Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pengertian Pengangkatan Anak


BAB I
P E N D A H U L U A N


A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang universal yang mengatur segenap tatanan hidup manusia. Sistem dan konsep yang dibawa Islam sesungguhnya padat nilai dan memberikan manfaat yang luar biasa kepada umat manusia. Konsepnya tidak hanya berguna pada masyarakat muslim tetapi dapat dinikmati oleh siapapun. Sistem Islam ini tidak mengenal batas, ruang dan waktu, tetapi selalu baik kapan dan di mana saja tanpa menghilangkan faktor-faktor kekhususan suatu masyarakat. Semakin utuh konsep itu diaplikasikan, semakin besar manfaatyang diraih.
Di sisi lain, Syariat Islam banyak dipahami orang secara keliru. Penyebab utama adalah faktor “keawaman” terhadap hukum Allah ini, juga tak dapat dipungkiri keterlibatan barat dalam memperburuk asumsi ini. Allah SWT yang menciptakan manusia, tidak mungkin menetapkan yang tidak relevan dengan kehidupan manusia. Allah maha mengetahui segala sesuatu, termasuk sifat dan sikap, baik secara individu maupun sosial.
Di antara beberapa hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam kaitannya dengan sesama manusia adalah hukum adopsi ( ÓÄJM ) yang berhubungan dengan hak pemeliharaan anak (Hadhonah). Anak-anak adalah kelompok rentan yang membutuhkan perlindungan khusus, dalam Konvensi Hak Anak (KHA) ditetapkan bahwa anak terpisah, anak menjadi pengungsi, korban kerusuhan, korban bencana alam, anak korban trafficking, penculikan dan anak dalam situasi konflik dikategorikan berada dalam situasi darurat.
BAB II
P E M B A H A S A N

A.    Pengertian Pengangkatan Anak
Ada dua pengertian tentang pengangkatan anak, yaitu :
Secara Etimologi Pengangkatan anak disebut juga dengan istilah lain yaitu adopsi. Adopsi berasal dari kata “adoptie” (bahasa Belanda) yang artinya pengangkatan seorang anak untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Sedangkan menurut bahasa Inggris yaitu “adoption” yang berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak.
Secara Terminologi Pengertian pengangkatan anak secara terminology dikemukakan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut :
Menurut Arif Gosita, SH. dalam bukunya “masalah perlindungan anak”,
bahwa : Pengangkatan anak adalah suatu tindakan mengambil anak orang lain untuk dipelihara dan diperlakukan sebagai anak keturunannya sendiri, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama dan sah menurut hukum yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan[1].
Menurut B. Bastian Tafal, SH. di dalam bukunya “Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta Akibat-akibat Hukumnya di Kemudian Hari” bahwa pengangkatan anak adalah usaha untuk mengambil anak bukan keturunan dengan maksud untuk memelihara dan memperlakukannya sebagai anak sendiri.[2]

B.    Adopsi dalam Tinjauan Islam
Tradisi pengangkatan anak (adopsi) sebenarnya sudah dikenal jauh sebelum islam datang, seperti yang dilakukan oleh bangsa yunani, romawi, india, dll. Begitu pula di kalangan bangsa arab zaman jahiliyah. Pada saat itu, anak adopsi diafiliasikan kepada ayah angkatnya secara total, laiknya anak kandung, dalam arti anak angkat bisa menerima waris, mahram dengan anak serta istri ayah angkatnya, begitu juga sebaliknya.[3]
Sebelum periode kenabian, Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil al-Kalbi, sehingga Zaid masyhur dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Hingga akhirnya turunlah surah al-Ahzab: 4-5, sebagai berikut:
مَّا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّن قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللَّائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ, ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً) الأحزاب: ٤ -٥ (

Artinya:    Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar), Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu . Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( Qs. al-Ahzab: 4-5 )

Ayat diatas intinya melarang pengangkatan anak yang mengakibatkan hukum seperti di atas.
Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam juga melarang menyandangkan predikat ayah bukan kepada ayah yang hakiki. Beliau bersabda: Barangsiapa yang disebut bukan kepada bapaknya atau berafiliasi bukan kepada walinya, maka baginya laknat Allah yang berkelanjutan” (HR. Abu Dawud). Karena itu, dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits di atas, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa hukum Islam tidak mengakui anak angkat dengan konsekwensi hukum seperti pernah dipraktikkan masyarakat jahiliyah.
Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, mengemukakan bahwa setidaknya ada dua pengertian dalam adopsi. Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik, tanpa label atau status “anak kandung”. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya, dan saling mewarisi harta peninggalan, dll.[4]
Anak angkat dalam pengertian yang pertama lebih didasari oleh perasaan seseorang yang menjadi orang tua angkat untuk membantu orang tua kandung dari anak angkatnya, agar anak angkat itu bisa dididik dan disekolahkan, sehingga nantinya anak itu diharapkan bisa mandiri serta meningkatkan taraf kehidupannya di masa mendatang. Sedangkan anak angkat dalam pengertian yang kedua terkait secara hukum, seperti statusnya, akibat hukumnya, dls.
C.    Status Hukum Anak Angkat ( Adopsi )
Ada dua status hukum yang terkait dengan permasalahan anak angkat.
1.     Dalam warisan.
Antara anak angkat dan orang tua angkat tidak ada hubungan warisan atau tidak berhak saling mewarisi antara satu dengan yang lain. Sebab hak waris dalam Islam hanya disebabkan tiga faktor, yakni al-qarâbah (kekerabatan atau seketurunan), al-mushâharah (hasil perkawinan), al-walâ’ (hubungan perwalian antara budak dengan orang yang memerdekakannya).
Namun mengingat hubungan sudah akrab antara anak angkat dan orang tua angkat, serta memperhatikan jasa baik terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka Islam tidak menutup peluang anak angkat untuk mendapat bagian dari harta orang tua angkatnya, akan tetapi bukan atas nama warisan, melainkan dengan cara hibah dan wasiat yang ditulis atau diucapkan oleh orang tua angkatnya.
2.     Dalam perkawinan.
Dalam Islam telah diatur siapa saja yang dilarang kawin satu sama lain (QS. 4:23). Larangan ini hanya berlaku bagi yang berhubungan darah atau satu keluarga dari garis lurus ke atas dan ke bawah, serta garis menyamping, termasuk mertua, menantu dan anak tiri yang ibunya telah digauli oleh ayah tirinya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu larangan di atas, sebab ia berada di luar kekerabatan orang tua angkatnya. Oleh karena itu orang tua angkatnya boleh saling kawin, begitu juga orang tua angkatnya tidak berhak menjadi wali nikahnya.[5]
Dengan demikian, adopsi atau pengangkatan anak tidak mempengaruhi kemahraman anatara anak angkat dan orang tua angkatnya. Anak angkat tidak termasuk dalam salah satu unsur kemahraman itu, sehingga antara kedua belah pihak tidak ada larangan saling mengawini dan tetap tidak boleh saling mewarisi.
D.    Hikmah Adopsi Menurut Syariah
Ada beberapa hikmah dibalik adopsi yang dilarang dalam Islam, di antaranya adalah:
1.     Untuk menghindarkan terjadinya kesalahfahaman antara yang halal dan yang haram. Dengan masuknya anak angkat ke dalam salah satu keluarga tertentu, bahkan dijadikan sebagai anak kandung, maka ia bisa dianggap mahram yang sebenarnya bukan mahram, dalam arti ia tidak boleh kawin dengan perempuan yang sebenarnya masih halal dinikahi. Bahkan sampai merasa halal melihat aurat orang lain yang seharusnya haram dilihatnya.
2.     Untuk menghindari terganggunya hubungan keluarga berikut hak-haknya. Dengan adopsi berarti kedua belah pihak (anak angkat dan orang tua angkat) telah membentuk keluarga baru yang dapat menimbulkan hak dan kewajiban baru pula. Hak dan kewajiban baru ini mungkin akan mengganggu hak dan kewajiban yang telah ditetapkan oleh Islam.
3.     Masuknya anak angkat ke dalam keluarga orang tua angkatnya bisa menimbulkan permusuhan antarketurunan dalam keluarga itu. Yang semestinya anak angkat tidak berhak menerima warisan tetapi kemudian menjadi ahli waris, sehingga menutup bagian yang seharusnya dibagikan kepada ahli waris yang sesungguhnya.
4.     Islam merupakan agama yang sangat adil dalam menegakkan kebenaran. Di antaranya adalah keharusan mengafiliasikan anak kepada ayah yang sebenarnya sebagaimana telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Hadits.
E.    Adopsi yang Legal
Adopsi yang diperbolehkan dalam Islam adalah adopsi dalam rangka saling tolong menolong atas dasar rasa kemanusiaan. Seperti adopsi karena ada keinginan untuk mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar seorang anak bisa mandiri di masa depan. Dalam adopsi ini tidak terjadi perpindahan nasab dari dari ayah kandung ke ayah angkat.
Islam sangat menganjurkan untuk tolong-menolong dalam rangka kebajikan dan ketakwaan, serta mengajak semua manusia berbuat baik dan menebarkan kasih sayang. Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam masalah kecintaan dan kasih sayang serta pertolongan di antara mereka bagaikan satu tubuh. Jika salah satu organ mengeluh kesakitan, niscaya seluruh tubuh ikut panas dan tak dapat tidur” (HR. Muslim dan Ahmad).
Beliau juga bersabda: “Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya bagaikan suatu bangunan: sebagiannya menopang sebagian yang lain” (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan Nasa’i).
Termasuk dalam hal tersebut adalah mengurusi anak yatim, fakir miskin, tuna karya dan anak-anak yang tidak mempunyai orang tua, yaitu dengan mangasuh dan berbuat baik kepadanya. Sehingga di masyarakat tidak terdapat orang yang terlantar.

F.    Syarat-syarat Pengangkatan(Adopsi) Anak Menurut Hukum Islam.
Menurut hukum Islam pengangkatan anak (Adopsi)  hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.     Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga.
2.     Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua kandungnya, demikian juga orang tua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3.     Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal / alamat.
4.     Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya (Muderis Zaini 1995:54).
Dari ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa prinsip pengangkatan anak (Adopsi)  menurut hukum Islam adalah bersifat pengasuhan anak dengan tujuan agar seorang anak tidak sampai terlantar atau menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya.








BAB III
P E N U T U P
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.    Kesimpulan
1.     Kedudukan anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah tetap sebagai anak yang sah berdasarkan putusan pengadilan dengan tidak memutuskan hubungan nasab / darah dengan orang tua kandungnya, dikarenakan prinsip pengangkatan anak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah merupakan manifestasi keimanan yang membawa misi kemanusiaan yang terwujud dalam bentuk memelihara orang lain sebagai anak dan bersifat pengasuhan anak dengan memelihara dalam pertumbuhan dan perkembangannya dengan mencukupi segala kebutuhannya.
2.     Pembagian harta warisan bagi anak angkat menurut Kompilasi Hukum Islam adalah dengan jalan melalui hibah atau dengan jalan wasiat wajibah dengan syarat tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orang tua angkatnya, hal ini untuk melindungi para ahli waris lainnya.
3.     Menurut hukum Islam pengangkatan anak (Adopsi)  hanya dapat dibenarkan apabila memenuhi ketentuan-ketentuan antara lain Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua biologis dan keluarga.

B.    Saran – Saran
1.     Hendaknya bagi orang yang akan mengangkat anak dilakukan secara resmi sampai pada tingkat Pengadilan Negeri agar kedudukan anak menjadi jelas dan pengangkatan anak jangan semata karena alasan tidak punya keturunan, tetapi hendaknya didasari dengan rasa kasih sayang serta membantu terwujudnya kesejahteraan anak.
2.     Hendaknya masyarakat yang ingin mengangkat anaksebaiknya memahami prosedur pengangkatan anak yang sesuai denganketentuan hukum Islam.
3.     Pemerintah dalam hal ini Pengadilan Negeri hendaknya lebih memasyarakatkan Kompilasi Hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan anak agar di kemudian hari tidak terjadi perselisihan persengketaan diantara orang tua angkat dengan anak angkat.













DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Qur’an al-Karim.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Akademika Presssindo. 1992.
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum Pembuktian. Jakarta : Rineka Cipta. 1997.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Yogyakarta : Rineka Cipta. 1998.
Ash Shabuni, Syekh Muhammad Ali. Hukum Waris Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung : Trigenda Karya. 1995.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Fiqh Mawaris. Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra. 1997.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Waris Islam. Yogyakarta : UII Press.1995..
Budiarto, M. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum. Jakarta : Akademika Pressindo. 1991.
Dellyana, Shanty. Wanita dan Anak di Mata Hukum. Yogyakarta : Liberty. 1988.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta : diperbanyak oleh Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an Depag RI. 1981.
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta : Akademika Pressindo. 1989.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Waris Adat. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1990.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Bandung : diperbanyak oleh Humaniora Utama Press. 1991,
Martosedono, Amir. Tanya Jawab Pengangkatan Anak dan Masalahnya. Semarang : Effhar Offset dan Dahara Prize. 1990.
Maruzi, Muslich. Pokok-pokok Ilmu Waris. Semarang : Mujahidin. 1981.
Meliala, Djaja S. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia. Bandung : Tarsito. 1982.



[1] Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak. ( Jakarta : Akademika Pressindo, 1989.), hal. 44
[2] Budiarto, M.. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum. ( Jakarta : Akademika Pressindo. 1991 ), hal 78
[3] Fuad Moh. Fahrudin. “Masalah Anak Dalam Hukum Islam”. Pedoman Ilmu Jaya. Jakpus: 1985. hal. 92.
[4] Sayid Sabiq, Fiqh al-sunnah, vol. II, Libanon, Darul Fikar, 1981;369 dalam Masjfuq Zuhdi, Masail Fiqhiyah, PT Toko Gunung Agung, Jakarta: 1997. Cet. X. hal. 34
[5] Vade Drs. H. Mahjudin, Masailul Fiqhiyah”Berbagai Kasus Yang Dihadapi hukum Islam Masa kini” Kalam Mulia, Jakarta, 2003. hlm. 82.