Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pendidikan Di Aceh


BAB II

Pendidikan Di Aceh



A.    Hakikat Pendidikan

Dalam bahasa Arab pendidikan diistilahkan dengan tarbiyah, istilah ini berarti mengasuh, memelihara, membuat, menjadikan bertambah dalam pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil  yang sudah matang. Pemahaman yang lebih rinci  mengenai  tarbiyah ini  harus mengacu kepada substansial yaitu pemberian pengetahuan, pengalaman dan kepribadian. Karena itu pendidikan  Islam harus dibangun dari perpaduan istilah  'ilm  atau 'allama (ilmu, pengajaran). 'adl  (keadilan), 'amal (tindakan), haqq (kebenaran atau ketetapan  hubungan  dengan  yang benar  dan nyata, nuthq (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), 'aql (pikiran atau intelek), meratib dan darajat (tatanan hirarkhis), ayat (tanda-tanda  atau symbol), tafsir dan ta'wil (penjelasan dan penerangan), yang secara keseluruhan terkandung dalam  istilah adab.[1]
Pendidikan berasal dari kata “Didik” yang mendapat awalan “Pen” dan akhiran “an”. Kata tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah “perbuatan (hal cara dan sebagainya) mendidik.”[2] Menurut Segarda Poerbakawatja, pendidikan adalah “Suatu usaha manusia untuk membawa si anak yang belum dewasa ke tingkat kedewasaan dalam arti sadar dan mampu memikul tanggung jawab atas segala perbuatannya secara moril.”[3]
Pendidikan menurut Soegarda Poerbakawatja ialah semua perbuatan atau usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, dan ketrampilannya kepada generasi muda. Sebagai usaha menyiapkan agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmani maupun rohani.[4] Menurut H. M Arifin, pendidikan adalah usaha orang dewasa secara sadar untuk membimbing dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan dasar anak didik baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.[5] Adapun menurut Ahmad D. Marimba adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[6] Menurut Achmadi mendefinisikan pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya insan yang berada pada subjek didik menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam atau dengan istilah lain yaitu terbentuknya kepribadian muslim.[7]

            Mana maksud Pendidikan adalah suatu usaha untuk mempersiapkan anak supaya mereka dapat tumbuh ke tingkat dewasa dan dapat hidup lebih sempurna dengan mengembangkan semua aspek kepribadian anak sesuai dengan taraf kemampuan dan kecakapan mereka, sehingga kelakuan mereka bukan saja berguna bagi dirinya dan keluarganya tetapi juga berguna bagi masyarakat.
Dari beberapa pendapat yang telah diuraikan secara terperinci dapat disimpulkan bahwa pendidikan pada hakekatnya merupakan usaha manusia untuk dapat membantu, melatih, dan mengarahkan anak melalui transmisi pengetahuan, pengalaman, intelektual, dan keberagamaan orang tua (pendidik) dalam kandungan sesuai dengan fitrah manusia supaya dapat berkembang sampai pada tujuan yang dicita-citakan yaitu kehidupan yang sempurna dengan terbentuknya kepribadian yang utama.
Masih banyak lagi pengertian pendidikan Islam menurut para ahli, namun dari sekian banyak pengertian pandidikan Islam yang dapat kita petik, pada dasarnya pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil) yang berkepribadian muslim dan berakhlak terpuji serta taat pada Islam sehingga dapat mencapai kebahagiaan didunia dan di akherat. Jadi nilai-nilai pendidikan Islam adalah sifat-sifat atau hal-hal yang melekat pada pendidikan Islam yang digunakan sebagai dasar manusia untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu mengabdi pada Allah SWT. Nilai-nilai tersebut perlu ditanamkan pada anak sejak kecil, karena pada waktu itu adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan yang baik padanya.
B.    Sejarah Pendidikan diAceh

Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.[8](Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu: Pertama, Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab. Kedua, Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai. Ketiga, Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai. Keempat, Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.[9]
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab.  Dan jalur yang digunakan adalah: Pertama, Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran. Kedua, Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara. Ketiga, Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat  muslim. Keempat, Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Kelima, Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.[10]
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:  Pertama, Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.  Kedua, Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.[11].
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia, antara lain: Pertama, Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja. Kedua, Sedikit tugas dan kewajiban Islam. Ketiga, Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit. Keempat, Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana. Kelima, Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.[12]
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam. Kedua, Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik. Ketiga, Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan. Keempat, Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan. Kelima, Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti shalat. Keenam, Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai. Ketujuh, Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.[13]
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.
C.    Lembaga Pendidikan diAceh

Lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Aceh adalah Dayah. Lembaga pendidikan semacam dayah ini di Jawa dikenal dengan nama Pesantren,di Padang disebut Surau, sementara di Pattani dan Malaysia disebut Pondok.[14] Dayah diambil dari bahasa arab zawiyah, yang artinya pojok atau sudut,[15] diyakini masyarakat Aceh pertama kali digunakan untuk sudut Masjid Madinah ketika Nabi Muhammad mengajar para sahabat pada awal Islam.[16] Dayah yang penulis maksud dalam makalah ini adalah tempat tinggal tetap yang digunakan untuk mempelajari, membahas dalil-dalil naqliyah dan aqliyah yang berkaitan dengan agama Islam.
            Sejak Islam masuk ke Aceh 225 H (840 M)[17], pendidikan dan pengajaran Islam mulai lahir dan berkembang dengan sangat pesat, terutama setelah berdirinya Kerajaan Islam Pasee, karena pada masa itu mulai banyak ulama yang mendirikan Dayah, sehingga banyak pelajar yang berdatangan ke Pasee.[18] Di masa Sultan Iskandar Muda memerintah Kerajaan Aceh Darussalam di abad ke 17, Aceh telah menjadi Serambi Mekkah.
            Ketika Malaka ditaklukkan Portugis (1511 M), para ulama banyak yang  meninggalkan Malaka menuju Aceh, sesampai di Aceh para ulama ini banyak yang menyiarkan agama dan bahkan ada yang mendirikan Dayah. Di masa Sultan Iskandar Muda inilah Dayah mencapai puncak keemasannya.
            Dayah merupakan pusat pendidikan Islam masyarakat Aceh sejak dahulu sampai sekarang. Keberadaaan dayah sebagai pusat pendidikan Islam masa lalu sudah menghasilkan sejumlah ulama dan tokoh yang berpengaruh di masanya. Peminpin-peminpin Aceh masa lalu seperti Sultan Iskandar Muda adalah alumni dayah. Dayah masa lalu sukses mengintegrasikan pendidikan umum dan pendidikan agama, ini semua dikarenakan pendidikan dayah saat itu yang tidak dikotomi, sehingga output dayah bukan hanya ulama, tetapi juga politikus atau negarawan.[19]
            Institusi dayah di Aceh mengalami pasang surut yang sangat signifikan, terutaman di masa penjajahan Belanda. Penghancuran dayah dan segala khazanah keilmuannya, perpustakaan dan manuskrip yang dimiliki serta para peminpin dayah itu sendiri telah mempengaruhi kemunduran dayah sejak Belanda memulai pendudukannya di Aceh pada tahun 1873. Dayah dan peminpinnya saat itu merupakan simbol dan penggerak perjuangan menentang kolonialisme di Aceh.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan budaya terdapat satu lembaga yang dinamakan dengan Meunasah. Sebagai simbol masyarakat Aceh, pada setiap gampong terdapat Meunasah, sebagai pusat pengendalian tata kehidupan masyarakat. Meunasah dibuat terbentuk empat segi tanpa dilengkapi dengan jendela, lorong atau sekatan-sekatan. Beda antara rumah dengan Meunasah hanya sedikit saja bagi orang yang tidak memperhatikan dengan sengaja akan dapat dilihat kesamaannya dari pada perbedaannya. Persamaan terdapat pada bentuknya seperti rumah Aceh. Sedangkan perbedaannya kelihatan pada posisinya yaitu rumah tampak membujur kearah kiblat dan Meunasah tampak kearah utara selatan. Perbedaan selanjutnya terletak pada lantai Meunasah yang kelihatan rata,  sedangkan lantai rumah tampak tinggi bagian tengahnya.[20]
Bentuk dan kondisi Meunasah semacam itu pada kurung waktu sekarang ini mungkin sudah minim karena Meunasah sekarang mengikuti arus kemajuan zaman yang modern. Meunasah sudah berjendela mempunyai Kulah, bak wudhuk pada sudah mempunyai penerangan lampu listrik serta berbagai variasi lainnya.
Ada yang menyebut Meunasah dan meulasah atau beulasah. Namun yang penting adalah bahwa istilah Meunasah berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab yang mengandung pengertian lembaga pendidikan. Meunasah merupakan tempat belajar dasar bagi anak-anak yang mempelajari dasar ilmu agama dan cara membaca Al-Qur’an. Anthony Reid dalam bukunya asal mula konflik Aceh dan perebutan Pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke -19 menyebutkan bahwa “Meunasah adalah suatu tempat umum yang dipergunakan sebagai sarana penginapan bagi kaum pria dewasa yang singgah dalam suatu gampong”.[21] 
Terlepas dari sejarah dan latar belakang tentang asal muasal lahir Meunasah, yang pasti antara Aceh dengan Meunasah merupakan integritas dua sisi yaitu sisi Meunasah dan sisi binnya yaitu masyarakat Aceh, sehingga dimana ada masyarakat Aceh disitulah ada Meunasah, sebaliknya dimana ada Meunasah disitu pasti ada masyarakat Aceh, meskipun berada diluar daerah. Meunasah sudah merupakan bagian budaya, identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Tidak berfungsinya Meunasah dari aspek budaya berarti lanyap pula identitas dan ciri-ciri kehidupan masyarakat Aceh. Dengan demikian Meunasah bukan hanya suatu bangunan, tetapi lebih menggambarkan kondisi dan situasi suatu lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh terutama pada tingkat gampong. Jadi Meunasah bukanlah hanya sebagai sebuah simbol wilayah saja, tetapi juga merupakan sebuah bangunan yang mempunyai fungsi serba guna.
Masyarakat Aceh yang dekat sekali dengan adat yang bernafaskan agama (Islam) seperti adat dan hukom lagee zat ngon sifeut.  Lembaga-lembaga adat seperti meunasah, dan prosesi-prosesi adat seperti adat meugoe, khanduri blang, khanduri udep dan khanduri matee, teungku memegang peranan penting, baik sebagai pimpinan pada lembaga tersebut atau juga sebagai pimpinan pada prosesi adat yang dilakukan.[22]
Meunasah bagi masyarakat Aceh sudah ada sejak abad ke-8 saat kerajaan Perlak membangun  pusat-pusat pendidikan untuk masyarakat di tingkat gampong.  Dalam Khazanah Pendidikan Tradisional di Aceh, sebagaimana dikutip dari perkataan Sulaiman Tripa menyebutkan bahwa “lembaga meunasah, yang berasal dari kata madrasah dalam bahasa Arab ini berarti lembaga pendidikan, meunash ini ada di setiap gampong yang ada di Aceh”.[23]
Sejarah perkembangan pendidikan di Aceh, membuktikan bahwa meunasah merupakan salah satu lembaga awal pendidikan yang tujuannya adalah mempersiapkan generasi penerus yang mengetahui dan mengamalkan segala ajaran agama Islam secara benar dan baik. Sebagai lembaga pendidikan, meunasah memang mengadakan pengajian rutin pada malan hari, maupun siangnya merupakan lembaga pendidikan yang paling tua dalam masyarakat Aceh.[24]
Meunasah ini dikenal oleh masyarakat Aceh semenjak masuknya Islam ke Aceh. Hal ini sesuai dengan pendapat A. Hasjmi sebagai berikut:
Para ahli sejarah muslim Indonesia telah sepakat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia melalui Negeri Peureulak Kabupaten Aceh Timur. Kerajaan Peureulak diresmikan sebagai kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara pada tanggal 1 Muharram 225 H. sekitar tahun 854 M, dengan sultan Said Abdul Aziz Syah. Di negeri inilah pertama kali diresmikan sebuah lembaga pendidikan yang bernama Dayah Cot Kala yang dipimpim ulama besar Teuku Chik Muhammad Amin.[25]

Meunasah-meunasah yang ada di Aceh merupakan lembaga pendidikan Islam yang dahulunya telah banyak menciptakan orang-orang yang mampu memhami ilmu agama secara mendalam, khususnya tentang aqidah, ibadah, dan akhlak. Meunasah juga telah banyak melahirkan juru dakwah, pendidik, dan pemimpin yang berwawasan luas, sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan umat serta mampu berhadapan dengan cobaan-cobaan dan rintangan dalam usaha menyebarluaskan agama Islam ke seluruh penjuru tanah air.[26]
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa, sejarah dan perkembangan meunasah di Aceh diawali oleh perkembangan agama Islam di bumi Nusantara dan merupakan suatu langkah yang ditempuh untuk menarik umat dalam menyebarluaskan agama Islam, yaitu melalui pembukaan dan pembinaan di meunasah-meunasah dengan cara  guru atau teungku di meunasah mengumpulkan mayarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama Islam.
Memperhatikan perkembangan meunasah pada masa dahulu, maka nampak jelas peranannya dalam usaha pembinaan pendidikan terhadap masyarakat, terutama dalam membina generasi muda. Dalam hal ini meunasah telah banyak menampakkan hasil-hasil positif. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya peminat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama di meunasah.
Dalam perkembangan meunasah masa sekarang ini dapat dilihat bahwa meunasah tidak lagi berfungsi seperti pada zaman dahulu, karena masyarakat telah banyak pergi ke pesantren-pesantren atau dayah-dayah yang telah maju untuk mengkaji ilmu pengetahuan agama. Ditambha lagi dengan didirikannya lembaga-lembaga pendidikan islam yang bernaung di bawah Departemen pendidikan Agama. Seperti sekolah min, MTsN, MAN, dan  telah ada perguruan-perguruan hampir di setiap kabupaten yang ada di Aceh. Hal ini membawa factor rendahya minat masyarakat untuk mengkaji ilmu-ilmu agama di Meunasah-meunasah yang masih ada di setiap gampong di Aceh. [27]
Dengan demikian, sebagaimana dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Aceh sekarang, di mana meunasah tidak lagi digunakan sebagai tepada waktu adanya musyawarah-musyawarah. Akan tetapi di daerah-daerah perdalaman menunasah masih juga digunakan sebagai tempat pembinaan keagaamaan bagi orang tua, anak muda, dan anak-anak remaja. Disini mereka masih aktif untuk mempelajari agama. Seperti balajar Al-Quran, tauhid, fiqih dan  tasawuf. Hal ini membuktikan bahwa sampai saat ini meunasah masih dijadikan sebagai tempat lembaga pendidikan oleh masyarakat Aceh.
Dayah adalah suatu lembaga pendidikan yang terdapat di Aceh, yang hampir sama dengan pesantren di Jawa, baik dari aspek fungsi maupun tujuan. Kendati ada beberapa perbedaan penting, seperti yang terlihat di pesantren yang ada di Jawa Timur, yaitu pesantren merupakan suatu tempat yang dipersiapkan untuk memberikan pendidikan agama mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat yang lebih tinggi.[28] Sedangkan di Aceh, dayah adalah lembaga pendidikan lanjutan bagi anak-anak yang sudah menyelesaikan pendidikan dasar di Meunasah atau rangkang atau di rumah-rumah Teungku gampong.[29]   
            Di masa Kerajaan Aceh Darussalam, terdapat beberapa lembaga negara yang bertugas dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan, di antaranya: Pertama, Balai Seutia Hukama, merupakan lembaga ilmu pengetahuan, tempat berkumpulnya para ulama, cendekiawan untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Kedua, Balai Seutia Ulama, merupakan jawatan pendidikan yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan dan pengajaran. Ketiga,  Balai Jamaah Himpunan Ulama, merupakan kelompok studi tempat para ulama dan sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran membahas persoalan-persoalan pendidikan dan ilmu pendidikan[30].
            Di bawah ini, penulis nukilkan beberapa Pendidikan Tingkat Tinggi atau Dayah Teungku Chik yang berada dalam Kerajaan Aceh Darussalam:
1.     Dayah Cot Kala
            Setelah berdirinya Kerajaan Islam Perlak (1 Muharram 225 H / 840 M)[31], maka pada akhir abad ketiga Hijriah (awal abad kesepuluh Masehi) didirikanlah Pusat Pendidikan Islam yang bernama “Zawiyah Cot Kala” oleh seorang pangeran yang ulama. Muhammad Amin namanya, yang kemudian terkenal dengan Teungku Chik Cot Kala. Kata-kata “zawiyah” lambat laun berubah menjadi “dayah”.[32]
            Setelah memimpin Dayah Cot Kala lebih dari  satu tahun, maka Teungku Chik Cot Kala Muhammad Amin dinobatkan menjadi raja Perlak keenam, dengan gelar Sulthan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, yang memerintah pada tahun 310-334 H (922-946 M).
2.     Dayah Seuruleu
            Syekh Sirajuddin, seorang ulama terkemuka alumni Cot Kala, oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat yang memerintah kerajaan Perlak (402-450 H/1012-1059 M), mengangkat Syekh Sirajuddin mengepalai sebuah angkatan Dakwah untuk mengembangkan Islam ke Lingga (Aceh Tengah).
            Setelah berdiri Kerajaan Islam Lingga, maka Syekh Sirajuddin segera membangun sebuah pusat pendidikan yang kemudian hari terkenal denga nama Dayah Seureulu, beliau sendiri sebagai pimpinannya terkenal dengan sebutan Teungku Chik Seureulu.
3.     Dayah Rumpet
            Dayah Rumpet terletak di pantai barat Aceh, yaitu di Kuala Daya. Berdiri sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam (1016-1045 H / 1607-1636 M). Dayah Rumpet mencapai kemajuannya di bawah Pimpinan teungku Muhammad Yusuf, yang lebih dikenal dengan Teungku Chik di Rumpet. Teungku Muhammad Yusuf merupakan seorang Qadhi di Rantau Dua Belas (bagian timur Aceh Barat).[33]
4.     Dayah Blang Peria
            Di zaman pemerintahan Maharaja Nurdin Sultan al-Kamil di Samudera Pase (550-607 H / 1155-1210 M). hidup seorang ulama besar, ahli hukum, pujangga dan muballigh yang terkenal, namanya Syekh Ya’kub, yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Blang Peria sebagai pimpinan Dayah Blang Peria yang beliau bangun di Blang Peria Geudong.
            Pada tanggal 15 Muharram 630 H (1233 M) Teungku Chik Blang Peria meninggal dunia, makam beliau terkenal dengan nama Makam Teungku Jirat Raya di Blang Peria. Dayah Blang Peria merupakan Pusat Pendidikan Islam yang terbesar dalam Kerajaan Islam Samudera Pase.[34]
5.     Dayah Lam Keuneu’eun
Pada tahun 592-622 H (1196-1225 M), Alaiddin Sultan Makhdum Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat memerintah Kerajaan Islam Perlak, telah mengirim 300 orang ke arah barat untuk membawa Islam ke wilayah Kerajaan Hindu/Budha Indra Purba (Aceh Besar sekarang). Angkatan dakwah tersebut dipimpin oleh Syekh Abdullah Kan’an, salah seorang Gurubesar dari Dayah Cot Kala dan Meurah Johan, seorang Pangeran yang masih muda, keluaran Dayah Cot Kala.
Setelah Kerajaan Indra Purba menjadi Kerajaan Islam dengan nama Kerajaan Darusssalam, dan Meurah Johan dinobatkan menjadi raja yang pertama pada hari Jum’at tanggal 1 Ramadhan 601 H (1205 M) dengan gelar Sultan Alaiddin Johan Syah, maka Syekh Abdullah Kan’an mendirikan sebuah Pusat pendidikan Islamyang terkenal dengan nama Dayah Lam Keuneu’eun, dan beliau sendiri menjadi pimpinannyadenag lakab Teungku Chik Lam Keuneu’eun. Syekh Abdullah Kan’an ini, orang tuanya berasal dari Kan’an (Palestina), beliau selain ulama besar juga ahli lada.[35]
6.     Dayah Batu Karang
            Teungku Ampon Tuan (nama kecilnya tidak jelas), seorang ulama besar alumni Dayah Cot Kala diangkat menjadi Qadhi Negeri Batu Karang pada waktu Raja Muda Sedia memerintah Kerajaan Islam Benua atau Teuming (Tamiang) pada tahun 753 -800 H (1353-1398 M).
            Selain sebagai Qadhi, Teungku Ampon Tuan juga mendirikan sebuah pusat Pendidikan Islam yang di kemudian hari terkenal dengan Dayah Batu Karang, dan beliau sendiri terkenal dengan sebutan Teungku Chik Batu Karang.[36]
7.     Dayah Tiro
            Di masa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1195-1209 H (1781-1795 M), hijrahlah seorang Ulama Besar yang bernama Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy dari Koetaraja (Banda Aceh) menuju Pidie. Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy merupakan seorang ahli hokum Islam terkenal.[37]
            Syekh Faqih Abdul Wahab Haitamy mengambil tempat tinggal di Kampung Tiro, dan di sana pula beliau mendirikan sebuah Pusat Pendidikan Islam, yang terkenal dengan nama Dayah Tiro, dan beliau dikenal dengan Teungku Chik Tiro. Setelah beliau wafat, dayah dipimpin oleh putranya yang bernama Syekh Faqih Abdussalam yang terkenal dengan Teungku Chik Tiro pula.
            Dayah Tiro kemudian dilanjutkan pimpinannya oleh Teungku Muhammad Amin dan terkenal dengan Teungku Chik Dayah Cut, dan Teungku Syekh Abdullah, ayahnya Syekh Muhammad Samanteungku Chik di Tiro, salah seorang Pahlawan Nasional dari Aceh.
8.     Dayah Tanoh Abee
Di masa Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah memerintah Kerajaan Aceh Darussalam dalam tahun 1238-1251 H (1823-1836 M), datang ke Aceh seorang Ulama Besar dari Baghdad yang bernama Syekh Idrus Bayan. Atas permintaan Sultan beliau mendirikan sebuah Pusat Pendidikan Islam  dengan mengambil tempat di Tanoh Abee Seulimuem, yang kemudian berkembang dan terkenal dengan nama Dayah Tanoh Abee, dan Syekh Idrus Bayan sebagai pimpinan terkenal dengan sebutan Teungku Chik Tanoh Abee.
Setelah syekh idrus Bayn wafat, pimpinan dayah dilanjutkan oleh putranya Syekh Abdul Hafidh, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdul Hafidh yang bernama Syekh Abdurrahim, kemudian dilanjutkan oleh Syekh Abdurrahim yang bernama Syekh Muhammad Shalih dan kemudian oleh putranya yang bernama Syekh Abdul Wahab, yang hidup di zaman Sultan Alaiddin Mahmud Syah, yang memerintah pada tahun 1286-1290 H (1870-1874 M), dan zaman Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah, yang memerintah dalam tahun 1874-1903 M. Dayah Tanoh Abee, salah satu dayah pembina terbesar di Aceh.[38]
9.     Dayah Lam Nyong
            Pendiri Dayah Lam Nyong ini, bernama Teungku Syekh Abdussalam, yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Nyong. Beliau hidup di masa pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah 1286-1290 H (1870-1874 M).
10.  Dayah Pante Geulima
Salah satu Dayah yang terbesar yang terletak di daerah Meureudu adalah dayah Pante Geulima, yang mencapai puncak kemajuan di masa Teungku Ya’kub yang lebih terkenal dengan Teungku Chik Pante Geulima, beliau hidup dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1286-1290 H/1870-1874 M). menurut sebuah riwayat, Teungku Chik Pante Geulimalah yang mengarang Hikayat Malem Dagang.[39]
11.  Dayah Meunasah Blang
            Dayah Meunasah Blang yang terletak di Samalanga mencapai puncak kemajuan di bawah pimpinan Teungku Sykh Abdullah, yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Meunasah Blang. Beliau hidup di zaman pemerintahan Sultan Ibrahim Alaiddin Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M) sampai zaman pemerintahan Sultan Alaiddin Mahmud Syah.salah seorang muridnya yang terkenal adalah Teungku Chik Tiro Muhammmad Saman.[40]

12.  Dayah Lam Birah
Dayah Lam Birah merupakan salah satu Dayah Pembina yang terbesar, didirikan oleh dua bersaudara ulama/bangsawan, yaitu Ja Meuntro dan Ja Bendahara, yang kemudian keduanya terkenal dengan Teungku Chik Lam Birah. Mereka hidup di zaman dengan Sultan Alaiddin Johan Syah sampai pemerintahan Sukltan Alaiddin Tuanku Raja Mahmud Syah. Setelah keduanya wafat, Dayah Lam Birah dilanjutkan pimpinannya oleh putra-putra mereka: Teungku Chik Cot Keupeung, Teungku Chik Bare, dan kemudian dilanjutkan oleh Teungku haji Abbas, yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Birah, lalu dipimpin oleh Teungku Haji Ja’far yang terkenal dengan sebutan Teungku Chik Lamjabat.[41]
13.  Dayah Lam Diran
            Inilah salah satunya pusat Pendidikan Islam yang didirikan oleh perempuan, yaitu Teungku Fakinah, keturunan bangsawan dan ulama. Ayahnya Datu Muhmud seorang pejabat tinggi dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Iskandar Syah (1251-1273 H / 1836-1857 M) yang turut membengun Dayah Lam Krak. Ibunya yang bernama Teungku Fathimah adalah putri dari seorang ulama besar, teungku Muhammad Sa’ad, yang terkenal dengan Teungku Chik Lam Pucok, pendiri Dayah Lam Pucok. Selain pelajar-pelajar wanita, Dayah lam Diran (daerah Sibreh) juga belajar pelajar laki-laki. Kepada pelajar perempuan juga diajarkan kerajinan tangan. Di masa perang melawan penjajah, Teungku Fakinah terkenal sebagai salah seorang Panglima Perang.[42]
14.  Dayah Ulee Susu
            Dayah ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah (1273-1286 H/1857-1870 M). di bawah pimpinan Syekh Abbas (Teungku Chik Kuta Karang), Dayah Ulee Susu mencapai kemajuan yang cukup pesat. Selain menjadi pimpinan Dayah Ulee Susu, Tengku Chik Kuta Karang juga seorang Qadhi Malikul Adil dalam pemerintahan Sultan Alaiddin Ibrahim Mansur Syah.[43]
            Dari semua dayah-dayah tersebut di atas sebahagian kecil saja yang masih berkembang sampai sekarang. Kebanyakan dari dayah-dayah tersebut tidak berkelanjutan. Hal ini diakibatkan tidak adanya penerus setelah pimpinan wafat, terpaksa ditutup akibat peperangan melawan kolonialisme Belanda.
15. Jami’ah Baiturrahman
Setelah berdiri Dayah-dayah Teungku Chik di berbagai tempat dalam Kerajaan Aceh Darusslam, maka di ibukota (Kutaraja) didirikan pula Jami’ah Baiturrahman yang menjadi satu kesatuan dengan Masjid Jami’ Baiturrahman.[44]
D.    Tujuan Pendidikan Pada Zaman Kesultanan

Dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan mempunyai tujuan yang hendak dicapai. Landasan tersebut merupakan tempat berpijak yang memberikan dorongan dalam usaha peningkatan mutu dayah tersebut, sehingga sesuatu yang dilakukan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, seperti yang dapat dilihat bahwa tujuan yang hendak dicapai oleh sebuah lembaga pendidikan dayah adalah untuk menegakkan kebenaran dan membasmi kejahatan, dan di samping itu tujuan pendidikan dayah juga untuk mencari keluhuran dalam mengembangkan wawasan Islam universal dalam masyarakat Islam di Indonesia.[45] Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam surat al-Furqan ayat 63 sebagai berikut:
وعباد الرحمن الذين يمشون على الارض هونا واذا خاطبهم الجاهلون قالواسلما (الفرقان: ٦۳)
Artinya:  Dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung)  keselamatan. (Qs. Al-Furqan: 63).

Dengan demikian, nampaklah bahwa antara pendidikan formal dengan nonformal mempunyai satu ikatan yang sangat erat. Demikian juga halnya dengan dayah yang bertujuan untuk mencetak kader-kader yang memahami ilmu pengetahuan agama yang professional dan juga menjadi ulama-ulama serta da’i-da’i  yang siap tampil dalam berbagai bidang.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa lembaga pendidikan dayah didirikan atas dasar ingin menciptakan umat manusia yang memahami ajaran Islam secara benar. Di sisi lain, dayah juga didirikan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan manusia kepada Allah SWT dan membentuk pribadi muslim dan juga untuk meningkatkan kualitas umat Islam dalam mengembangkan syi’ar Islam, terutama dalam menciptakan kader-kader ulama.
Dengan demikian, secara umum tujuan pendidikan dayah merupakan manisfestasi dari tujuan pendidikan nasional. Dan dayah juga ikut bertanggung jawab terhadap proses pencerdasan bangsa secara keseluruhan.[46]
Berdasarkan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa tujuan pendidikan dayah dapat dikatakan agar mampu mencetak ahli-ahli agama dan ulama-ulama yang menguasai ilmu agama serta mengamalkan dengan tekun dan mampu menghidupkan sunnah Rasul dan menyebarkan ajaran agama yang berubudiyah kepada Allah SWT.
Walaupun tujuan pendidikan dayah tidak dijabarkan secara eksplisit, tetapi dapat dipahami bahwa tujuan-tujuan pendidikan dayah sesungguhnya tidak hanya semata-mata bersifat keagamaan, tetapi juga mempunyai relevansi dengan kehidupan nyata yang berkembang dalam masyarakat.





[1]Khursyid  Ahmad, Prinsip-prinsip Pendidikan Islam, terj. A.S Robith (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hal. 14.

[2] Dep Dikbud RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. II. (Jakarta: Balai Pustaka, 1971), hal. 13.

               [3] Poerwadarminta, Kamus..., hal. 409.

[4] Soegarda Poerbakawatja, et. al. Ensiklopedi Pendidikan, (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hal. 257.

[5] HM. Arifin, Hubungan Timbal Balik Pendidikan Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hal. 12.

[6] Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan (Bandung: Al Ma’arif, 1989) hal.
19.

[7] Achmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media, 1992), hal. 14.
[8] Taufik Abdullah, Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali,1983), hal. 4.

[9] Ibid, hal. 5.
[10] Musrifah Sunanto,  Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 39.

[11] A. Mustofa., aly, Abdullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Untuk Fakultas Tarbiyah, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 53.

[12] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. 4, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 18-19.
[13] Hasbullah, Sejarah..., hal. 20.

[14]Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh, (Banda Aceh: PENA, 2008), hal. 41.

[15]Elias A. Elias dan Edward E. Elias, Kamus Saku Arab Inggris Indonesia ,(Jakarta: al-Ma’arif, 1983), hal. 439.
[16]Tgk. Mohd. Basyah Haspy, Appresiasi Terhadap Tradisi Dayah: Suatu Tinjauan Terhadap Tata Krama dan Kehidupan Dayah, (Banda Aceh: Panitia Seminar Apresiasi Pesantren di Aceh Persatuan Dayah Inshafuddin, 1987), hal. 7. 

[17]A. Hasjmy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, Cet. III,  (Medan: Al-Ma’arif, 1993), hal. 147.

[18]Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1993), hal. 172.

[19]Munawiyah, dkk, Sejarah Peradaban Islam, (Banda Aceh: Bandar Publising, 2009), hal. 218.
[20] Baruzzaman Ismail, Mesjid dan Adat Meunasah bagi Sumber Energi Budaya Aceh, (Aceh: Majelis Pendidikan Daerah NAD. 2002), hal. 1.

[21] Anthony Reid. Asal mula konflik Aceh (Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra Hingga akhir kerajaan Aceh Abad ke-19). (Jakarta: Yayasan Obat Indonesia, 2005), hal 313.
[22]Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan Pendidikan di Daerah Istimewa Aceh, (Banda Aceh: Gua Hira’, 1995), hal. 61.

[23]Sulaiman Tripa, Meunasah Ruang Serba Guna Masyarakat Aceh, http://www.acehinstitute. Diakses 20 Oktober, 2010.

[24] Majelis Pendidikan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Perkembangan …, hal. 62.

[25]A. Hasjmi, Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah, (Banda Aceh: Yayasan Pembina, 1977), hal. 11.

[26]A. Hasjmi, Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, (Jakarta: Beuna, 1993), hal. 226.

[27] Ibid.,hal. 228.
 
[28]Abdurrahman Saleh dkk, Penyelenggara Pendidikan Formal diPondok Pesantren,  (Jakarta: Ditjen Bimbingan Islam Departemen Agama R. I, 1985), hal. 11.

[29]A. Hasjmy, Sejarah Kebudayan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hal. 192.

[30] Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1999), hal. 32.

[31] A. Hasjmy, Sejarah..., hal. 147.

[32] A. Hasjmy, Bunga Rampai Revolusi dari Tanah Aceh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 55.
[33]A. Hasjmy, Bunga..., hal. 61.

[34]Ibid., hal. 58.
[35]A. Hasjmy, Bunga…, hal. 59.

[36]Ibid.,hal. 58.

[37]Ibid., hal. 60.
[38]Hasjmy, Bunga…, hal. 59.

[39]Ibid., hal. 61.

[40]Ibid., hal. 62.

[41] Hasjmy, Bunga…,hal. 62.

[42]Ibid., hal. 62.

[43] Hasjmy, Bunga…,hal. 62.

[44] Ibid., hal. 68.
[45]Quraisy Syihab, Pembaharuan Pemikiran Islam, (Bandung: Mizan, 1990), hal. 31.

[46]Manfret Oepon dan Wolgang Kacher, Dinamika Pesantren, (Jakarta: P3M, 1988), hal. 8.