Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kenapa Saya Biarkan?

Izin berkomentar sedikit tentang gambar anak saya kemarin yang mungkin sebagian teman-teman menganggap terlalu "dewasa" atau tidak layak digambar oleh gadis seusianya. Saya sangat menghargai niat baik teman-teman dengan cara men-dm saya secara pribadi dan tidak langsung mengkritik di komentar. Saya hargai sekali. 🙏

Saya menulis ini bukan berarti membela diri atau membela anak saya, tidak. Hanya berbagi cerita.

Selama ini, saya membebaskan anak saya berekspresi sesuai suasana hatinya. Saya juga tidak pernah melarangnya berimajnasi. Saya membuka diri agar dia bebas, nyaman dan mau bercerita apa saja pada saya. Sejauh ini, saya tahu dia sedang berkonflik dengan teman yang mana di sekolah. Saya tahu dengan siapa ia berteman akrab dan saling curhat. Saya tahu siapa yang ia taksir diam-diam walaupun tidak terang-terangan ia sebut namanya. Saya tahu pelajaran apa yang sangat ia suka dan tidak ia sukai di sekolah. Saya juga tahu siapa guru favoritnya. Saya hafal jadwal PMS-nya dimana emosi dia sedang labil sekali, sehingga saya harus banyak sabar dan mengalah.

Karena saya paham rasanya, ketika kita harus berhenti atau menahan melakukan apa yang ingin kita lakukan. Saya paham bagaimana rasanya menahan untuk tidak bercerita karena takut diejek atau ditertawakan, semisal:

"Aaa... Udah tau cinta-cinta kau, ya? Masih kecil udah genit."

"Ah, ngapain gambar-gambar kek gitu, hapus! Malu tau? Masih kecil juga."

Sumpah, kalimat-kalimat seperti itu ngga enak banget. Apalagi anak-anak kita sedang senang-senangnya, sedang berbunga-bunganya. Puber itu alamiah. Alamiah itu normal. Yang harus kita lakukan selanjutnya adalah, mengarahkan setelah mendengar keluh kesahnya. Biarkan dulu ia berekspresi lewat gambar, lewat tulisan, lewat cerita agar kita tahu apa yang sedang ia rasakan.

Usia 14 tahun adalah masa-masa pubernya anak-anak. Masa-masa melankolis, masa-masa romantis. Di Usia 13 tahun jugalah Dr. Syeikh Moh. Said Ramadhan al-Buthi (siapa yang tidak kenal beliau), menulis novel cinta pertamanya yang berjudul Mamu Zein yang best seller itu. Novel cinta ini menjadi salah satu rekam jejak Dr. Buthi paling dini dalam kapasitas beliau sebagai ulama internasional yang disegani. Dan novel ini telah saya baca sampai habis. Kisah romantis yang sangat sopan.

Terimalah setiap inci perubahan tumbuh kembang anak kita dengan senang hati. Support dia. Jangan mengejeknya...

Sumber: Facebook Ismi Marnizar