambil mengajar, seorang guru SD berhasil meningkatkan statusnya menjadi seorang dosen di Perguruan Tinggi[6]. Dalam hal ini pendidikan memperbaiki kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan memberikan sumbangan yang besar untuk terjadinya suatu mobilitas sosial. Dalam contoh di atas pendidikan berfungsi sebagai �Social elevator� atau peningkatan status sosial.
Bersamaan dengan peningkatan tersebut, individu yang bersangkutan dapat meningkatkan kualitas hisupnya, misalnya memperpanjang kesempatan dalam hidup yang sifatnya produktif, lebih giat bekerja, lebih mampu mengikuti beraneka ragam kegiatan yang memberikan kepuasan, lbih dapat menikmati hasil kerja dan sebagainya. Karena itu tidak mengherankan jikalau masyarakat desa dan kota makin cenderung menaruh minat kepada pendidikan. Makin disadari bahwa pendidikan adalah salah satu jalan untuk meningkatkan kesejahteraan perorangan dan masyarakat.
Karena aspirasi masyarakat untuk memasuki pendidikan begitu besar dan menyebar luas, maka penyusun kebijaksanaan, perencanaan mengahadapi suatu masalah pokok yaitu bagaimana caranya supaya kesempatan untuk mendapatkan pendidikan menjadi merata, antara desa dan kota dan antara pria dan wanita. Pemerataan kesempatan belajar harus dijamin kalau memang pendidikan dapat memberi kesempatan untuk memperbaiki hidup seseorang. Untuk ini perencanaan pendidikan mengahadapi tiga hambatan penting: Pertama, Masalah bagaimana mendapatkan pendidikan secara mudah. Pendidikan harus memberikan kesempatan kepada masyarakat secara merata. Dalam hal ini perencanaan pendidikan menemukan kesulitan karena fasilitas yang tersedia dan sumber penyediaan terbatas. Kedua, Fasilitas dan mutu pendidikan berbeda antara kota dengan desa bahkan sekolah di kota dan antar sekolah di desa[7]. Walaupun semua anak mempunyai kesempatan belajar yang sama belum tentu semuanya mendapat pendidikan yang sama karena perbedaan jumlah dan mutu fasilitas, perbedaan kualifikasi guru, lingukngan, pendidikan dan ekonomi orang tua dan sebagainya. Dalam hal ini perencana pendidikan harus mengambil keputusan serta pelaksanaan harus: pertama, memanfaatkan fasilitas dan dana yang tersedia atas prinsip pemerataan kesempatan menerima pendidikan. Kedua, memikirkan batas-batas kebutuhan pasaran tenaga kerja. Ketiga, Sutuasi masyarakat dengan aspirasinya yang selalu bergerak di negara yang sedang berkembang. Pergerakan ini dipengaruhi oleh faktor pembangunan di sektor lain di samping daya tarik lembaga-lembaga pendidikan itu sendiri[8]. Ada masanya masyarakat sangat tertarik kepada pendidikan menengah kejuruan dan aspirasi ini harus ditampung dan tergambar dalam perencanaan pendidikan.
Perlu diingat bahwa pendidikan bermaksud melayani kebutuhan masyarakat dalam arti menambah kemampuan masyarakat untuk dapat bertahan dan mengembangkan diri dalam semua aspek kehidupan. Karena itu materi yang disampaikan kepada anak didik harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat di mana kelak mereka terjun. Perlu direncanakan kurikulum yang berorientasi langsung pada masyarakat sehingga anak didikpun tidak terasing dari lingkungannya. Kemudian tidak dapat diingkari bahwa hubungan pendidikan dengan masyarakat sangat erat dan saling mempengaruhi, oleh karena itu perlu dilakukan pengelolaan yang baik agar tercipta generasi yang siap terjun kedalam lingkungan masyarakat.
C.    Kompetensi Guru dalam Berinteraksi dengan Masyarakat dan Orang Tua Murid

Kompetensi merupakan hal yang sangat penting bagi seorang guru karena guru harus memiliki keahlian dibidang mengajar yakni menguasai bahan yang akan diajarkan kepada siswa. Profesi sebagai guru harus mempunyai keahlian khusus di bidang yang menjadi tanggung jawabnya. Piet A. Sahertian menyatakan yang dimaksud dengan kompetensi dan profesional adalah �kemampuan dalam  menguasai akademik (mata pelajaran yang diajarkan, dan terpadu dengan kemampuan mengajarnya sekaligus sehingga guru itu memiliki wibawa akademis.�[9]
Uraian di atas dapat diketahui bahwa kemampuan seorang guru dalam penguasaan akademis sangat penting karena dengan landasan professional seorang pendidik sudah mempunyai kriteria yang diharapkan selaku pengajar sekaligus telah memiliki keahlian khusus di bidang mengajar. Menurut Barlow, sebagaimana dikutip oleh Muhibbin Syah, kompentensi guru berasal dari bahasa Inggris �Teacher competency� yaitu the ability of a teacher toresponsibly perform his or her duties appropriately, artinya kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak.[10]Jadi kompetensi professional guru dapat diartikan sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesi keguruannya. Artinya guru yang piawai dalam melaksanakan profesinya dapat disebut guru yang kompetensi dan professional.
Berkaitan dengan hal diatas, maka seorang guru harus memiliki kompetensi yang memadai tentang proses pembelajaran, dalam usaha untuk mengantarkan siswa ketaraf tujuan yang dikehendaki. Oleh karena itu setiap rencana kegiatan semata-mata demi kepentingan anak didik, sesuai dengan tanggung jawab profesinya.
Dalam rangka umum, mutu mengandung makna derajat (tingkat) keunggulan suatu produk (hasil kerja/upaya) baik berupa barang maupun jasa; baik yang tangible maupun yang intangible. Dalam konteks pendidikan pengertian mutu, dalam hal ini mengacu pada proses pendidikan dan hasil pendidikan[11]. Dalam "proses pendidikan" yang bermutu terlibat berbagai input, seperti; bahan ajar (kognitif, afektif, atau psikomotorik), metodologi (bervariasi sesuai kemampuan guru), sarana sekolah, dukungan administrasi dan sarana prasarana dan sumber daya lainnya serta penciptaan suasana yang kondusif. Manajemen sekolah, dukungan kelas berfungsi mensinkronkan berbagai input tersebut atau mensinergikan semua komponen dalam interaksi (proses) belajar mengajar baik antara guru, siswa dan sarana pendukung di kelas maupun di luar kelas; baik konteks kurikuler maupun ekstra-kurikuler, baik dalam lingkup subtansi yang akademis maupun yang non-akademis dalam suasana yang mendukung proses pembelajaran. Mutu dalam konteks "hasil pendidikan" mengacu pada prestasi yang dicapai oleh sekolah pada setiap kurun waktu tertentu (apakah tiap akhir cawu, akhir tahun, 2 tahun atau 5 tahun, bahkan 10 tahun). Prestasi yang dicapai atau hasil pendidikan (student achievement) dapat berupa hasil test kemampuan akademis (misalnya ulangan umum, Ebta atau Ebtanas). Dapat pula prestasi di bidang lain seperti prestasi di suatu cabang olah raga, seni atau keterampilan tambahan tertentu misalnya: komputer, beragam jenis teknik, jasa. Bahkan prestasi sekolah dapat berupa kondisi yang tidak dapat dipegang (intangible) seperti suasana disiplin, keakraban, saling menghormati, kebersihan, dsb.
Antara proses dan hasil pendidikan yang bermutu saling berhubungan. Akan tetapi agar proses yang baik itu tidak salah arah, maka mutu dalam artian hasil (ouput) harus dirumuskan lebih dahulu oleh sekolah, dan harus jelas target yang akan dicapai untuk setiap tahun atau kurun waktu lainnya. Berbagai input dan proses harus selalu mengacu pada mutu-hasil (output) yang ingin dicapai. Dengan kata lain tanggung jawab sekolah dalam school based quality improvement bukan hanya pada proses, tetapi tanggung jawab akhirnya adalah pada hasil yang dicapai . Untuk mengetahui hasil/prestasi yang dicapai oleh sekolah ' terutama yang menyangkut aspek kemampuan akademik atau "kognitif" dapat dilakukan benchmarking (menggunakan titik acuan standar, misalnya :NEM oleh PKG atau MGMP). Evaluasi terhadap seluruh hasil pendidikan pada tiap sekolah baik yang sudah ada patokannya (benchmarking) maupun yang lain (kegiatan ekstra-kurikuler) dilakukan oleh individu sekolah sebagai evaluasi diri dan dimanfaatkan untuk memperbaiki target mutu dan proses pendidikan tahun berikutnya. Dalam hal ini RAPBS harus merupakan penjabaran dari target mutu yang ingin dicapai dan skenario bagaimana mencapainya.
Kompetensi merupakan gambaran hakikat kualitatif dari perilaku seseorang. Kompetensi merupakan kapasitas untuk melakukan sesuatu, yang dihasilkan dari proses belajar[12]. Selama proses belajar stimulus akan bergabung dengan isi memori dan menyebabkan terjadinya perubahan kapasitas untuk melakukan sesuatu. Apabila individu sukses mempelajari cara melakukan satu pekerjaaan yang kompleks dari sebelumnya, maka pada diri individu tersebut pasti sudah terjadi perubahan kompetensi. Perubahan kompetensi tidak akan tampak apabila selanjutnya tidak ada kepentingan atau kesempatan untuk melakukannya. Dengan demikian bisa diartikan bahwa kompetensi adalah berlangsung lama yang menyebabkan individu mampu melakukan kinerja tertentu.[13]
Peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan mutu pendidikan formal. Untuk itu guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya, dalam kerangka pembangunan pendidikan. Guru mempunyai fungsi dan peran yang sangat strategis dalam pembangunan bidang pendidikan, dan oleh karena itu perlu dikembangkan sebagai profesi yang bermartabat. Undang-Undang No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 4 menegaskan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Untuk dapat melaksanakan fungsinya dengan baik, guru wajib untuk memiliki syarat tertentu, salah satu di antaranya adalah kompetensi.
D.    Fungsi Interaksi Guru dan Masyarakat dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran

Kegiatan belajar dan pembelajaran perlu dikelola dengan baik. Menurut Tight mengelola pembelajaran adalah rangkaian kegiatan penyampaian bahan pelajaran kepada siswa agar dapat menerima, menanggapi, menguasai, dan mengembangkan bahan pelajaran dan merupakan sebuah cara dan proses hubungan timbal balik antara siswa dengan guru yang sama-sama aktif melakukan kegiatan[14]. Batasan tersebut selaras dengan pendapat Tim Wollonggong bahwa mengelola pembelajaran merupakan suatu aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkan dengan kebutuhan siswa, sehingga terjadi proses belajar[15].
Batasan mengelola pembelajaran secara lebih sederhana dikemukakan Crowl bahwa mengelola pembelajaran sebagai perbuatan yang dilakukan seseorang dengan tujuan membantu atau memudahkan orang lain melakukan kegiatan belajar[16]. Dalam kegiatan mengelola pembelajaran seorang guru melakukan suatu proses perubahan positif pada tingkah laku siswa yang ditandai dengan berubahnya pengetahuan, pemahaman, sikap, keterampilan, kecakapan dan kompetensi serta aspek lain pada diri siswa, sedangkan perubahan tingkah laku adalah keadaan lebih meningkat dari keterampilan, sikap, pengetahuan, pemahaman dan aspirasi.
Pada proses pembelajaran interaktif, perlu diusahakan adanya hubungan timbal balik antara guru dan siswa dan antar siswa sendiri. Proses pembelajaran inspiratif yang diselenggarakan hendaknya dapat mendorong semangat untuk belajar dan timbulnya inspirasi pada peserta didik untuk memunculkan ide baru, mengembangkan inisiatif dan kreativitas. Proses pembelajaran juga diusahakan agar dapat mengarahkan siswa untuk mencari pemecahan masalah, mengembangkan semangat tidak mudah menyerah, melakukan percobaan untuk menjawab keingintahuannya. Proses pembelajaran harus dapat memotivasi siswa untuk berpartisipasi aktif, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat dalam setiap peristiwa belajar yang sedang dilakukan.  Guru adalah posisi yang strategis bagi pemberdayaan dan pembelajaran suatu bangsa yang tidak mungkin digantikan oleh unsur manapun dalam kehidupan sebuah bangsa sejak dahulu. Semakin signifikannya keberadaan guru melaksanakan peran dan tugasnya semakin terjamin terciptanya kehandalan dan terbinanya kesiapan seseorang[17]. Dengan kata lain potret manusia yang akan datang tercermin dari potret guru di masa sekarang dan gerak maju dinamika kehidupan sangat bergantung dari �citra� guru di tengah-tengah masyarakat.
Secara garis besar proses interaksi guru dan anak didik dapat dikelompokan dalam tiga tahapan pokok yaitu pertama,identifikasi kelemahan pembelajar, agar pembelajar sendiri menyadari dan mengakui segi-segi apa yang perlu mendapat peningkatan dalam kemampuan profesionalnya, kedua, usaha membantu pembelajar mengatasi kekurangannya dan kemampuan profesionalnya sebagai pembelajar, ketiga, usaha meningkatkan proses pembelajaran, sehingga anak didik belajar lebih baik dengan hasil yang lebih baik. Jika semua tertata dengan baik dan tetap terjalinnya interaksi guru dan anak didik, pada dasarnya kemajuan teknologi komputer dan komunikasi menyediakan peluang untuk meningkatkan kognisi manusia, interaksi, dan bahkan hubungan sosial. Oleh karena itu, keberadaan guru (agen paedagogis) dapat dirancang untuk mensimulasikan interaksi sosial yang dapat memfasilitasi peserta didik untuk terlibat dalam tugas belajar dan meningkatkan pembelajaran di lingkungan sekolah.








[1]Winkel, Keberhasilan Belajar Siswa , (Bandung: Rosda Karya, 2002), hal. 29.
[2]Gunawan, Ary. Administrasi Sekolah. (Jakarta: PT Rineka Cipta. 1996), hal. 33.
[3] http://sulanam.sunan-ampel.ac.id/?p=27.
[4]Mulyasa, Endang. Manajemen Berbasis Sekolah. (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 200), hal. 50.

[5]Mulyasa, Endang, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2007), hal. 50.
[6]Enoch, Jusuf, Dasar-Dasar Perencanaan Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), hal. 30.
[7]Fuad Ihsan, Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 19-20.

[8] Ibid., hal. 21.
[9]Piet Sahertian, Ida Alaeida Sahertian, SupervisiPendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 6.

[10]Muhibbin Syah Wardan, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosda Karya,1995),  hal.229.

[11]Semiawan, Conny R., dan Soedijarto, Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI, (Jakarta: PT. Grasindo, 1991), hal. 38.
[12]Dikmenum, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), (Jakarta: Depdikbud, 1999), hal. 29.

[13]Vincent Gaspersz, Membangun Tujuh Kebiasaan Kualitas (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1997), hal. 35-36.
[14] Dikmenum, Peningkatan..., hal. 43.

[15] Ibid., hal. 44.

[16] Ibid.,
[17]Suryosubroto, Manajemen Pendidikan Di Sekolah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hal. 44.