Tokoh Dan Pandangan Aliran Filsafat Naturalisme
BAB I
P E N D AH U L U A N
A.
Latar Belakang Masalah
Filsafat Pendidikan sebagai disiplin
ilmu Tujuan filsafat pendidikan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan
proses pembelajaran yang ideal. Teori pendidikan bertujuan menghasilkan
pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-rinsip pendidikan yang didasari oleh
filsafat pendidikan. Praktik pendidikan atau proses pendidikan menerapkan
serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan interaksi antara guru
dengan peserta didik guna mencapai tujuan pendidikan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori-teori pendidikan.
Peranan filsafat pendidikan
memberikan inspirasi, yakni menyatakan tujuan pendidikan negara bagi
masyarakat, memberikan arah yang jelas dan tepat dengan mengajukan pertanyaan
tentang kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan menggunakan
rambu-rambu dari teori pendidik. Seorang guru perlu menguasai konsep-konsep
yang akan dikaji serta pedagogi atau ilmu dan seni mengajar materi subyek
terkait, agar tidak terjadi salah konsep atau miskonsepsi pada diri peserta
didik.
Beberapa Aliran Filsafat dalam
Pendidikan Beberapa aliran filsafat pendidikan yang berpengaruh dalam
pengembangan pendidikan, misalnya, dan idealisme, realisme, pragmatisme,
humanisme, dan naturalisme.
BAB II
P E M B A H A S A N
A.
Aliran Filsafat Idealisme
Tokoh aliran idealisme adalah Plato
(427-374 SM), murid Sokrates. Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat
yang mengagungkan jiwa.[1]
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa
terletak di antara gambaran asli (cita) dengan bayangan dunia yang ditangkap
oleh panca indera. Pertemuan antara jiwa dan cita melahirkan suatu angan-angan
yaitu dunia idea. Aliran ini memandang serta menganggap bahwa yang nyata
hanyalah idea. Idea sendiri selalu tetap atau tidak mengalami perubahan serta
penggeseran, yang mengalami gerak tidak dikategorikan idea.
Keberadaan ideal tidak tampak dalam
wujud lahiriah, tetapi gambaran yang asli hanya dapat dipotret oleh jiwa murni.
Alam dalam pandangan idealisme adalah gambaran dari dunia idea, sebab posisinya
tidak menetap.[2]
Sedangkan yang dimaksud dengan idea adalah hakikat murni dan asli.
Keberadaannya sangat absolut dan kesempurnaannya sangat mutlak, tidak bisa
dijangkau oleh material. Pada kenyataannya, idea digambarkan dengan dunia yang
tidak berbentuk demikian jiwa bertempat di dalam dunia yang tidak bertubuh yang
dikatakan dunia idea.
Plato yang memiliki filsafat
beraliran idealisme yang realistis mengemukakan bahwa jalan untuk membentuk
masyarakat menjadi stabil adalah menentukan kedudukan yang pasti bagi setiap
orang dan setiap kelas menurut kapasitas masin-masing dalam masyarakat sebagai
keseluruhan. Mereka yang memiliki kebajikan dan kebijaksanaan yang cukup dapat
menduduki posisi yang tinggi, selanjutnya berurutan ke bawah. Misalnya, dari
atas ke bawah, dimulai dari raja, filosof, perwira, prajurit sampai kepada
pekerja dan budak. Yang menduduki urutan paling atas adalah mereka yang telah
bertahun-tahun mengalami pendidikan dan latihan serta telah memperlihatkan
sifat superioritasnya dalam melawan berbagai godaan, serta dapat menunjukkan
cara hidup menurut kebenaran tertinggi.
Mengenai kebenaran tertinggi, dengan
doktrin yang terkenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini
tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan. Tugas ide
adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja
yang telah menguasai ide, ia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat
menggunakan sebagai alat untuk mengukur, mengklasifikasikan dan menilai segala
sesuatu yang dialami sehari-hari.
Kadangkala dunia idea adalah
pekerjaan norahi yang berupa angan-angan untuk mewujudkan cita-cita yang
arealnya merupakan lapangan metafisis di luar alam yang nyata. Menurut
Berguseon, rohani merupakan sasaran untuk mewujudkan suatu visi yang lebih jauh
jangkauannya, yaitu intuisi dengan melihat kenyataan bukan sebagai materi yang
beku maupun dunia luar yang tak dapat dikenal, melainkan dunia daya hidup yang
kreatif.[3]
Aliran idealisme kenyataannya sangat
identik dengan alam dan lingkungan sehingga melahirkan dua macam realita.
Pertama, yang tampak yaitu apa yang dialami oleh kita selaku makhluk hidup dalam
lingkungan ini seperti ada yang datang dan pergi, ada yang hidup dan ada yang
demikian seterusnya.[4]
Kedua, adalah realitas sejati, yang merupakan sifat yang kekal dan sempurna
(idea), gagasan dan pikiran yang utuh di dalamnya terdapat nilai-nilai yang murni
dan asli, kemudian kemutlakan dan kesejatian kedudukannya lebih tinggi dari
yang tampak, karena idea merupakan wujud yang hakiki.
Prinsipnya, aliran idealisme
mendasari semua yang ada. Yang nyata di alam ini hanya idea, dunia idea
merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti
yang tampak dan tergambar. Sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas dan
tumpuan yang paling akhir dari idea adalah arche yang merupakan tempat kembali
kesempurnaan yang disebut dunia idea dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan
sedikit pun tidak mengalami perubahan.
Inti yang terpenting dari ajaran ini
adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi
dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap
suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai
penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara
alami pikiran yang keadaannya secara metafisis yang baru berupa gerakan-gerakan
rohaniah dan dimensi gerakan tersebut untuk menemukan hakikat yang mutlak dan
murni pada kehidupan manusia.
Memang para filosof ideal memulai
sistematika berpikir mereka dengan pandangan yang fundamental bahwa realitas
yang tertinggi adalah alam pikiran
Sehingga, rohani dan sukma merupakan tumpuan bagi pelaksanaan dari paham
ini. Karena itu alam nyata tidak mutlak bagi aliran idealisme.
Namun pada porsinya, para filosof
idealisme mengetengahkan berbagai macam pandangan tentang hakikat alam yang
sebenarnya adalah idea. Idea ini digali dari bentuk-bentuk di luar benda yang
nyata sehingga yang kelihatan apa di balik nyata dan usaha-usaha yang dilakukan
pada dasarnya adalah untuk mengenal alam raya. Walaupun katakanlah idealisme
dipandang lebih luas dari aliran yang lain karena pada prinsipnya aliran ini
dapat menjangkau hal-ihwal yang sangat pelik yang kadang-kadang tidak mungkin
dapat atau diubah oleh materi, Sebagaimana Phidom mengetengahkan, dua prinsip
pengenalan dengan memungkinkan alat-alat inderawi yang difungsikan di sini
adalah jiwa atau sukma.
Dengan demikian, dunia pun terbagi
dua yaitu dunia nyata dengan dunia tidak nyata, dunia kelihatan (boraton genos)
dan dunia yang tidak kelihatan (cosmos neotos). Bagian ini menjadi sasaran
studi bagi aliran filsafat idealism
Plato dalam mencari jalan melalui
teori aplikasi di mana pengenalan terhadap idea bisa diterapkan pada alam nyata
seperti yang ada di hadapan manusia. Sedangkan pengenalan alam nyata belum
tentu bisa mengetahui apa di balik alam nyata. Memang kenyataannya sukar
membatasi unsur-unsur yang ada dalam ajaran idealisme khususnya dengan Plato.
Ini disebabkan aliran Platonisme ini bersifat lebih banyak membahas tentang
hakikat sesuatu daripada menampilkannya dan mencari dalil dan keterangan
hakikat itu sendiri. Oleh karena itu dapat kita katakan bahwa pikiran Plato itu
bersifat dinamis dan tetap berlanjut tanpa akhir. Tetapi betapa pun adanya buah
pikiran Plato itu maka ahli sejarah filsafat tetap memberikan tempat terhormat
bagi sebagian pendapat dan buah pikirannya yang pokok dan utama.
Antara lain Betran Russel berkata:
Adapun buah pikiran penting yang dibicarakan oleh filsafat Plato adalah: kota
utama yang merupakan idea yang belum pernah dikenal dan dikemukakan orang
sebelumnya. Yang kedua, pendapatnya tentang idea yang merupakan buah pikiran
utama yang mencoba memecahkan persoalan-persoalan menyeluruh persoalan itu yang
sampai sekarang belum terpecahkan. Yang ketiga, pembahasan dan dalil yang
dikemukakannya tentang keabadian. Yang keempat, buah pikiran tentang
alam/cosmos, yang kelima, pandangannya tentang ilmu pengetahuan.
B.
Idealisme dan Filsafat Pendidikan
Aliran filsafat idealisme terbukti
cukup banyak memperhatikan masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup
berpengaruh terhadap pemikiran dan praktik pendidikan. William T. Harris adalah
tokoh aliran pendidikan idealisme yang sangat berpengaruh di Amerika Serikat.
Bahkan, jumlah tokoh filosof Amerika kontemporer tidak sebanyak seperti
tokoh-tokoh idealisme yang seangkatan dengan Herman Harrell Horne (1874-1946).
Herman Harrell Horne adalah filosof yang mengajar filsafat beraliran idealisme
lebih dari 33 tahun di Universitas New York.[5]
Belakangan, muncul pula Michael
Demiashkevitch, yang menulis tentang idealisme dalam pendidikan dengan efek
khusus. Demikian pula B.B. Bogoslovski, dan William E. Hocking. Kemudian muncul
pula Rupert C. Lodge (1888-1961), profesor di bidang logika dan sejarah
filsafat di Universitas Maitoba. Dua bukunnya yang mencerminkan kecemerlangan
pemikiran Rupert dalam filsafat pendidikan adalah Philosophy of Education dan
studi mengenai pemikirian Plato di bidang teori pendidikan. Di Italia, Giovanni
Gentile Menteri bidang Instruksi Publik pada Kabinet Mussolini pertama, keluar
dari reformasi pendidikan karena berpegang pada prinsip-prinsip filsafat
idealisme sebagai perlawanan terhadap dua aliran yang hidup di negara itu
sebelumnya, yaitu positivisme dan naturalisme.
Idealisme sangat concern tentang
keberadaan sekolah. Aliran inilah satu-satunya yang melakukan oposisi secara
fundamental terhadap naturalisme. Pendidikan harus terus eksis sebagai lembaga
untuk proses pemasyarakatan manusia sebagai kebutuhan spiritual, dan tidak
sekadar kebutuhan alam semata. Gerakan filsafat idealisme pada abad ke-19
secara khusus mengajarkan tentang kebudayaan manusia dan lembaga kemanuisaan
sebagai ekspresi realitas spiritual.
Para murid yang menikmati pendidikan
di masa aliran idealisme sedang gencar-gencarnya diajarkan, memperoleh
pendidikan dengan mendapatkan pendekatan (approach) secara khusus. Sebab,
pendekatan dipandang sebagai cara yang sangat penting.[6]
Giovanni Gentile pernah mengemukakan, “Para guru tidak boleh berhenti hanya di
tengah pengkelasan murid, atau tidak mengawasi satu persatu muridnya atau
tingkah lakunya. Seorang guru mesti masuk ke dalam pemikiran terdalam dari anak
didik, sehingga kalau perlu ia berkumpul hidup bersama para anak didik. Guru
jangan hanya membaca beberapa kali spontanitas anak yang muncul atau sekadar
ledakan kecil yang tidak banyak bermakna.
Bagi aliran idealisme, anak didik
merupakan seorang pribadi tersendiri, sebagai makhluk spiritual. Mereka yang
menganut paham idealisme senantiasa memperlihatkan bahwa apa yang mereka
lakukan merupakan ekspresi dari keyakinannya, sebagai pusat utama pengalaman
pribadinya sebagai makhluk spiritual. Tentu saja, model pemikiran filsafat
idealisme ini dapat dengan mudah ditransfer ke dalam sistem pengajaran dalam
kelas. Guru yang menganut paham idealisme biasanya berkeyakinan bahwa spiritual
merupakan suatu kenyataan, mereka tidak melihat murid sebagai apa adanya, tanpa
adanya spiritual.
Sejak idealisme sebagai paham
filsafat pendidikan menjadi keyakinan bahwa realitas adalah pribadi, maka mulai
saat itu dipahami tentang perlunya pengajaran secara individual. Pola
pendidikan yang diajarkan fisafat idealisme berpusat dari idealisme. Pengajaran
tidak sepenuhnya berpusat dari anak, atau materi pelajaran, juga bukan masyarakat,
melainkan berpusat pada idealisme. Maka, tujuan pendidikan menurut paham
idealisme terbagai atas tiga hal, tujuan untuk individual, tujuan untuk
masyarakat, dan campuran antara keduanya.
Pendidikan idealisme untuk
individual antara lain bertujuan agar anak didik bisa menjadi kaya dan memiliki
kehidupan yang bermakna, memiliki kepribadian yang harmonis dan penuh warna,
hidup bahagia, mampu menahan berbagai tekanan hidup, dan pada akhirnya
diharapkan mampu membantu individu lainnya untuk hidup lebih baik.
Sedangkan tujuan pendidikan
idealisme bagi kehidupan sosial adalah perlunya persaudaraan sesama manusia.
Karena dalam spirit persaudaraan terkandung suatu pendekatan seseorang kepada
yang lain. Seseorang tidak sekadar menuntuk hak pribadinya, namun hubungan
manusia yang satu dengan yang lainnya terbingkai dalam hubungan kemanusiaan
yang saling penuh pengertian dan rasa saling menyayangi. Sedangkan tujuan
secara sintesis dimaksudkan sebagai gabungan antara tujuan individual dengan
sosial sekaligus, yang juga terekspresikan dalam kehidupan yang berkaitan
dengan Tuhan.
C.
Pengertian Naturalisme
Banyak pemikiran-pemikiran dari para
ahli filsafat masa lampau yang menghasilkan banyak aliran dalam filsafat. Semua
aliran yang didasari atas pemikiran yang mendalam tersebut dilatarbelakangi
oleh banyak faktor yang tidak sama.
Diantara sekian banyak aliran
filsafat tersebut, satu diantaranya yaitu aliran filsafat naturalisme. Aliran
filsafat naturalisme lahir sebagai reaksi terhadap aliran filasafat pendidikan
Aristotalian-Thomistik. Naturalisme lahir pada abad ke 17 dan mengalami
perkembangan pada abad ke 18. Naturalisme berkembang dengan cepat di bidang
sains. Ia berpandangan bahwa “Learned heavily on the knowledge reported by
man’s sense”.[7]
Secara definitif naturalisme berasal
dari kata “nature.” Kadang pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia
material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi “supranatural.”
Tetapi dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual,
masing-masing dengan hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam
bukan sebagai keberadaan benda-benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi
kebenaran. Ia tidak memperlawankan material dengan spiritual, istilah itu
mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam intelektual dan moral.[8]
Salah satu ciri yang paling
menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak manusia sejak dulu
menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari, peredaran
planet-planet dan susunan bintang-bintang yang bergeser teratur dari malam ke
malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta,
hanya merupakan contoh-contoh sederhana. Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya
menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang kemudian dibahasakan lewat
hukum-hukum matematika.
Naturalisme merupakan teori yang
menerima “nature” (alam) sebagai keseluruhan realitas. Istilah “nature” telah
dipakai dalam filsafat dengan bermacam-macam arti, mulai dari dunia fisik yang
dapat dilihat oleh manusia, sampai kepada sistem total dari fenomena ruang dan
waktu. Natura adalah dunia yang diungkapkan kepada kita oleh sains alam.
Istilah naturalisme adalah sebaliknya dari istilah supernaturalisme yang
mengandung pandangan dualistik terhadap alam dengan adanya kekuatan yang ada
(wujud) di atas atau di luar alam.[9]
Aliran filsafat naturalisme didukung
oleh tiga aliran besar yaitu realisme, empirisme dan rasionalisme. Pada
dasarnya, semua penganut naturalisme merupakan penganut realisme, tetapi tidak
semua penganut realisme merupakan penganut naturalisme. Imam Barnadib
menyebutkan bahwa realisme merupakan anak dari naturalisme. Oleh sebab itu,
banyak ide-ide pemikiran realisme sejalan dengan naturalisme. Salah satunya
adalah nilai estetis dan etis dapat diperoleh dari alam, karena di alam
tersedia kedua hal tersebut.
D.
Tokoh Dan Pandangan Aliran Filsafat Naturalisme
1. Plato. (427 – 347 SM)
Salah satu anasir dasar adalah
perbedaan yang nyata antara gejala (fenomena) dan bentuk ideal (eidos), dimana
plato berpandangan bahwa, disamping dunia fenomen yang kelihatan, terdapat
suatu dunia lain, yang tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak
kelihatan itu tercapai melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan
hubungannya dengan dunia fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang
ideal untuk segala yang terdapat dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada
dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak berubah dan kekal, yang
sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang menciptakan
eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehinnga dunia
eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.
2. Aristoteles (384 – 322 SM).
Aristoteles menyatakan bahwa
mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
1.
Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang
mewujudkan mahluk hidup tertentu dan menentukan tujuannya.
2.
Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupaakn dasar
semua mahluk.
Sesudah mengetahui sesuatu hal
menurut kedua prinsip intern itu pengetahuan tentang hal itu perlu dilengkapi
dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri, akan
tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang
membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya. Prinsip
ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang
menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar
merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prisnip ekstern
keuda ini diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena dipengaruhi
oleh tujuan tertentu, pandangan ini diterapkan pada semau mahluk alam. Seperti
semua mahluk manusia terdiri atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.
Materi adalah badan, karena badan
material itu manusia harus mati, yang memberikan bentuk kepada materi adalah
jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu memberikan hidup vegetatif
(seperti jiwa tumbuh-tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif (seperti jiwa
binatang) akhirnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif
manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani,
maka
3. William R. Dennes. (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan pandangannya menyatakan bahwa:
1.
Kejadian
dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan hakekat terdalam dari
kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam kategori
alam
2.
Yang
nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang dan
waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak mungkin
ditangani dengan menggunakan metode-metode yang digunakan dalam ilmu-ilmu alam
tidak mungkin merupakan kenyataan
3.
Analisa
terhadap kejadian-kejadian, bahwa faktor-faktor penyusun seganap kejadian ialah
proses, kualitas, dan relasi
4.
Masalah
hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap kejadian baik
kerohanian, kepribadian, dan sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan
kategorikategori proses, kualitas dan relasi
5.
Pengetahuan
ialah memahami kejadian-kejadian yang saling berhubungan, pemahaman suatu kejadian,
atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui kualitasnya, seginya,
susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibat-akibatnya.
E.
Pandangan Aliran Filsafat Naturalisme Terhadap Pendidikan
Dimensi utama dan pertama dari
pemikiran aliran filsafat naturalisme di bidang pendidikan adalah pentingnya
pendidikan itu sesuai dengan perkembangan alam. Manusia diciptakan dan
ditempatkan di atas semua makhluk, karena kemampuannya dalam berfikir. Peserta
didik harus dipersiapkan kepada dan untuk Tuhan. Untuk itu pendidikan yang
signifikan dengan pandangannya adalah pendidikan ketuhanan, budi pekerti dan
intelek. Pendidikan tidak hanya sebatas untuk menjadikan seseorang mau belajar,
melainkan juga untuk menjadikan seseorang lebih arif dan bijaksana.[10]
Naturalisme dalam filsafat
pendidikan mengajarkan bahwa guru paling alamiah dari seorang anak adalah kedua
orang tuanya.[11]
Oleh karena itu, pendidikan bagi penganut paham naturalis perlu dimulai jauh
hari sebelum proses pendidikan dilaksanakan. Sekolah merupakan dasar utama
dalam keberadaan aliran filsafat naturalisme karena belajar merupakan sesuatu
yang natural, oleh karena itu fakta bahwa hal itu memerlukan pengajaran juga
merupakan sesuatu yang natural juga. Paham naturalisme memandang guru tidak
mengajar subjek, melainkan mengajar murid.
Terdapat lima tujuan pendidikan
paham naturalisme yang sangat terkenal yang diperkenalkan Herbert Spencer
melalui esai-esainya yang terkenal berjudul “Ilmu Pengetahuan Apa yang Paling
Berharga?”. Kelima tujuan itu adalah (1) Pemeliharaan diri; (2) Mengamankan
kebutuhan hidup; (3) Meningkatkan anak didik; (4) Memelihara hubungan sosial
dan politik; (5) Menikmati waktu luang.
Spencer juga menjelaskan tujuh
prinsip dalam proses pendidikan beraliran naturalisme, adalah (1) Pendidikan
harus menyesuaikan diri dengan alam; (2) Proses pendidikan harus menyenangkan
bagi anak didik; (3) Pendidikan harus berdasarkan spontanitas dari aktivitas
anak; (4) Memperbanyak ilmu pengetahuan merupakan bagian penting dalam
pendidikan; (5) Pendidikan dimaksudkan untuk membantu perkembangan fisik,
sekaligus otak; (6) Praktik mengajar adalah seni menunda; (7) Metode instruksi
dalam mendidik menggunakan cara induktif; (Hukuman dijatuhkan sebagai
konsekuensi alam akibat melakukan kesalahan. Kalaupun dilakukan hukuman, hal
itu harus dilakukan secara simpatik.[12]
BAB III
P E N U T U P.
Berdasarkan uraian-uraian yang penulis
kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis dapat
mengambil beberapa kesimpulan serta mengajukan beberapa saran.
A.
Kesimpulan
1.
Tokoh aliran idealisme adalah Plato (427-374 SM), murid Sokrates.
Aliran idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang mengagungkan jiwa.
2.
Aliran filsafat idealisme terbukti cukup banyak memperhatikan
masalah-masalah pendidikan, sehingga cukup berpengaruh terhadap pemikiran dan
praktik pendidikan.
3.
Secara definitif naturalisme berasal dari kata “nature.” Kadang
pendefinisikan “nature” hanya dalam makna dunia material saja, sesuatu selain
fisik secara otomatis menjadi “supranatural.”
B.
Saran - Saran
1.
Disarankan kepada umat islam umumnya dan khususnya kepada mahasiswa
STIT Almuslim untuk memperdalam pengkajian ilmu filsafat.
2.
Disarankan kepada pihak STIT Almuslim agar dapat menyediakan staf
pengajar yang ahli dibidang filsafat, karena dengan adanya staf pengajar yang
ahli dapat meningkatkan kualitas para mahasiswa.
3.
Disarankan kepada para mahasiswa untuk dapat menelaah islam secara
mendalam, supaya dapat menambah ilmu pengetahuan
DAFTAR PUSTAKA
Barnadip, imam,
filsafat pendidikan, yogyakarta: andi offset, 1987
Khobir, Abdul, filsafat
pendidikan islam, pekalongan: STAIN PRESS, 2007.
Admin, Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan, Situs informasi
Indonesia Serba serbi Dunia Pendidikan, http://edu-articel.com/2006.
Hidayanto, D.N, Diktat Landasan Pendidikan, Untuk Mahasiswa,
Guru dan Praktisi Pendidikan, Forum Komunikasi Ilmiah FKIP Universitas
Mulawarman, Samarinda, 2000.
Gazalba, Sidi, Sistematika Filsafat, Buku Kedua Pengantar Kepada
Teori Pengetahuan, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
Hoesin, Oemar Amin, Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
cet. I, 1961.
Jurnal Filsafat,
Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Edisi Agustus, 1992.
Peursen, C.A. Van, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar
Filsafat Islam, Alih bahasa; J. Drost, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
cet. III, 1993.
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta: Uni Press, cet. I, 1984.
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan,
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengemba¬ngan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, Jakarta: 1988.
[1]
Yuyun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer cet. I,,
(Jakarta: Uni Press, 1984), hal 24.
[2]
Zanti Arbi, Sutan, Pengantar Kepada Filsafat Pendidikan, (Jakarta:
Depdikbud, Dirjen Pendidikan Tinggi Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan
Tenaga Kependidikan, 1988) hal. 33.
[3]
Louis O. Kattsoff, Pengantar,.............................,hal. 17
[4]
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 19
[6]
Khobir, Abdul, filsafat pendidikan,.............................,hal. 31
[7]
George R. Knight, 1982, Issues and Alternatives in Educational Philosophy,
Michigan : Andrew University Press dalam
http://eduartikel.com/aliran-filsafat-pendidikan
[8]
http://kuwatpamuji.blogspot.com/aliran-filsafat-pendidikan/html
[9]
Harold H Titus et. al, 1984 dalam
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/filsafat-naturalisme/
[10]
Bertens. K. Filsuf-Filsuf Besar Tentang Manusia. Kanisius. 1988 dalam
http:// astaqauliyah.com/2007/01/20/filsafat-naturalisme/
[11]
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/11/08/aliran-aliran-filsafat-pendidikan/
[12]
Wakhudin dan Trisnahada. Filsafat Naturalisme. (Makalah) ( Bandung:
PPS-UPI Bandung) hal,5.